close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Perempuan buruh selama ini masih belum diakui sebagai pekerja oleh negara. / Antara Foto
icon caption
Perempuan buruh selama ini masih belum diakui sebagai pekerja oleh negara. / Antara Foto
Nasional
Selasa, 01 Mei 2018 10:42

Buruh, perempuan, & ancaman hukuman pancung

Nasib buruh perempuan Indonesia layaknya pahlawan yang terlupakan, terutama para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.
swipe

Nasib buruh perempuan Indonesia layaknya pahlawan yang terlupakan, terutama para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.

Perempuan buruh selama ini masih belum diakui sebagai pekerja oleh negara. Sehingga, perlindungan dan pemenuhan haknya sebagai perempuan buruh juga masih lemah, terlebih lagi, banyak buruh perempuan masih bekerja dalam sektor yang sangat rentan terhadap kekerasan, seperti pekerja rumah tangga, buruh tani, buruh perkebunan, dan buruh nelayan. 

Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Puspa Dewy mengatakan, hingga kini perempuan buruh masih menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan akibat konstruksi sosial dan budaya patriarki yang terus menguat hingga saat ini. 

Perempuan buruh nelayan atau tani misalnya, masih belum mendapatkan pengakuan, bahkan masih mengalami diskriminasi, baik dalam pengambilan keputusan maupun menjadi subyek dari kebijakan maupun program pemerintah dalam perlindungan nelayan.

Lebih dari itu, mereka juga kerap mengalami kekerasan hingga intimidasi dan kriminalisasi saat mereka memperjuangkan haknya. 

"Tiga tahun pemerintah Jokowi-JK belum memperlihatkan keseriusannya dalam melindungi hak perempuan buruh. bahkan pengakuan negara terhadap perempuan buruh nelayan atau perempuan pekerja rumah tangga juga belum terjadi," katanya, Senin (30/4).

Berdasarkan pengalaman Solidaritas Perempuan yang telah lebih dari 27 tahun bekerja bersama perempuan akar rumput, menunjukkan fakta bahwa kerentanan perempuan buruh tidak terlepas dari faktor pemiskinan akibat sistem negara dan non negara yang mengakibatkan hilangnya sumber kehidupan perempuan.

Masifnya pembangunan yang berorientasi pada agenda politik ekonomi global dan infrastruktur mengakibatkan banyak sumber-sumber kehidupan rakyat yang terampas oleh negara. 

"Tanah dan sumber kehidupan perempuan dirampas, hingga mereka menjadi buruh di tanah sendiri, bahkan menjadi pekerja rumah tangga di luar negeri," katanya.

Belum lagi, perempuan buruh tani hari ini harus berhadapan dengan ancaman perampasan tanah dan alih fungsi lahan. Sehingga, menghilangkan kedaulatannya atas produksi pertanian. 

Tidak hanya itu, berbagai perjanjian perdagangan bebas yang diikuti pemerintah, memaksa pertanian tradisional, bersaing dengan produk pangan milik perusahaan besar.

Program-program pemerintah seperti Upsus Pajale di Poso, maupun program penyeragaman benih lainnya dalam menciptakan ketergantungan terhadap input pertanian perusahaan, sehingga menghilangkan pengetahuan, pengalaman serta nilai-nilai dan budaya sosial perempuan di sektor pertanian.

Lain lagi, situasi persoalan perempuan buruh nelayan di Jakarta. Perempuan buruh nelayan memiliki peran strategis sektor perikanan.

Sayangnya, pembangunan di wilayah pesisir telah mengakibatkan hancurnya ruang hidup dan sumber produksi perempuan buruh nelayan, sehingga berkurangnya hasil tangkapan ikan dan pada akhimya berdampak pada penurunan jumlah penghasilan perempuan buruh.

Apalagi, perempuan nelayan tersebut juga dianggap bukan nelayan. Mereka, hanya sekadar membantu pekerjaan hanya sekedar suami. Akibatnya, mereka tidak menjadi subyek dalam pengambilan keputusan maupun dalam mengakses berbagai program dan jaminan sosial yang disediakan karena tidak adanya pengakuan tersebut.

Setali tiga uang, dengan perempuan buruh perkebunan kelapa sawit yang masih mengalami berbagai pelanggaran hak. Kondisi kerja yang penuh dengan risiko akan keselamatan dan gangguan kesehatan perempuan. 

Solidaritas Perempuan Anging Mamiri menemukan fakta, banyaknya perempuan buruh migran asal Makassar yang bekerja menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit di sabah atau Sarawak, Malaysia, masih minimnya jaminan keselamatan dan jaminan kerja.

Puspa menegaskan, penindasan dan ketidakadilan berlapis juga dialami perempuan buruh migran Indonesia yang mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga. 

Para perempuan buruh migran memiliki kerentanan yang tinggi terhadap tindak kekerasan, pelanggaran hak, termasuk menjadi korban perdagangan manusia. 

Setidaknya, dari 66 kasus buruh migran sepanjang tahun 2017, terhadap 3 kasus yang masih dalam proses penanganan sejak tahun 2011. 

Perjuangan Sumartini dan Warnah

Pada 2011 lalu, 2 TKW Indonesia Warnah binti Wartak asal Karawang dan Sumartini Binti Manaungi Galisung asal NTB terancam hukuman pancung. Karena dituduh menghilangkan nyawa anak majikannya bernama Tisam.

Hingga kemudian, melalui bantuan pemerintah RI mengajukan banding serta meminta pengampunan kepada pemerintahan Arab Saudi.

Aktivis Solidaritas Perempuan, sekaligus Pendamping Keluarga dan Korban, Armalia Sarah menceritakan Warnah dan Sumartini yang hingga kini masih masih di penjara. Padahal, sang anak yang katanya korban sihir yang telah dibunuh kedua TKW tersebut, sudah kembali ke rumahnya.

"Sang anak, sama sekali tidak meninggal dunia," katanya.

Sehingga, dia menganggap kasus dan dakwaan tersebut mengada-ngada karena pada kasus tersebut tidak ada korban.

Akan tetapi, kedua TKW tersebut masih saja berada dalam bui dan mengalami hukuman rajam. 
 

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan