close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Boediono akan menjadi saksi dalam persidangan di KPK hari ini (19/7)./Antara Foto
icon caption
Boediono akan menjadi saksi dalam persidangan di KPK hari ini (19/7)./Antara Foto
Nasional
Kamis, 19 Juli 2018 09:01

Boediono dan Todung Mulya Lubis jadi saksi Ketua BPPN

Boediono pada tahun 2004 menjadi Menteri Keuangan dan Todung Mulya Lubis sebagai Tim Bantuan Hukum KKSK.
swipe

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi akan menghadirkan mantan Wakil Presiden Boediono dan Duta Besar Indonesia untuk Norwegia Todung Mulya Lubis. Keduanya akan menjadi saksi dalam persidangan untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah pada Kamis (19/7) mengatakan, Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi terdakwa.

Ia bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro Djakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) serta pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.

"Boediono diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Menteri Keuangan pada 30 April 2004," kata Febri.

Mengingatkan kembali, aset-aset BPPN dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) tertanggal 30 April 2004 dan database Bunisys berisikan hak tagih utang petambak PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) sejumlah Rp1,129 triliun.

Jumlah hak tagih itu berbeda dengan BAST tanggal 27 Februari 2004 dengan nilai buku atau aggregate outstanding balance (AOB) senilai Rp 4,862 triliun.

Sedangkan Todung Mulya Lubis adalah anggota Tim Bantuan Hukum (TBH) Komite KKSK.

Berdasarkan keputusan KKSK tanggal 18 Maret 2002, TBH diberikan waktu untuk melakukan evaluasi compliance atau kesesuaian terhadap masing-masing terms Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham atau PKPS dalam waktu satu bulan, sejak keputusan tersebut diambil.

Sebagai informasi, BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).

BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp 47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 35,6 triliun. Sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.

Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp 18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp 4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim. Awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet.

Dari jumlah Rp 4,8 triliun itu, sejumlah Rp 1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan atau sustainable debt dan dibebankan kepada petambak plasma. Kemudian tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp 3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.

Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp 1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp 1,9 triliun berdasarkan kurs Rp 7.000 per US$. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.

Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang sustainable dan unstainable adalah Rp 3,9 triliun dengan kurs Rp 8.500 per US$ pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp 1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp 2,8 triliun.

Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM, sehingga tinggal utang petambak senilai Rp 1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp 100 juta per petambak dikalikan 11 ribu petambak dari tadinya utang Rp 135 juta per petambak.

Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp 220 miliar karena Rp 880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp 0 juta per petambak. Sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp 4,8 triliun menjadi tinggal Rp 220 miliar atau negara dirugikan Rp 4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.

img
Mona Tobing
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan