Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mendukung kesungguhan pemerintah untuk menjamin ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, langkah ini dapat diupayakan dengan membangun pemajuan dan penegakan HAM yang efektif.
"Di antaranya dengan mendorong ratifikasi semua instrumen HAM Internasional, perubahan kebijakan di berbagai sektor dan tatanan kelembagaan pada institusi negara, dan peningkatan kapasitas penegak hukum dan aparat sipil negara melalui pendidikan dan pelatihan HAM," kata Nova dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (12/1).
Komnas HAM menyambut baik sikap Presiden Joko Widodo atas adanya pengakuan terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM.
Pengakuan tersebut memperlihatkan komitmen pemerintah sebagai pemangku kewajiban dalam pemulihan hak korban. Dalam hal ini, pemulihan hak korban berupa memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Lebih lanjut, Nova menilai, hak pemulihan juga berlaku bagi korban pelanggaran HAM berat yang telah disidangkan di Pengadilan HAM.
"Komnas HAM berpandangan bahwa hak korban atas pemulihan juga berlaku bagi korban peristiwa
pelanggaran HAM berat yang telah disidangkan melalui Pengadilan HAM, namun hingga saat ini belum mendapatkan haknya atas pemulihan," ujar Nova.
Adapun peristiwa yang dimaksud Nova, yakni peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Timor-Timor 1999, peristiwa Abepura 2000, dan peristiwa Paniai 2014.
Di sisi lain, imbuh Nova, jaminan ketidakberulangan ini juga dapat diupayakan dengan membuka ruang bagi korban untuk mengajukan status sebagai korban pelanggaran HAM berat kepada Komnas HAM.
"Sesuai mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, Komnas HAM berwenang untuk menyatakan seseorang sebagai korban peristiwa pelanggaran HAM yang berat," tutur dia.
Sedangkan untuk penindakan atas peristiwa pelanggaran HAM berat yang masih belum tuntas, Nova meminta agar pihaknya difasilitasi untuk melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum guna menyelesaikan perkara yang ada. Permintaan ini disampaikan kepada Menko Polhukam Mahfud MD yang juga merupakan Ketua koordinator tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM).
"Meminta Menkopolhukam untuk memfasilitasi koordinasi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung terkait tugas dan kewenangan dalam menjalankan penyelidikan dan penyidikan, guna menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme yudisial," kata Nova.
Di samping itu, Komnas HAM juga meminta Menko Polhukam untuk merumuskan langkah konkret tindak lanjut atas laporan tim PPHAM. Dalam hal ini, pihaknya turut mendukung dan mendorong tindak lanjut dari laporan tim PPHAM sebagaimana komitmen yang disampaikan Presiden Jokowi.
Usai menerima laporan hasil pemeriksaan dan penyelidikan ulang terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilakukan tim PPHAM, Jokowi mengakui adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi pada berbagai peristiwa.
Dia menyatakan, pemerintah bersungguh-sungguh agar hal itu tidak kembali terjadi di Indonesia. Jokowi sangat menyesalkan 12 peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, serta menyampaikan rasa simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban.
12 peristiwa dimaksud yakni Tragedi 1965-1966; Penembakan Misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989; dan peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
Kemudian juga peristiwa kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999; peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999; peristiwa Wasior di Papua 2001-2002; peristiwa Wamena, Papua di 2003; serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.