Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyebut, kondisi "salju abadi" atau tutupan es di Puncak Jaya, Papua, semakin mengkhawatirkan. Salju terus mengalami pencairan akibat perubahan iklim.
Fenomena El Nino yang terjadi tahun ini, kata Dwikorita, berpotensi turut mempercepat kepunahan tutupan es di Puncak Jaya atau "Piramida Cartenz". Menurut mantan Rektor UGM itu, realitas ini berdampak besar bagi berbagai aspek kehidupan setempat.
"Ekosistem di sekitar salju abadi menjadi rentan dan terancam. Perubahan iklim juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat setempat yang bergantung pada keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di wilayah itu," kata Dwikorita saat diskusi bertajuk "Salju Abadi Menjelang Kepunahan: Dampak Perubahan Iklim?".
Dwikorita menerangkan, melansir laman BMKG, Indonesia menjadi salah satu lokasi unik di wilayah tropis karena memiliki salju abadi. Salju abadi di Puncak Jaya, kata dia, adalah keajaiban alam yang menarik banyak perhatian ilmuwan, peneliti, serta pecinta alam. Namun, dilaporkan terjadi penurunan drastis luas area salju abadi tersebut dalam beberapa dekade terakhir.
Sejak 2010, kata Dwikorita, Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG bersama Ohio State University, Amerika Serikat, melakukan studi tentang analisis paleo-klimatologi berdasarkan inti es (ice core) pada gletser Puncak Jaya.
Didukung PT Freeport Indonesia, BMKG terus memantau luas dan tebal gletser di Puncak Jaya secara berkala. Hasilnya, sejak pengamatan dilakukan sampai saat ini, tutupan es di Puncak Jaya mengalami pencairan dan menuju kepunahan.
Pada 2010, tebal es diperkirakan mencapai 32 meter dan laju penipisan es sebesar 1 meter per tahun terjadi rentang 2010-2015. Kemudian, saat El Nino pada 2015-2016, jelas Dwikorita, penipisan es mencapai 5 meter per tahun.
Pakar klimatologi BMKG yang memimpin Studi Dampak Perubahan Iklim pada Gletser di Puncak Jaya, Donaldi Sukma Permana, menambahkan, laju penipisan es terjadi sekitar 2,5 meter per tahun rentang 2016-2022. Adapun luas tutupan es pada 2022 sekitar 0,23 km2 dan terus mencair.
"Dampak nyata lainnya dari pencairan es di pegunungan ini adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global," jelas Donaldi.
Dwikorita melanjutkan, semua pihak perlu meningkatkan kesadaran pentingnya menjaga dan melindungi lingkungan. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus dilakukan bersama, baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta dan pihak terkait lainnya.
Pengurangan emisi gas rumah kaca (EGRK) dan penerapan energi baru dan/atau terbarukan (EBT) menjadi langkah penting yang harus segera dilakukan. "Kita perlu terus menjaga dan mengendalikan laju kenaikan suhu dengan cara mentransformasikan energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan," kata Dwikorita.
Dalam dialog untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional di Bappenas, 21 Agustus 2023, BMKG merekomendasikan perlunya program yang lebih sistematis dan berkelanjutan untuk observasi atau pemantauan terhadap parameter lingkungan.