close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
KPK menetapkan bos perusahaan milik Tommy Soeharto resmi ditetapkan sebagai tersangka suap kasus Bowo Sidik Pangarso. / Facebook Tommy Soeharto
icon caption
KPK menetapkan bos perusahaan milik Tommy Soeharto resmi ditetapkan sebagai tersangka suap kasus Bowo Sidik Pangarso. / Facebook Tommy Soeharto
Nasional
Kamis, 17 Oktober 2019 02:33

Bos Humpuss milik Tommy Soeharto jadi tersangka KPK

KPK menetapkan bos perusahaan milik Tommy Soeharto resmi ditetapkan sebagai tersangka suap kasus Bowo Sidik Pangarso.
swipe

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan bos perusahaan milik Tommy Soeharto resmi ditetapkan sebagai tersangka suap kasus Bowo Sidik Pangarso.

Dia adalah Direktur PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Taufik Agustono. HTK adalah perusahaan jasa sewa kapal dengan aset US$108,8 juta yang dimiliki 100% oleh PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk. (HITS).

Pemilik saham Humpuss Intermoda terdiri dari PT Humpuss sebesar 47,36%, PT Menara Cakra Buana sebesar 34,16%, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto 10,82%, dan publik 7,65%.

Penetapan tersangka Taufik Agustono ini merupakan pengembangan perkara suap kerja sama pengangkutan transportasi di bidang pelayaran antara PT HTK dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog).

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menerangkan, pihaknya menemukan sejumlah fakta yang berkembang di tahap penyidikan dan proses persidangan terkait adanya indikasi tindak pidana korupsi yang melibatkan pihak lain.

"Setelah menemukan bukti permulaan yang cukup, KPK melakukan penyelidikan dan meningkatkan status perkara ke penyidikan dengan satu orang sebagai tersangka," ujar Alex, saat konfrensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (16/10).

Terdakwa kasus dugaan suap distribusi pupuk Bowo Sidik Pangarso (kiri) berdiskusi dengan kuasa hukumnya pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. / Antara Foto

Siasat suap bos Humpuss

Alexander Marwata menerangkan, kasus itu bermula saat kontrak pengangkutan PT HTK dengan cucu perusahaan PT Petrokimia Gresik dihentikan pada 2015. Pemutusan kontrak itu diakibatkan karena PT HTK tak mempunyai kapal yang lebih besar untuk mengangkut muatan yang lebih besar.

"Terdapat upaya agar kapal PT HTK dapat digunakan kembali untuk kepentingan distribusi pupuk PT Pupuk Indonesia (Persero). Untuk merealisasikan hal tersebut, pihak PT HTK meminta bantuan BSP (Bowo Sidik Pangarso), Anggota DPR-RI," kata Alex menjelaskan.

Bowo kemudian bertemu dengan Asty Winasty Marketing Manajer PT HTK. Keduanya telah diproses hukum terkait kasus tersebut.

Selanjutnya, Asty melaporkan kepada Taufik atas hasil pertemuan dengan Bowo. Laporan tersebut mengenai aturan sedemikian rupa agar PT HTK tidak kehilangan pasar penyewaan kapal.

Menindaklanjuti laporan Asty, Taufik melangsungkan pertemuan dengan Asty dan Bowo guna menyepakati kelanjutan kerja sama sewa menyewa kapal yang sempat terhenti pada 2015. 

"Dalam proses tersebut, kemudian BSP (Bowo Sidik) meminta sejumlah fee. Tersangka TAG (Taufik Agustono) sebagai Direktur PT HTK, membahasnya dengan internal manajemen dan menyanggupi sejumlah fee untuk BSP," terang Alex.

Singkat cerita, PT Pilog dengan PT HTK menyepakati nota kesepahaman (MoU) yang salah satu hasilnya kerja sama pengangkutan PT HTK dapat digarap Pupuk Indonesia pada 26 Februari 2019.

Setelah MoU disepakati, pemberian fee dari PT HTK kepada BSP dibuatkan. Namun ada satu perjanjian antara PT HTK dengan PT Inersia Ampak Engineers untuk memenuhi kelengkapan administrasi pengeluaran oleh PT HTK.

Bowo meminta PT HTK untuk membayar uang muka sebesar Rp1 miliar atas telah ditandatanganinya MoU antara PT HTK dan PT Pilog. 

"Permintaan ini disanggupi oleh tersangka TAG (Taufik Agustono) selaku Direktur PT HTK dan juga disetujui oleh Komisaris PT HTK. Namun dengan pertimbangan terlalu besar untuk diberikan sekaligus, maka dibuatkan termin pembayarannya," tutur Alex.

Transaksi pemberian uang itu terjadi pada rentang waktu 1 November 2018 hingga 27 Maret 2019. Rincian transaksi itu terjadi pada 1 November 2018 sebesar US$59.587, 20 Desember 2018 sebesar US$21.327, 20 Februari 2019 US$7.819, dan 27 Maret 2019 sebesar Rp89.449.000.

"Di PT HTK, uang-uang tersebut dikeluarkan berdasarkan memo internal yang seolah membayar transaksi perusahaan, bukan atas nama BSP (Bowo Sidik Pangarso)," tutup Alex.

Taufik disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan