Buang hajat warga Ciracas ke kali: Potret lama sanitasi buruk Jakarta
Rumah milik Neni yang terletak di RT14 RW 06, Kelurahan Rambutan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur menjadi salah satu rumah yang berdiri persis membelakangi Kali Cipinang—sebuah kali yang mengalir dari Depok, bermuara di Kali Sunter dan Banjir Kanal Timur. Kali tersebut dijadikan warga sekitar untuk membuang limbah rumah tangga, termasuk tinja.
Neni mengakui, hal itu sudah biasa ia lakukan sejak dahulu karena tak memiliki tangki septik. “Jadi kami langsung buangnya ke kali,” ujar Neni kepada Alinea.id di Ciracas, Jakarta Timur, Senin (22/11).
Perempuan yang sudah tinggal di daerah itu sejak 1980 mengungkapkan, hampir semua warga di lingkungannya tak punya tangki septik. Meski sebenarnya mampu membuatnya.
“Pokoknya rumah yang punya lebih dari satu saluran pipa ke kali, ya berarti buang tinjanya ke Kali Cipinang,” ucap Neni.
Kebiasaan warga di bantaran Kali Cipinang untuk buang hajat dan limbah rumah tangga, dikatakan perempuan berusia 58 tahun itu, sudah berlangsung lama. Neni sendiri beralasan, ia tak memiliki lahan membuat tangki septik.
Kebiasaan buruk warga
Warga lainnya, Suhardi, merasa tak ada yang salah dengan membuang limbah domestik ke kali. Namun, bila hujan tiba, baru ia kewalahan. Biasanya, banjir karena curah hujan lebat dan luapan Kali Cipinang membuat air masuk ke saluran kloset melalui pipa yang bermuara ke aliran kali.
Belum lagi, ia risih dengan aroma tak sedap limbah rumah tangga dari luapan air kali ketika hujan deras. Selama ini Suhardi membuang limbah rumah tangga ke kali karena tak punya lahan lagi untuk membuat tangki septik.
“Biayanya juga enggak ada,” ujar Suhardi, Senin (22/11).
Maya, seorang warga yang tinggal di lingkungan yang sama juga mengeluh sanitasi yang buruk di permukimannya. Perempuan yang baru empat tahun tinggal di daerah itu mengatakan, ikut-ikutan membuang limbah rumah tangga lantaran tak bisa membuat tangki septik karena tak ada lahan. Posisi rumah Maya yang berada di gang sempit membuat ia kesulitan mengatur tata letak tangki septik.
“Rumah yang besar dan punya lahan aja ke kali buangnya,” kata Maya, Senin (22/11).
Sewaktu membeli rumah itu empat tahun lalu, ia mengira sudah ada tangki septik. “Ternyata, saya tanya warga lain juga sama, enggak punya (tangki septik) dan buang (limbah) ke kali,” ucap Maya.
Seorang warga yang tengah berada di pinggir Kali Cipinang, Riski, menuturkan kali itu sudah dianggap mayoritas warga sebagai saluran pembuangan berbagai macam limbah. Riski pun mengatakan, posisi rumahnya yang berada di pinggir kali, menjadikan lebih mudah membuang limbah rumah tangga ke kali.
“Sejauh ini enggak ada sih penyakit gara-gara buang (limbah) ke kali,” tuturnya, Selasa (23/11).
Di sisi lain, Neni menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta sudah berulang kali mengumbar janji ingin membuat tangki septik komunal bagi warga. Namun, hingga kini belum ada realisasinya.
“Dulu sekitar tahun 2015 katanya warga yang enggak mampu, ingin dibikinin septic tank,” kata dia.
Berdasarkan penelusuran Alinea.id, sepanjang bantaran Kali Cipinang yang melintasi Kelurahan Rambutan, dipenuhi deretan rumah yang memiliki lebih dari satu pipa saluran pembuangan ke kali. Salah satunya berfungsi sebagai saluran pembungan tinja. Daerah ini belakangan menjadi sorotan karena sebagian besar warganya masih buang hajat ke kali.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta tahun 2018, tercatat sebagian besar rumah tangga di DKI Jakarta, yakni 90%, memang sudah memiliki fasilitas sanitasi yang memadai, seperti tangki septik. Namun, di setiap wilayah di DKI Jakarta masih ada warga yang memanfaatkan lubang tanah; pantai, tanah lapang, kebun; serta kolam, sawah, sungai, danau, dan laut untuk buang kotoran.
