close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah aktivis melakukan aksi unjuk rasa terkait pelanggaran HAM berat masa lalu. Antara Foto
icon caption
Sejumlah aktivis melakukan aksi unjuk rasa terkait pelanggaran HAM berat masa lalu. Antara Foto
Nasional
Selasa, 10 Desember 2019 10:02

Bukti dan saksi cukup, pelanggar HAM masa lalu dapat diadili

Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu bukan sesuatu yang sulit untuk dibawa ke pengadilan.
swipe

Penyintas peristiwa pembantaian 1965-1966, Bejo Untung, mengatakan tak ada alasan bagi negara untuk tidak memproses hukum pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada masa lalu. Pasalnya, alat bukti peristiwa pelanggaran HAM sudah memadai.

Bersama korban pelanggaran HAM masa lalu lainnya, Bejo Untung menyerahkan surat pengaduan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Saat mengadu itu ia meminta agar proses hukum harus dilaksanakan.

Apalagi, sebanyak 99,5% masyarakat menyetujui penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui proses pengadilan. Angka itu dihasilkan dari survei dan penelitian yang dilakukan oleh Litbang Kompas dan Komnas HAM.

“Korban masih ada. Pelaku yang menunjukan itu lokasi pembunuhan juga masih ada. Bukti-bukti apakah bentuk testimoni, maupun juga administrasi, surat-surat pembebasan (sebagai tahanan politik/tapol) itu masih ada semua. Kartu KTP yang ada ET-nya (eks tapol juga) masih ada,” kata Bejo di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (9/12).

Paian Siahaan, orang tua dari Ucok Munandar Siahaan yang menjadi korban penghilangan paksa 1998, berpendapat hasil survei Litbang Kompas dan Komnas HAM menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang mendukung Komnas HAM untuk segera menyelesaikan kasus kejahatan atas kemanusiaan tersebut.

“Dengan adanya hasil jajak pendapat ini, tentunya kami sebagai keluarga korban akan meminta kepada Komnas HAM jangan sampai sia-sia (hasil survei). Artinya, dukungan masyarakat itu jangan sampai dilewatkan begitu saja,” ujar Paian.

Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan korban Tragedi Semanggi I, mengingatkan kembali mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-V/2007 yang menyatakan terjadi atau tidaknya pelanggaran HAM berat ditentukan oleh Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik. Ada tidaknya pelanggaran bukan atas dugaan DPR.

"Kemudian juga ada keputusan MK kalau tidak salah Nomor 75/PUU-VIII Tahun 2015 yang menyatakan bahwa proses penyelesaian HAM berat yang terkatung-katung, bukan dipersoalkan hukum atau yuridis lagi, melainkan persoalan kemauan politik," kata Sumarsih.

Oleh sebab itu, kata dia, mau diselesaikan atau tidaknya pelanggaran HAM berat masa lalu tergantung dari penguasa.

Pada kesempatan yang sama, Manager Kampanye Amnesty Internasional Indonesia, Puri Kencana Putri, berpendapat publik saat ini optimis bahwa pengadilan HAM merupakan mekanisme yang dapat digunakan secara maksimal untuk proses penyelesaian kasus HAM berat. Selain itu, kepastian hukum juga perlu diberikan sebagai hak korban. 

"Hak korban adalah satu hak atribusi yang memang harus diberikan sebagai bentuk pengakuan pertanggung jawaban negara terhadap apa yang terjadi di masa lalu," ujar Puri.

Menanggapi pengaduan itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mohammad Choirul, mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM berat bukan sesuatu yang sulit untuk dibawa ke pengadilan. “Jadi kalau ini (pelanggaran HAM) dibawa ke pengadilan memungkinkan, tidak ada yang tidak mungkin. Ini cuma soal komitmen saja," ujar Choirul.

Lebih lanjut, Choirul berterima kasih kepada korban dan keluarga korban yang sampai saat ini masih mendukung lembaganya dalam menyelesaikan kasus kemanusiaan tersebut.

"Tanpa ada dukungan dari korban, kerja-kerja yang kami lakukan juga tidak akan maksimal. Karena korbanlah tulang punggung kebenaran dan spirit dari pencarian keadilan," ucap dia.

Sebelumnya, survei Litbang Kompas dan Komnas HAM menunjukkan 62,1% responden memilih mekanisme pengadilan nasional untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sisanya, 37,2% memilih diselesaikan oleh pengadilan internasional. Sedangkan hanya 0,5% saja yang memilih lainnya.

Dari hasil itu, dapat disimpulkan 99,5% responden memilih pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian kasus HAM. Adapun riset ini dilaksanakan dari 23 September 2019 sampai 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan sampling error 2,8 persen.

Pengaduan korban dan keluarga korban sendiri didampingi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Amnesty International Indonesia. Perwakilan korban di antaranya dari kasus Semanggi I, Penghilangan Paksa 1997-1998, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa 1965-1966, dan Tragedi Mei 1998.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan