Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid menegaskan, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal penceramah radikal kepada keluarga TNI-Polri sebagai peringatan kuat untuk meningkatkan kewaspadaan nasional.
Pernyataan itu diucapkan Jokowi dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI, Jakarta, Selasa (1/3). Jokowi pun meminta agar tak mengundang penceramah radikal.
Menurut Nurwakhid, pernyataan Jokowi tersebut harus ditanggapi serius oleh seluruh kementerian, lembaga pemerintah, dan masyarakat pada umumnya tentang bahaya radikalisme.
"Sejak awal kami (BNPT) sudah menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini karena sejatinya radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme. Radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama," kata Nurwakhid dalam keterangannya, Minggu (6/3).
Nurwakhid menjelaskan, untuk mengetahui penceramah radikal, terdapat beberapa indikator yang bisa dilihat dari isi materi ceramah itu sendiri, bukan tampilannya. Menurut dia, setidaknya ada lima indikator yang untuk mengetahui apakah seorang penceramah termasuk penceramah radikal atau bukan.
Pertama, mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro idieologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak berbeda paham maupun berbeda agama.
Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidak percayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks. Keempat, lanjut dia, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Kelima, biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifaan lokal keagamaan.
"Mengenali ciri-ciri penceramah jangan terjebak pada tampilan, tetapi isi ceramah dan cara pandang mereka dalam melihat persoalan keagamaan yang selalu dibenturkan dengan wawasan kebangsaan, kebudayaan dan keragaman," ucapnya.
Sejalan dengan itu, Nurwakhid juga menegaskan, strategi kelompok radikalisme memang bertujuan untuk menghancurkan Indonesia melalui berbagai strategi yang menanamkan doktrin dan narasi ke tengah masyarakat.
"Ada tiga strategi yang dilakukan oleh kelompok radikalisme. Pertama, mengaburkan, menghilang bahkan menyesatkan sejarah bangsa. Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketiga, mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan isu SARA," kata Nurwakhid.
Menurutnya, strategi ini dilakukan dengan mempolitisasi agama yang digunakan untuk membenturkan agama dengan nasionalisme dan agama dengan kebudayaan luhur bangsa. Proses penanamanya dilakukan secara masif di berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk melalui penceramah radikal tersebut.
"Inilah yang harus menjadi kewaspadaan kita bersama dan sejak awal untuk memutus penyebaran infiltrasi radikalisme ini salah satunya adalah jangan asal pilih undang penceramah radikal ke ruang-ruang edukasi keagamaan masyarakat," ucapnya.