Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menemukan 23,17 juta hektare wilayah adat belum mendapat pengakuan dari pemerintah daerah. Padahal, BRWA telah mendaftarkan 1.336 peta wilayah adat yang luasnya mencapai 26,9 juta hektare.
Kepala BRWA Kasmita Widodo mengatakan, dari jumlah 1.336 wilayah, baru 219 saja yang diakui oleh pemerintah daerah. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota.
“Dari 1.336 total wilayah adat teregistrasi di BRWA, sebanyak 219 wilayah adat sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dengan luas mencapai 3,73 juta hektare atau sekitar 13,9 %. Masih ada sekitar 23,17 juta hektare wilayah saat ini yang belum ada pengakuan oleh pemerintah daerah,” katanya dalam konpers daring, Rabu (9/8).
Ia menyebut, Kementerian LHK telah menerbitkan pengakuan 15 hutan adat di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah seluas 68.326 hektare. Sehingga total hutan adat yang sudah mendapat pengakuan sebanyak 123 hutan adat dengan luas mencapai 221.648 hektare.
Baginya, keputusan pengakuan hutan adat oleh KLHK memang tidak mudah, karena harus diawali dengan pengukuhan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) oleh pemerintah daerah. Menurut Pasal 67 UU Kehutanan dan Pasal 234 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 “Pengukuhan keberadaan MHA dalam Kawasan Hutan Negara ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
“Di sinilah sengkarutnya proses pengembalian hutan adat dari hutan negara,” ujarnya.
Menurutnya, komitmen kepala daerah dan kapasitas pemerintah daerah masih rendah untuk membentuk perda pengakuan masyarakat adat. Setelah ada perda pun, pelaksanaan verifikasi sampai dengan pengukuhan masyarakat adat masih berjalan sangat lambat. Begitu juga dengan KLHK yang masih terbatas dalam melakukan verifikasi usulan hutan adat.
Rata-rata hanya sekitar 15 usulan hutan adat setahun yang dapat diverifikasi lapangan. Selain itu, masih ada kegamangan untuk melakukan verifikasi usulan hutan yang berada di kawasan konservasi, seperti cagar alam, taman wisata alam dan taman nasional.
Terkait sektor pertanahan dan pengakuan hak ulayat masyarakat adat, Kementerian ATR/BPN belum ada kemajuan yang berarti. Alih-alih menegaskan wilayah adat sebagai hak ulayat masyarakat adat, justru akan menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah ulayat seperti yang diatur dalam PP Nomor 18/2021.
Hal ini menunjukkan bahwa negara masih menerjemahkan hak menguasai negara secara eksesif. Padahal sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) dibatasi oleh hak ulayat. Kebijakan negara menerbitkan HPL di atas wilayah adat justru berpotensi menyebabkan hilangnya hak masyarakat adat atas tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun.
“Sekaligus menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang telah diatur di dalam konstitusi,” ucapnya.