Sementara itu, Sekretaris Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, Abdul Khair membenarkan masih banyak warga di kelurahan wilayah Ciracas yang belum punya tangki septik. Ia mengklaim, pihaknya sudah berupaya mengurangi beban sanitasi buruk yang terjadi di bantaran Kali Cipinang dengan mengedukasi warga agar tak buang tinja ke kali karena bisa memperburuk kesehatan.
“Kami dengan puskesmas kecamatan dan kelurahan memberi sosialisasi dan edukasi, terutama masyarakat yang tinggal di bantaran Kali Cipinang untuk ikut program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM),” ucap Abdul, Selasa (23/11).
Selain itu, katanya, ada tiga pendekatan untuk mengurangi perilaku warga di Ciracas yang sering buang hajat ke kali. Pertama, membuatkan tangki septik lewat program Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Sasarannya keluarga tidak mampu,” ucap Abdul.
Kedua, menertibkan warga dengan menyosialisasikan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Di dalam Pasal 16 ayat 3 Perda DKI Jakarta 8/2007 disebutkan, setiap orang atau badan dilarang membuang limbah bahan berbahaya dan beracun ke saluran permukiman, sungai, dan laut sebatas 12 mil laut. Di dalam pasal 21 huruf c pun ditegaskan, setiap orang atau badan dilarang membuang air besar dan kecil di jalan, jalur hijau, taman, sungai, dan saluran air.
“Pak lurah harus mengimbau warganya yang ada di bantaran kali untuk membuat septic tank dan tidak membuang limbah ke sungai,” kata Abdul.
“Ini imbauan kepada semua lurah. Terutama Lurah Rambutan.”
Ketiga, membuat tangki septik komunal bagi warga yang tak mampu—selain program dari PUPR—dengan pembiayaan donasi kemanusiaan atau tanggung jawab sosial perusahaan.
“Akan dibantu tim kreatif Kecamatan Ciracas untuk membuat septic tank,” kata dia.
Lebih lanjut, Abdul mengatakan, sejauh ini terdapat 414 kepala keluarga di Kecamatan Ciracas yang tercatat belum memiliki tangki septik, dari semula 1.126 kepala keluarga. Kelurahan Rambutan menyumbang angka paling banyak, yakni 262 kepala keluarga.
"262 yang belum punya ini sedang kita upayakan untuk kita selesaikan," ucap Abdul.
Menurutnya, bukan perkara gampang mengubah perilaku warga membuang tinja ke kali. Ia menerangkan, perlu upaya paralel untuk menyelesaikan masalah ini.
Program SDA dan potret lama
Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Yusmada Faizal mengatakan, secara garis besar pengelolaan air limbah domestik di Jakarta dilakukan dengan dua pendekatan, yakni pengelolaan sistem setempat dan terpusat.
“Pengelolaan sistem setempat, yaitu dengan tangki septik individual atau komunal,” kata Yusmada dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Rabu (24/11).
“Cakupan pelayanan untuk pengelolaan setempat mulai dari satu unit rumah sampai dengan 10 unit rumah atau setara dengan lima jiwa sampai 50 jiwa.”
Sedangkan pengelolaan sistem terpusat, kata Yusmada, yaitu pengolahan air limbah domestik yang dilakukan untuk skala permukiman dan perkotaan. Cakupan pelayanan skala permukiman, mulai dari 51 jiwa hingga 20.000 jiwa dan skala perkotaan lebih dari 20.000 jiwa.
Selain itu, kata dia, pada sistem pengelolaan terpusat terdapat dua mekanisme penyaluran air limbah domestik, yakni sistem penyaluran tercampur (interceptor) dan penyaluran terpisah (sewer).
“Sistem penyaluran tercampur, yaitu suatu sistem di mana memanfaatkan saluran drainase untuk mengalirkan air limbah menuju ke pengolahan,” ujarnya.
