Direktur Legal Culture Institute, M. Rizqi Azmi, mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak perlu menambah personel untuk memburu tersangka kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, Harun Masiku.
"Kami menilai, kegiatan menambah kuantitas ini tidak dibutuhkan KPK," ucapnya dalam keterangan resmi kepada Alinea.id, Selasa (25/8). Harun ditetapkan sebagai buron sejak 17 Januari 2020 dan belum diketahui keberadaannya hingga kini.
KPK, menurutnya, harus menunjukkan kualitas dan diferensiasinya dalam menyelesaikan setiap kasus rasuah. Dia mengingatkan, KPK merupakan "badan tambahan istimewa" karena aparat penegak hukum yang eksis sebelumnya dianggap gagal menyelesaikan kasus korupsi.
Karenanya, Rizqi menilai, rencana menambah personel pemburu Harun Masiku justru secara psikologis berdampak negatif terhadap lembaga superbody tersebut. "KPK terkesan lost of mind dan gagal bertindak."
"Kemudian, menyebabkan fungsinya sebagai extraordinary bodies menjadi lemah karena mengikuti cara-cara biasa lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan," sambungnya.
Rizqi berpendapat, Harun Masiku harus dikejar dengan cara-cara luar biasa, yang sebenarnya aparat penegak hukum Indonesia sudah terlatih dan memiliki alat yang canggih dalam memantau setiap kasus.
"Seperti BIN, Polri, dan Kejaksaan yang baru-baru ini me-launching Adhyaksa Monitoring Center-nya. Namun, kesemua itu memang harus dibarengi keinginan dan komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi. Dan semangat itulah yang melahirkan sebuah badan bernama Komisi Pemberantasan Korupsi," paparnya.
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, sebelumnya mengatakan, pihaknya tetap mencari keberadaan Harun Masiku. Bekas kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu masih buron hingga kini terkait kasus suap yang menjerat bekas Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.
Dalam perjalanannya, KPK hendak menambah personel tim satuan tugas (satgas) yang telah dibentuk untuk memburu Harun. Selain itu, membuka opsi membentuk satgas lain demi kelancaran tugas.
"Saya memang telah meminta Plt Direktur Sidik dan Deputi Penindakan (untuk) menambah personel satgas yang ada atau menambah satgas lain (sebagai) pendamping satgas yang ada," ucapnya.
Sementara itu, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Wahyu bersalah dalam kasus suap PAW anggota DPR. Dia pun dihukum enam tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.
Terdakwa Wahyu dinilai terbukti menerima suap Rp600 juta dari Harun dan Rp500 juta dari Sekretaris KPU Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama enam tahun dan pidana denda sebesar Rp150 juta, yang bila tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama empat bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim, Susanti, saat membacakan amar putusan.
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, delapan tahun penjara plus denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan.
Wahyu dinyatakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau Pasal 12 Ayat (1) huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.