BRIN, babak baru integrasi, dan kuasa Megawati Soekarnoputri
Kesedihan jelas terpancar dari raut muka mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza saat memberikan sejumlah wejangan dalam seminar daring “Dialog Keluarga BPPT Menuju Masa Depan” yang digelar, Ahad (5/9). Kelopak mata pria berusia 59 tahun itu terlihat sembab. Sesekali, suaranya terdengar tersedak.
“Selama kita belum pindah ke dimensi yang lain, maka kerja terus. Kita yakin bahwa mimpi kita untuk menghela ekonomi, membuat Indonesia maju itu akan menjadi kenyataan suatu waktu dengan melalui kontribusi kita,” ujar Hammam di hadapan ratusan perekayasa aktif dan nonaktif yang hadir dalam webinar tersebut.
Webinar itu sekaligus semacam ajang perpisahan kecil-kecilan bagi keluarga BPPT. Berdiri sejak 21 Agustus 1978, lembaga riset peninggalan Soeharto itu resmi "bubar" setelah Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2021 tentang Badan Riset Inovasi Nasional (Perpres BRIN) terbit, Rabu (1/9) lalu.
Perpres itu merupakan pengganti dari Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 Tentang BRIN yang baru berusia sekitar empat bulan. Sebagaimana Perpres sebelumnya, Perpres itu juga memandatkan integrasi empat lembaga penelitian nonkementerian (LPNK) dan balitbang kementerian ke dalam BRIN. Integrasi dimaknai peleburan oleh pemerintah.
Selain BPPT, tiga LPNK lainnya yang dimandatkan untuk diintegrasikan ke BRIN ialah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Berbasis isi Pepres, keempat LPNK itu bakal turun kelas jadi organisasi riset penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (OR litbangjirap).
Bak pepatah roda yang terus berputar, Hammam bertutur pembubaran lembaga ialah sebuah fenomena yang wajar terjadi. Meski tak lagi berkarya di BPPT, ia berharap para peneliti dan perekayasa tidak larut dalam kesedihan. “Yang penting kita tidak kehilangan semangat dan kehilangan sanubari. Tetap istiqamah,” kata Hammam.
Pada kesempatan itu, Hammam mengingatkan agar peneliti dan perekayasa BPPT tetap berkarya demi tujuan memajukan iklim riset dan inovasi sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas-Iptek).
UU itu, kata Hammam, merupakan salah satu aturan yang dirilis pemerintah yang secara konkret menguraikan mengenai pengkajian dan penerapan teknologi. Ia berharap para perekayasa BPPT itu tak kehilangan kreativitas untuk terus berinovasi sesuai semangat UU.
"Ini menjadi tanggung jawab yang luar biasa besar bagi generasi penerus BPPT. Untuk dapat terus berkiprah, kita upayakan dalam DNA pengkajian dan penerapan itu adalah ruh yang kita bawa ke mana-mana, terlepas bentuk badannya seperti apa, dalam arti struktur organisasi riset dan lain-lain,” ujar pria yang berkarier di BPPT sejak 1987 itu.
Ubah status lembaga riset
Sejak Perpres BRIN terbaru terbit, BPPT masuk dalam struktur organisasi BRIN dengan nama OR Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Untuk posisi pelaksana tugas kepala OR tersebut, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko telah menunjuk Dadan M Nurjaman, mantan Sekretaris Utama BPPT.
Pelantikan Dadan bersama 92 pejabat fungsional lainnya di lingkungan BRIN digelar secara hybrid, Kamis (2/9) lalu atau sehari setelah Perpres BRIN teranyar terbit. Dalam keterangan pers kepada wartawan, Handoko mengatakan pemerintah menargetkan konsolidasi lembaga riset sudah selesai pada 1 Januari 2022.
"Meskipun kita punya waktu hingga 2022, bukan berarti kita bisa bersantai. Ini merupakan momentum yang kita tunggu-tunggu selama ini. Sudah dua tahun. Saya tidak bisa menunda lebih lama lagi proses peralihan jabatan fungsional peneliti ke BRIN," kata Handoko.
Selain BPPT, BATAN kini "turun kelas" menjadi OR Tenaga Nuklir, sedangkan LAPAN berubah menjadi OR Penerbangan dan Antariksa. Adapun LIPI dipecah menjadi sejumlah OR, semisal OR Ilmu Pengetahuan Teknik, OR Ilmu Pengetahuan Kebumian, OR Ilmu Pengetahuan Hayati, serta OR Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora.
Kepada Alinea.id, mantan Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin mengaku optimistis penelitian di bidang penerbangan dan antariksa bisa berkembang pesat setelah LAPAN diintegrasikan ke dalam BRIN. Menurut dia, riset di kedua bidang itu selama ini seringkali terkendala pendanaan.
“Padahal, programnya memerlukan biaya besar. Untuk roket dan satelit, misalnya. Nah, diharapkan nanti ketika bergabung ke BRIN, anggaran itu bisa fleksibel, ditentukan berdasarkan prioritas, sesuai arahan presiden. Program prioritas itu bisa fokus dan tuntas,” ucap Thomas saat dihubungi, Senin (6/9).
