Laju bus DAMRI: Perannya dalam revolusi, persoalannya tiada henti
Masalah membelit Perusahaan Umum (Perum) Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) cabang Bandung, Jawa Barat. Beberapa waktu lalu, tersebar di media sosial, surat pengumuman bernomor 986/UM.001/10/GM/X-2021.
Surat tersebut berisi informasi bahwa DAMRI cabang Bandung mengalami kerugian dan kesulitan biaya operasional. Terhitung 28 Oktober 2021, seluruh layanan bus DAMRI di Bandung sementara berhenti operasional.
Meski begitu, tak semua trayek bus DAMRI di Kota Bandung berhenti beroperasi. Ada tiga trayek yang masih melayani penumpang seperti biasa, yakni Jatinangor-Elang (via tol), Cibiru-Kebon Kalapa, dan Alun-Alun-Kota Baru Parahyangan.
Sedangkan yang benar-benar berhenti melayani penumpang, antara lain trayek Cicaheum-Cibeureum, Ledeng-Leuwipanjang, Dipatiukur-Leuwipanjang, Elang-Jatinangor (via Cibiru), Dipatiukur-Jatinangor, Kebon Kalapa-Tanjung Sari, Cicaheum-Leuwipanjang, dan Alun-Alun-Ciburuy.
Problem tak berhenti di situ. Terkuak pula dugaan korupsi di DAMRI cabang Bandung. Dikutip dari Antara, Jumat (29/10), Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung mengungkap dugaan kasus penggelapan uang, yang membuat perusahaan tersebut rugi sekitar Rp1,2 miliar. Penggelapan itu diduga dilakukan seorang karyawan berinisial SS.
“Dari tahun 2016 hingga November 2018, terdapat beberapa UPP (uang pendapatan perusahaan) yang tidak disetor ke kas DAMRI cabang Bandung,” kata Kasi Pidsus Kejari Bandung, Taufik Effendy, seperti dilansir dari Antara.
Angkutan dalam revolusi
DAMRI memiliki riwayat panjang. Dimulai dari perebutan dua perusahaan angkutan Jawa Unyu Zigyosha (perusahaan truk dan cikar Jawa) dan Zidosha Sokyoku (jawatan angkutan penumpang) oleh para pemuda usai Jepang kalah perang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Para pemuda sadar, selain senjata dan jaringan telekomunikasi, instansi transportasi juga penting guna kelangsungan negara baru. Kendaraan bermotor yang sebelumnya dimonopoli kedua lembaga itu, sebut buku 20 Tahun indonesia Merdeka (1965), dimanfaatkan untuk kepentingan angkutan umum demi kelancaran perekonomian. Aksi ini berlangsung di sejumlah kota di Jawa.
Di Surabaya misalnya, menurut sejarawan asal Australia Frank Palmos dalam buku Surabaya 1945: Sakral Tanahku (2016), pada Agustus dan awal September 1945 anggota serikat pekerja yang tergabung dalam Barisan Oeroesan Mobil (BOM) mengambil alih sektor transportasi umum.
Anggota BOM, yang terdiri dari sopir mobil dalam divisi transportasi itu, menyita sekitar 400 kendaraan dari Jepang, sebelum Sekutu tiba di Surabaya.
“BOM ini kemudian hari berubah menjadi DAMRI,” tulis Palmos, mengutip tulisan Irma Soewito di buku Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan (1994).
“Inventaris mereka dalam bulan Oktober menunjukkan kita punya 2.000 truk angkut dan beratus-ratus kendaraan lainnya (sepeda motor, sedan, jip),” kata Palmos, mengutip tulisan Roeslan Abdulgani di buku Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia (1980).
Selanjutnya, pada 26 November 1946 pemerintah melebur dua instansi ini ke dalam Kementerian Perhubungan, dengan nama DAMRI. Buku 20 Tahun Indonesia Merdeka menyebutkan, lembaga ini diberi tugas mengadakan angkutan umum dengan kendaraan bermotor.
DAMRI memiliki peran cukup besar dalam masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Menurut Heru Sukadri dkk dalam buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Timur (1991), tugas yang diemban DAMRI selama revolusi, antara lain sebagai angkutan di medan pertempuran, menyelenggarakan angkutan beras untuk India, mengangkut TNI yang “dihijrahkan”, dan menyelenggarakan angkutan kayu untuk Djawatan Kereta Api (DKA).
Tugas penting lainnya, seperti dicatat dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, antara lain merebut kendaraan dari Jepang, menyelenggarakan angkutan untuk tawanan dan interniran Sekutu pada 1946, serta menyediakan angkutan untuk kepentingan perundingan Indonesia-Belanda, yakni Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika Serikat, dan Belagia) di Kaliurang, Yogyakarta pada 1948.
