Keberhasilan Indonesia menggelar uji terbang pesawat Gatotkaca N-250 pada 10 Agustus 1955 semangati Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama Konsorsium untuk menerbangkan PUNA Elang Hitam. Pesawat udara nirawak (drone) jenis medium altitude long endurance dengan inovasi teknologi di bidang pertahanan ini rencananya akan terbang perdana pada akhir 2021.
"PUNA Elang Hitam merupakan upaya lompatan teknologi masa kini sebagai langkah menjangkau teknologi maju di masa depan menuju Indonesia emas di tahun 2045. PUNA Elang Hitam yang dapat beroperasi otomatis dan memiliki daya tahan terbang lebih dari 24 jam ini, dikembangkan bersama dalam sebuah konsorsium nasional yang melibatkan Kementerian Pertahanan, TNI AU, BPPT, LAPAN, ITB, PT DI, dan PT LEN," kata Kepala BPPT, Hammam Riza dalam siaran persnya bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas), dikutip Rabu (11/10).
BPPT pun ditunjuk sebagai koordinator Prioritas Riset Nasional (PRN) PUNA Elang Hitam sesuai dengan Peraturan Menteri Ristekdikti No. 38 Tahun 2019. "Tujuan akhir dari Konsorsium PUNA Elang Hitam yaitu mengakomodir kebutuhan alat utama sistem senjata (Alutsista) TNI khususnya drone jenis kombatan yang sekelas dengan drone canggih milik Turki (AnKA), Amerika Serikat (Predator), dan Israel (Heron)," jelasnya dalam virtual open house PUNA Elang Hitam.
Hammam melanjutkan, virtual open house PUNA Elang Hitam ini membuka kesempatan kepada publik untuk mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh anggota konsorsium PUNA Elang Hitam. Masyarakat dapat mengetahui kegiatan yang dilaksanakan tidak hanya di BPPT, namun juga di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan PT Dirgantara Indonesia dalam rangka menyiapkan PUNA Elang Hitam.
Penguasaan teknologi PUNA Elang Hitam, urainya, bisa menjadi sarana bagi kemajuan teknologi pertahanan nasional yang secara bertahap dapat membangun kemandirian teknologi sub-sistem PUNA jenis MALE oleh anggota konsorsium. Ini dimaksudkan untuk menghasilkan produk drone MALE kombatan yang dapat diterima TNI AU sesuai persyaratan operasi dan spesifikasi teknis yang dituangkan ke dalam system requirement document (SRD).
Dijelaskan Hammam, kegiatan PUNA Elang Hitam memiliki 3 (tiga) sub kegiatan pendukung, yakni pembangunan platform (wahana), pembangunan flight control system (FCS) dan mission system, serta pembangunan sistem senjata dan integrasinya.
Hammam mengajak semua pihak untuk mensukseskan agar PUNA Elang Hitam dapat terbang perdana di 2021 dan menjalankan pentahapan sebaik-baiknya agar mampu mewujudkan misi kombatan di tahun 2025.
Untuk kepentingan pertahanan
PUNA Elang Hitam yang dikembangkan BPPT bukanlah sekadar drone yang biasa kita lihat sehari-hari. Pesawat tanpa awak versi tipe ini, dibangun khusus untuk kepentingan pertahanan dan keamanan khususnya di lingkungan TNI. Drone berjenis MALE ini akan memiliki jangkauan jelajah operasi 23.000 kilometer non-stop dengan ketahanan terbang tinggi selama 30 jam, siang dan malam, dalam radius 250 km.
Drone PUNA Elang Hitam akan digunakan untuk membantu Kementerian Pertahanan, dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Secara fisik, PUNA Elang Hitam memiliki panjang 8,30 meter dan bentang sayap sepanjang 16 meter. Kegiatan pengembangan PUNA Elang Hitam sendiri dimulai sejak tahun 2015, dimulai dari inisiasi Balitbang Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang kemudian dilanjutkan secara paralel bersama pihak BPPT.
Untuk diketahui, pada 2017 sesuai perjanjian kerja sama (PKS) nomor Perjama/38/VIII/08/2017 dan nomor 35/PKS/BPPT/08/2017 para pihak yang terdiri dari Kemhan (diwakili Balitbang), TNI AU (diwakili Dislitbang TNI AU), BPPT, PTDI, PT LEN, ITB bersepakat untuk membangun konsorsium yang melakukan Perekayasaan dan Pengembangan Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Medium Altitude Long Endurance (MALE) dalam rangka pemenuhan produk Alpalhan dan industri pertahanan. Pada Tahun 2019, anggota Konsorsium MALE bertambah dengan bergabungnya LAPAN.
Pada tahun 2020, program PUNA MALE menjadi salah satu program prioritas strategis nasional sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden nomor 109 tahun 2020. Masing-masing anggota Konsorsium mendapat tugas spesifik, yakni Kemhan sebagai pengawas program dan pembinaan industri pertahanan, lalu Dislitbang TNI AU melakukan supervisi program agar selalu sesuai dengan Operation Requirement (OPSREQ). Selanjutnya, BPPT yang bertindak sebagai koordinator program MALE Kombatan dalam kerangka PRN, koordinator teknis PSN, melakukan kegiatan kerekayasaan dan pengembangan. Kemudian LAPAN membangun test bench pengujian mission system, pengembangan payload Radar SAR dan Sistem Komunikasi berbasis Satelit Communications (SatCOM).
Dari pihak industri, PT DI sebagai lead integrator berperan dalam semua kegiatan teknis (engineering), dan PT LEN sebagai pengembang flight control system (FCS), mission system dan data link. Lalu pihak akademisi yang diwakili oleh ITB berperan sebagai lembaga yang menghasilkan tenaga terdidik guna mendukung program ini.