Thomas resmi menanggalkan jabatan pada Kamis (2/9) berbarengan dengan pelantikan puluhan pejabat fungsional di lingkungan BRIN. Untuk posisi pelaksana tugas Kepala OR Penerbangan dan Antariksa, Handoko telah menunjuk Erna Sri Adiningsih.
Memimpin LAPAN sejak 2014, Thomas mengaku tak mempersoalkan LAPAN yang kini berstatus sebagai OR. Menurut dia, perubahan status itu bukan berarti LAPAN jadi badan yang kecil. Ia mencontohkan Indian Space Research Organization (ISRO) di India dan Korea Aerospace Research Institute (KARI) di Korea Selatan.
"Organisasi riset itu tergantung perannya. Apalagi nanti kalau bergabung ke BRIN, anggarannya nanti diharapkan lebih besar lagi, karena tidak ada lagi batasan kenaikan anggaran yang saat ini masing-masing lembaga ada batas rentangnya,” jelas Thomas.
Integrasi lembaga riset ke dalam BRIN merupakan mandat pasal 48 UU Sisnas-Iptek. Namun, pasal itu tidak menyebutkan secara spesifik kata integrasi sebagai peleburan LPNK. Makna integrasi dalam pasal itu saat ini telah dimohonkan untuk diuji materi oleh dua peneliti ke Mahkamah Konstitusi.
Soal polemik itu, Thomas tak mau berkomentar panjang. Ia lebih memilih menyebut integrasi BRIN dengan lembaga riset dan balitbang sebagai kerja bareng. "Jadi, bukan di bawah BRIN. Tetapi, bersama BRIN," imbuh Thomas.
Dewan Pengarah kian berkuasa
Selain mengatur soal integrasi lembaga, Perpres BRIN terbaru juga kian mengistimewakan kedudukan Ketua Dewan Pengarah BRIN. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menunjuk Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri untuk menduduki kursi itu.
Tercantum dalam Pasal 7 ayat (3) Perpres BRIN terbaru, Ketua Dewan Pengarah 'memiliki kewenangan untuk memberikan arahan, masukan, evaluasi, persetujuan atau rekomendasi kebijakan dan dalam keadaan tertentu dapat membentuk Satuan Tugas Khusus untuk mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh Pelaksana.'
Pada Perpres BRIN yang lama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 6, tugas Dewan Pengarah BRIN dibatasi hanya memberikan arahan kepada kepala badan dalam merumuskan kebijakan dan penyelenggaraan penelitian, pengkajian, penerapan, serta invensi dan inovasi.
Menanggapi tambahan kewenangan Dewan Pengarah di Perpres itu, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengaku khawatir BRIN bakal dipolitisasi untuk kepentingan penguasa. Dengan kewenangan yang besar itu, menurut dia, Dewan Pengarah terkesan diberikan posisi sebagai pelaksana lembaga.
“Kita khawatir terjadinya politisasi iptek dan munculnya abuse of power yang merugikan masyarakat iptek. Misalnya, kewenangan memberikan persetujuan atas suatu kebijakan atau bahkan dapat membentuk satuan tugas khusus untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di lapangan," ujar Mulyanto kepada Alinea.id, Minggu (6/9).
Menurut Mulyanto, BRIN tidak membutuhkan Dewan Pengarah. Apalagi, posisi Ketua Dewan Pengarah dijabat Ketua Umum PDI-Perjuangan, parpol yang saat ini berkuasa. Ia juga tidak melihat korelasi posisi Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP dengan perkembangan dunia riset dan inovasi.
"Sebaiknya lembaga litbang ini tidak dipolitisasi. BRIN adalah lembaga ilmiah. Biarkan (BRIN) bekerja dengan dasar-dasar ilmiah, objektif, dan rasional dengan indikator outcome yang terukur. Jangan dibebani dengan tugas-tugas ideologis,” ujar Mulyanto.
Pendapat serupa diutarakan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra. Menurut Azyumardi, kewenangan Dewan Pengarah BRIN berlebihan dan sudah menyentuh ranah yang seharusnya jadi "jatah" pelaksana lembaga.
“Saya kira, Ketua Dewan Pengarah juga tidak punya kapasitas untuk menjalankan wewenang-wewenang yang sangat luas itu,” ujar Azyumardi saat dihubungi Alinea.id, Minggu (5/9).
Azyumardi sepakat eksistensi Ketua Dewan Pengarah membuat BRIN tidak lagi otonom dan potensial melahirkan penyalahgunaan kekuasaan. Menurut dia, sebuah lembaga riset idealnya harus memiliki kemerdekaan dalam menjalankan program-program penelitian dan inovasi.
“Dia (Megawati) bisa saja membentuk satuan tugas untuk kepentingan politik oligarkis-despotik nepotistiknya, dan sekaligus membuat BRIN semakin gemuk dan tidak bisa bergerak efektif dan fungsional,” terang Azyumardi.