Bowo Sidik didakwa terima suap dari berbagai proyek
Eks Anggota DPR RI Komisi VI Bowo Sidik Pangarso didakwa telah menerima uang suap, dalam bentuk pecahan dollar Singapura maupun rupiah, dari eks General Manager Commercial PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasty dan Direktur PT HTK Taufik Agustono.
Hal itu terungkap saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan surat dakwaan dalam sidang kasus suap bidang transportasi pelayaran antara PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog) dengan PT HTK, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (14/8).
Uang suap yang diterima Bowo adalah senilai 163.733 dollar Singapura atau sekitar Rp2,3 miliar. Adapun nilai suap yang diterimanya dalam bentuk rupiah adalah senilai Rp311.022.932.
Penerimaan uang tersebut dilakukan secara langsung maupun melalui orang kepercayaan Bowo, yakni M Indung Andriani. Tak hanya itu, Bowo juga didakwa telah menerima uang suap sejumlah Rp300 juta dari seorang pengusaha bernama Lamidi Jimat.
"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," kata JPU KPK Ikhsan Fernandi, saat membacakan surat dakwaan Bowo Sidik Pangarso.
Jaksa menyebut, penerimaan uang dari Asty dan Taufik dilatar belakangi karena telah membantu PT HTK untuk menggarap proyek pengangkutan atau sewa kapal dari PT Pilog. Dijelaskan jaksa, PT HTK merupakan perusahaan yang mengelola kapal MT Griya Borneo. Perusahaan itu sebelumnya memiliki kontrak kerja sama dengan anak perusahaan PT Petrokimia Gresik, PT Kopindo Cipta Sejahtera (KCS), untuk pengangkutan amonia dalam jangka waktu lima tahun.
Tetapi pada tahun 2015, dibentuk perusahaan induk yang menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bidang pupuk, yakni PT Pupuk Indonesia Holding Company (PT PIHC). Karena itu, kontrak kerja sama PT HTK diputus dan pengangkutan amonia dialihkan ke anak perusahaan PT PIHC yakni PT Pilog.
Kendati diputus kontrak, PT HTK bersikukuh ingin melanjutkan kontrak kerja sama tersebut. Oleh karena itu, Asty diminta Taufik Agustono selaku Direktur PT HTK untuk mencari solusi.
Kemudian, Asty menghubungi pemilik PT Tiga Macan, Steven Wang pada Oktober 2017. Steven menyarankan Asty untuk berkonsultasi dengan Bowo Sidik Pangarso yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR. Pasalnya, Bowo dianggap memiliki akses ke PT PIHC agar dapat merealisasikan tujuan Asty untuk mendapatkan kembali kontrak kerja sama.
Kemudian, Asty, Steven, dan Bowo Sidik melakukan pertemuan di Restoran Penang Bistro Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada akhir Oktober 2017. Saat itu, Asty menyampaikan keinginannya pada terdakwa Bowo. Menanggapi permintaan Asty, Bowo meminta untuk menyiapkan kronologis kerja sama PT HTK dengan PT PILOG.
"Menindaklanjuti keinginan Asty Winasty, terdakwa beberapa kali menemui Aas Asikin Idat selaku Direktur Utama PT PIHC dan Achmad Tossin Sutawikara selaku Direktur Pemasaran PT PIHC, meminta agar membatalkan pemutusan kontrak PT KCS dan PT HTK sehingga Kapal MT Griya Borneo dapat kembali digunakan oleh PT Pilog untuk pengangkutan amoniak sebagaimana telah yang disampaikan Asty Winasty kepada terdakwa," kata jaksa menuturkan.
Pada akhirnya, PT PIHC menandatangani nota kesepahaman dengan Direktur PT HTK Taufik Agustono. Nota itu pada intinya menyebutkan, PT Pilog akan menyewa kapal MT Griya Borneo milik PT HTK. Sebaliknya, PT HTK akan menyewa kapal MT Pupuk Indonesia milik PT Pilog.
Selain itu, JPU KPK juga mendakwa Bowo telah menerima uang atau janji dari berbagai pihak yang berhubungan dengan jabatan.
Sedangkan aliran dana yang diterima dari Lamidi Jimat, kata Jaksa, karena Bowo telah membantu menagih pembayaran utang ke PT Djakarta Lloyd (Persero), serta PT Ardila Insa Sejahtera (AIS) dapat menggarap proyek penyediaan BBM jenis Marine Fuel Oil (MFE) dari kapal PT Djakarta Lloyd.
JPU KPK menjelaskan, kasus itu bermula saat Lamidi meminta bantuan kepada Bowo guna membantu penyelesaian utang PT Djakarta Llyods kepada PT AIS senilai Rp2 miliar, terkait jasa angkutan BBM pada 2009.
Kemudian, Lamidi meminta bantuan kepada Bowo untuk memberitahu PT AIS sudah mengajukan vendor ke PT Djakarta Lloyds. Tujuannya agar proyek penyediaan BBM MFE dapat di garap PT AIS.
Saat itu, terjadi beberapa kali pertemuan antara Lamidi Jimat dengan Bowo Sidik. Pada pertemuan pertama, Lamidi Jimat memberikan invoice sebesar Rp50 juta yang diterima oleh sopir Bowo Sidik. Saat itu, Lamidi Jimat menyampaikan tujuannya agar mendapat pekerjaan di INSA (Indonesian National Shipowners Association) dan informasi peluang lain di PT Djakarta Llyods.
Menindak lanjuti permintaan tersebut, Bowo mangadakan pertemuan dengan Lamidi serta Suyoto selaku Direktur PT Djakarta Llyods di sebuah hotel di kawasan Jakarta. Dalam pertemuan itu, Bowo menyampaikan adanya permasalahan utang PT Djakarta Llyods itu kepada PT AIS dan saat itu Suyoto bersedia membantu pelunasan tersebut.
Namun, Suyoto tidak dapat membayar lunas utang senilai Rp2 miliar itu sebab mekanisme pembayara utang PT Djakarta Llyods harus sesuai dengan keputusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), dan dibayar dengan cara diangsur per triwulan mulai tahun 2019.
Menanggapi hal tersebut, Bowo menyampaikan keinginan Lamidi, kepada Suyoto. Atas dasar itu, Suyoto mempersilakan Lamidi untuk melengkapi berkas ke PT Djakarta Llyods.
Dikatakan JPU KPK, Lamidi Jimat melangsungkan pertemuan dengan Bowo sidik pada 24 September 2018 di sebuah hotel di daerah Jakarta. Saat itu, Lamidi memberikan uang kembali sebesar Rp50 juta sebagai tanda terimakasih kepada Bowo lantaran telah membantu PT AIS untuk menggarap proyek penyediaan BBM jenis MFO di PT Djakarta Llyods. Bahkan Lamidi Jimat menjanjikan akan memberi uang kembali kepada Bowo.
"Terdakwa mengetahui atau patut menduga uang diberikan kepadanya itu adalah karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku anggota Komisi VI DPR RI yang bermitra dengan Kementerian BUMN dan seluruh BUMN di Indonesia," ujar JPU KPK.
Atas perbuatannya, Bowo Sidik diancam pidana dengan sangkaan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 64 ayat (1) KUHP.