Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan lagi surat perintah penyidikan (sprindik) kasus dugaan korupsi suap di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang sempat menyeret Eddy Hiariej selaku wakil menteri. KPK tidak menyerah terhadap kasus tersebut.
Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan, penyidik telah melakukan perkara dan menarik kesimpulan untuk mengeluarkan sprindik baru. Modal baiknya adalah, substansi dari materi penyidikan belum pernah diuji jadi jauh dari nebis in idem.
“Beberapa waktu lalu hanya menguji keabsahan syarat formilnya saja,” katanya kepada wartawan.
Selain itu, penyidik juga menetapkan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali alias Gus Muhdlor sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemotongan dan penerimaan uang di lingkungan BPPD Pemkab Sidoarjo. Dia menyusul dua tersangka yang lebih dulu dijerat KPK, yakni: Kepala Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo Ari Suryono dan seorang pejabat bernama Siska Wati.
Bukan sebatas bupati, Gus Muhdlor yang disokong PKB rupanya deklarasi mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Acara deklarasi itu digelar oleh pimpinan Ponpes Bumi Shalawat KH Agoes Ali Masyhuri atau Gus Ali di Pondok Pesantren (Ponpes) Bumi Shalawat, Desa Lebo, Sidoarjo, Kamis (1/2).
Acara "Nderek Kiai Prabowo-Gibran" itu juga dihadiri oleh Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani, pimpinan Ponpes Amanatul Ummah KH Asep Saifuddin Chalim, kakak Gus Muhdlor Aria Muhammad Ali, serta Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jatim Boedi Priyo Suprayitno. Ada ribuan massa yang hadir pada acara tersebut.
Dalam kesempatannya, Gus Muhdlor menyampaikan dua hal. Pertama, paslon Prabowo-Gibran dipercaya bisa melanjutkan program-program Presiden Jokowi yang berhasil. Kedua, mengajak massa yang hadir itu untuk memilih paslon 02 Prabowo-Gibran sesuai dengan arah dukungannya.
Ia menegaskan bahwa sebagai Bupati Sidoarjo, ia mendukung penuh Prabowo-Gibran.
"Sing ke loro ojo ditakok maneh (yang kedua jangan ditanya lagi) Pak Bupati milih Pak Prabowo, nderek kiai milihe Pak Prabowo," ujarnya.
Langkah KPK harus tegak lurus dan mantap untuk mencegah kembali kejadian serupa. Yakni, bebasnya para koruptor dari status yang harusnya disematkan kepada mereka.
Maka dari itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Airlangga, Iwayan Titib meyakini, KPK sudah bebas dari jeratan conflict of interest yang selama ini mewarnai. Mengingat, Eddy sebagai pembantu Presiden Joko Widodo seakan memiliki kartu bebas penjara.
Ia pun ingin publik berkaca pada kasus yang menjerat Firli Bahuri sebagai Ketua KPK dengan kasus dugaan penerimaan gratifikasi atau suap. Firli diduga menerimanya terkait kasus korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan).
“Benar (conflict of interest) tidak ada di KPK,” kata Iwayan Titib, kepada Alinea.id, Selasa (16/4).
Mantan Penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap meyakini bekas kantornya itu tidak akan gegabah dalam menjalani langkah ini. Kemenangan yang diraih Eddy pada praperadilan sebelumnya pun hanya sebatas formil bukan materil.
Sederhananya, membuktikan bahwa Eddy masih diduga terlibat dalam kasus korupsi. Perbuatan pidana yang masuk dalam penyidikan tetap berlaku.
Apalagi, menurut mantan ketua wadah pegawai KPK ini, kasus Eddy termasuk kasus bigfish. Karena, melibatkan pejabat dengan jabatan sebagai wamenkumham sehingga selesai atau tidak selesainya kasus ini merupakan pertaruhan KPK di mata publik.
“Jadi saya pikir KPK tidak akan gegabah ya, tentu dipelajari sebelum akhirnya memutuskan,” ucapnya kepada Alinea.id.
Sementara Ketua IM57+ Institute, Praswad Nugraha menilai, kasus Bupati Sidoarjo semakin menunjukan upaya itu. Apalagi pihaknya mencurigai kejanggalan pada penanganan kasus Sidoarjo karena berpotensi dipolitisasi.
Pada kenyataannya kekhawatiran mereka terbukti dengan penetapan tersangka tepat dilakukan pasca penyelenggaraan pilpres. Selama pilpres, pasca OTT yang tidak menetapkan bupati sebagai tersangka, Bupati Sidoarjo gencar kampanye untuk pasangan calon yang didukung oleh Presiden.
“Tidak heran berbagai pihak mempertanyakan objektifitas penanganan kasus ini,” kata Praswad saat dikonfirmasi Alinea.id, Selasa (16/4).
Terlebih, dari kacamata penyidikan penuh kejanggalan. Pasca OTT, kata Praswad, Nurul Ghufron selaku pimpinan KPK sudah menjelaskan bahwa uang yang dikumpulkan dalam rangka kepentingan pemenuhan kebutuhan Bupati.
Artinya penyidik sudah memiliki bukti permulaan yang memadai sampai pimpinan KPK berani mengeluarkan statement tersebut. Sayangnya, pasca OTT, alih-alih menetapkan bupati jadi tersangka malah pelaku lapangan dengan level jabatan yang tidak tinggi yang menerima status itu.
Pun, Bupati tidak kooperatif dan sempat menghilang. Ia pun sempat meragukan motif apa penetapan tersangka dilakukan pasca penetapan pemenang pilpres dan menjelang putusan MK.
“Wajar apabila publik melihat adanya potensi politisasi pada kasus ini,” ucapnya.