Sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Tomagola, mengungkapkan perbedaan radikal dengan radikalisme. Ia merasa perlu menjelaskan karena pemerintah kerap menuding pihak-pihak yang berseberangan dengan terpapar paham radikal. Padahal, yang berbahaya dan harus ditolak adalah radikalisme.
Menurut Tamrin, radikal adalah cara berpikir tentang mencari inti persoalan dalam satu masalah. Orang yang berpikir secara radikal, kata dia, adalah mereka yang ingin mencabut akar masalah. Sedangkan radikalisme adalah kecenderungan untuk menyelesaikan segala sesuatu secara ekstrem.
"Radikal itu berbeda dengan radikalisme. Radikal itu cara berpikir yang selalu mencari akar masalah dan ingin mencabut masalah itu dari akarnya. Tapi kalau radikalisme adalah kecenderungan untuk menyelesaikan segala sesuatu secara ekstrem,” kata Tamrin dalam diskusi di kawasan Jakarta Selatan, Minggu (10/11).
Menurut Tamrin, dalam kehidupan segala persoalan tidak melulu bisa diselesaikan dengan cara ekstrem. Dia berkeyakinan setiap masalah yang muncul bisa diselesaikan dengan berdialog atau melalui mekanisme moderat.
"Yang kita tolak sebenarnya radikalisme. Tapi, kalau orang berpikir radikal itu bagus, bahwa segala sesuatu itu ada akar masalahnya. Akar masalah itu harus dicari kalau ingin menuntaskan masalah itu," ujar Tamrin.
Lebih lanjut, Tamrin mengatakan, berkenaan dengan toleransi, untuk bisa hidup bersama hal pertama yang harus dilakukan adalah mengakui bahwa memang banyak kelompok-kelompok yang berbeda.
Setelah itu, tahap berikutnya adalah harus ada akseptabilitas atau sesuatu hal yang dapat diterima, terhadap kelompok-kelompok yang berbeda tersebut.
"Yang paling menjadi kunci untuk bisa hidup dalam hukum yang toleran adalah mengaku bahwa kita berbeda dan kemudian menerima perbedaan itu," ucap dia.