Berkembang di masa Sukarno, bermasalah saat Orba
Menurut buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, DAMRI sangat berkembang pesat di masa pemerintahan Sukarno. Periode 1955-1959, DAMRI mampu mengadakan pendidikan untuk karyawannya, membangun kantor dan terminal, membangun rumah dinas, serta membeli bus baru.
Pada periode 1959-1964, DAMRI memperlebar wilayah usahanya di luar Jawa. Misalnya, perusahaan bus milik pemerintah ini membangun terminal di Makassar, Sulawesi Selawan; Denpasar, Bali; dan Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Sejak 1956 hingga 1964, jumlah armada busnya pun mengalami kenaikan. Pada 1956, jumlah bus hanya 394 unit. Pada 1964, jumlah itu naik dua kali lipat menjadi 646 unit.
DAMRI pun gencar membeli bus baru dari kerja sama dengan perusahaan asal negara maju, seperti Uni Soviet. Salah satunya dari perusahaan Ikarus. Pada 1956, DAMRI membeli satu unit bus diesel Ikarus. Pada 1959, DAMRI kembali membeli bus diesel Ikarus sebanyak 20 unit.
Pergantian rezim ke Orde Baru dan tragedi berdarah Gerakan 30 September, kemudian membuat perkara. Usai G30S, hubungan Indonesia-Uni Soviet merenggang. DAMRI yang banyak mengimpor bus Ikarus harus menemui kesulitan operasional karena suku cadangnya menghilang dari peredaran.
“Akibatnya, banyak bus DAMRI yang nongkrong saja dan akhirnya ditutup,” tulis Tempo edisi 26 Mei 1979 dalam artikel “Bersilang di Lima Kota”.
Pada 1964, DAMRI membuka jalur bus kota di Bandung. Namun, tulis Tempo, tak sampai dua tahun harus tutup. Salah satu masalah utamanya karena suku cadang bus Ikarus tadi.
Pada 1978, DAMRI membuka kembali jalur bus kota di Bandung. Kala itu, perkembangannya cukup baik. Dari 20 bus pada 1978, bertambah menjadi 88 bus pada 1979.
DAMRI pun tak lagi menggunakan bus Ikarus. Mereka mendatangkan bus Mitsubishi dari Jepang dan Tata dari India, untuk beroperasi di Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, dan Tanjungkarang.
“Jumlah bus kota DAMRI di lima kota itu ada 480 buah,” tulis Tempo.
Saat itu, Direktur Niaga dan Angkutan PN DAMRI Darmansjah Oemar, seperti dilansir dari Tempo, mengatakan uang karcis sudah bisa menutup biaya operasional dan disisihkan guna biaya penggantian suku cadang.
Akan tetapi, dengan pemasukan tersebut, tak lantas DAMRI bebas dari persoalan. Tempo menyebut, di Surabaya dari 170 bus yang beroperasi, ada 18 bus yang tak lagi bisa digunakan. Ketika itu, DAMRI juga menumpuk utang. Pada 1979, utang DAMRI sebesar Rp540 juta.
“Perinciannya, kepada Bank Bumi Daya (BBD) sebesar Rp220 juta, kepada Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) Rp320 juta. Itu belum termasuk pembelian 400 chasis bus Tata dari India yang harus dicicil 8 tahun lewat Bapindo,” tulis Tempo.
Sementara di Medan, sebanyak 70 bus DAMRI yang beroperasi dianggap biang masalah oleh pengusaha angkutan kota swasta. Persoalannya, pengusaha angkutan swasta cemburu lantaran bus DAMRI menjadi anak emas, dengan diberikan jalur yang ramai.
“Akibatnya, sopir-sopir opelet atau bus-bus mini mengabaikan peraturan lalu lintas, ngebut, berhenti di luar halte, dan sebagainya. Alasannya mengejar setoran,” tulis Tempo.
Lagi pula, tak semua pemerintah daerah percaya kepada bus DAMRI. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin misalnya. Pada 1970-an, saat membangun Jakarta menjadi kota metropolitan, Ali sadar jumlah armada angkutan dalam kota tak memadai.
Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro dalam bukunya Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa (2016), Ali kemudian meminta izin pemerintah pusat untuk mendatangkan bus dari Amerika Serikat. Bus-bus itu lalu beroperasi di bawah perusahaan swasta, seperti Merantama, Arion, Pelita Jaya, Medal Sekarwangi, dan Ajiwirya.
Ali sempat marah dalam rapat dengan pemerintah pusat. Ketika itu, pemerintah ingin menyerahkan pengelolaan DAMRI kepada pemerintah DKI.
“Di depan Emil Salim, Menteri Pehubungan, Ali dengan keras menolak dan hampir menggebrak meja,” kata Wardiman.
“Ali sadar, penyediaan transportasi kota perlu biaya besar dan APBD DKI tak bisa ditambahi beban lagi.”