“Sistem penyaluran terpisah, yaitu suatu sistem di mana dilakukan pemisahan dalam menyalurkan air limbah dan air hujan, dengan mengalirkannya ke dalam dua saluran yang berbeda.”
Lebih jauh, ia menjelaskan, pengolahan air limbah domestik yang sudah dilakukan Dinas SDA DKI Jakarta di Kecamatan Ciracas, antara lain pengolahan sistem setempat dengan kegiatan revitalisasi tangki septik, yang sudah dimulai sejak 2020.
“Jumlah total tangki septik yang sudah direvitalisasi di Kecamatan Ciracas sampai dengan saat ini 315 lokasi,” tuturnya.
Kegiatan itu, ujar Yusmada, merupakan kerja sama antara Dinas SDA DKI Jakarta dengan Perusahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah (PD PAL) Jaya. Kemudian, pengolahan sistem terpusat, dengan membangun Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat (SPALD-T) skala permukiman di kompleks Dinas Lingkungan Hidup Ciracas dan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Ciracas Prima, berkapasitas 80 m3 per hari dan bisa melayani 800 jiwa.
Menurut dia, secara khusus untuk Kelurahan Rambutan, Dinas SDA DKI Jakarta sejak 2019 sudah memulai mengelola air limbah domestik dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat (IPALD-T) skala permukiman di Waduk Kampung Rambutan, berkapasitas 500 m3 per hari dan bisa melayani 5.000 jiwa.
“Pembangunan IPALD-T ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi sanitasi warga di RW 06 dan meningkatkan kualitas air yang akan masuk ke Waduk Kampung Rambutan,” kata Yusmada.
Selanjutnya, pada 2021 Dinas SDA DKI Jakarta membangun IPALD-T tambahan di Waduk Kampung Rambutan 2, berkapasitas 500 m3 per hari dan bisa melayani 5.000 jiwa.
“Adapun rencana tahun 2022, Dinas SDA Provinsi DKI Jakarta akan membangun SPALD-T skala permukiman untuk kapasitas 130 m3 per hari sehingga dapat melayani kurang lebih 1.300 jiwa,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan sekaligus pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai, kasus buruknya sanitasi di Ciracas adalah potret bahwa Pemprov DKI Jakarta tak punya rencana induk yang menyeluruh mengenai pembangunan sanitasi bagi warga.
“Dinas SDA (Sumber Daya Air) DKI Jakarta perlu segera menyusun Rencana Induk Jaringan Pengolahan Air Bersih dan Air Limbah Terpadu, yang memuat rencana pembangunan perpipaan air bersih dan air limbah,” ujar Nirwono saat dihubungi, Senin (22/11).
“(Lalu) rencana pembangunan instalasi pengolahan air limbah terpadu atau komunal, rencana pembangunan septic tank komunal, tahapan pembangunan dan rencana pembiayaan dalam jangka 10-20 tahun ke depan.”
Ia melihat, sejauh ini Pemprov DKI Jakarta masih seperti petugas pemadam kebakaran dalam menyikapi sanitasi buruk di Jakarta. Sehingga, pembangunan sanitasi, termasuk pengadaan tangki septik, masih dilakukan pasial dan tidak terencana matang.
Nirwono berpendapat, menyelesaikan problem sanitasi buruk di Jakarta perlu dilakukan secara bertahap, mulai dari permukiman padat penduduk.
"Pastikan keberadaan permukiman tersebut sesuai rencana tata ruang kota, sehingga tidak dibongkar atau digusur infrastruktur yang akan dibangun di situ," ucap Nirwono.
Di samping itu, program ini harus dilakukan jangka panjang. Dengan begitu, kata Nirwono, siapa pun kepala daerahnya, wajib meneruskan program tersebut. Perlu kemauan serius dari pemerintah untuk mengatasi sanitasi buruk di Ibu Kota. Pasalnya, menurut dia, masalah ini sudah ada sejak lama.
"Diperlukan political will seluruh pihak, mulai dari kepala daerah, siapa pun gubernur dan partai politiknya, anggota dewan legislatif untuk penganggaran, komitmen dari Dinas SDA sebagai pelaksana program, serta edukasi ke masyarakat yang bersangkutan," ujar Nirwono.