Jumlah pelaku korupsi tertinggi di Indonesia bukanlah anggota DPR, tetapi justru pegawai pemerintah daerah.
Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan menarik untuk dicermati, jika selama ini publik menduga bahwa DPR, DPRD atau anggota legislatif merupakan aktor yang paling banyak melakukan korupsi, ternyata tidak.
Dari seluruh terdakwa korupsi, nyatanya aktor yang berprofesi sebagai pegawai di tingkat Pemkab/Pemkot/Pemprov menjadi pelaku korupsi tertinggi pada tahun 2017 yaitu sebanyak 456 terdakwa atau sekitar 32,97%, sedangkan pihak swasta sebanyak 224 terdakwa sekitar 16,20%.
Kemudian diikuti oleh kepala daerah sebanyak 94 terdakwa atau 6,80%, BUMN atau BUMD yaitu sekitar 2,68% atau 37 terdakwa, dari pihak kampus sebanyak 34 terdakwa kemudian yang berasal dari anggota legislatif baik DPR atau DPRD sekitar 33 terdakwa atau sekitar 2,39%.
"Kami agak sulit untuk mengidentifikasi kenapa kemudian untuk legislatifnya itu bisa lebih rendah, dari kepala daerah. Padahal di sisi lain juga ada Pemilu legislatif di level daerah," katanya di Jakarta, Kamis (3/5).
Selain itu, Berdasarkan temuan ICW juga selama semester 2 tahun 2017, Kejaksaan menuntut 977 terdakwa tindak pidana korupsi. Sedangkan, KPK hanya 51 perkara korupsi. Artinya, 94,67% putusan merupakan hasil kerja penuntutan kejaksaan, sedangkan sekitar 5,25% putusan berasal dari penuntutan yang dilakukan oleh KPK.
"Akan tetapi mayoritas vonis perkara korupsi yang perkaranya ditangani masing-masing lembaga sama-sama vonis ringan," jelas Easter.
Selain itu, disparitas atau perbedaan putusan pun, masih menjadi persoalan serius. Saat upaya menghukum kejahatan luar biasa korupsi dengan seberat-beratnya terus didorong. justru, lembaga peradilan menimbulkan persoalan disparitas.
Setidaknya terdapat dua alasan utama mengapa disparitas putusan menjadi hal yang penting untuk mendapat perhatian serius. Pertama, disparitas putusan pada akhirnya akan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Disparitas membuat putusan pengadilan menjadi diragukan publik. Hal ini disebabkan karena perkara yang serupa diputus berbeda. Dalam konteks korupsi, disparitas membuka peluang memutus perkara korupsi dengan kerugian negara besar untuk diputus lebih ringan dibandingkan perkara dengan nilai kerugian negara kecil.
Kedua, dalam kondisi yang ekstrim, disparitas putusan bisa terjadi karena adanya transaksi jual-beli putusan. Hal ini dikarenakan hakim yang memiliki kemandirian dan independensi dapat memutus sebuah perkara korupsi sesuka hatinya tanpa pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
"Ada inkonsistensi baik dari penuntut maupun Hakim dalam menuntut maupun memutus perkara korupsi. Sebagai contoh ada yang tuntutannya sama tapi putusannya berbeda, di sisi lain kerugian keuangan negara juga berbeda, latar belakang aktor pun berbeda, tuntutannya bisa sama," tegasnya.
Itulah kenapa dalam rekomendasi ICW pula, di antaranya adalah persoalan pedoman pemidanaan buat MA dan pengadilan di bawahnya.
"Khususnya di bawahnya hakim, dan yang kedua agar Jaksa Penuntut Umum di KPK juga punya standar atau pedoman penuntutan. Nah, untuk kejaksaan pedoman yang sudah ada itu harus lebih maksimal lagi diterapkan," katanya.
Karena, bukan hanya soal kerugian negara, tapi juga soal besaran suap, latar belakang profesi, jenis tindak pidana korupsi lainnya. Hal tersebut, bisa pula dibuatkan pedoman pemidanaan, agar kepastian hukum bisa tercapai karena sudah ada langkah preventif dari masing-masing aparat, ketika akan melakukan penuntutan maupun hakim untuk mengeluarkan putusan.
Ester menegaskan, ada beberapa rekomendasi yang ingin disampaikan ke Kejaksaan, Mahkamah Agung, termasuk ke pemerintah dalam konteks ini adalah presiden dan jajarannya.
Pertama, untuk Mahkamah Agung kami mendorong agar Mahkamah Agung membentuk pedoman pemidanaan.
"Rekomendasi kedua, bahwa Kejaksaan memperluas lagi pedoman penuntutannya. bukan hanya soal kerugian keuangan negara, tapi juga jenis-jenis tindak pidana korupsi yang lain, soal penyuapan, soal gratifikasi, konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, dan lain-lain," tegasnya
Kemudian, terkait dengan pemerintah dan jajaran di bawahnya. karena berdasarkan data, mayoritas pelaku atau latar belakang profesi dari terdakwa korupsi ini adalah pegawai di level Pemda. Sehingga, mengindikasikan pengawasan internal di pemerintahan baik level nasional maupun daerah khususnya, yang tidak berjalan dengan baik.
Dengan demikian, pihaknya ingin menyampaikan kepada presiden dan jajaran di bawahnya yang relevan dengan pengawasan pegawai negeri, pada level Pemda untuk meningkatkan pengawasan internalnya.