close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Alinea.id/Oky Diaz
Nasional
Rabu, 10 November 2021 21:09

Buzzer Gubernur Anies: Eksis dan disangkal

Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, menilai, pendengung Anies belum terkoordinasi dan umumnya terdiri dari pendukung ideologis.
swipe

Polarisasi politik antara pendukung Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dengan pendahulunya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)–yang juga pro Presiden Joko Widodo (Jokowi)–terus berlangsung hingga kini, padahal masa jabatan petahana segera berakhir kurang dari 12 bulan. Pengerahan pendengung (buzzer) menjadi isu yang tengah ributkan keduanya dalam beberapa hari terakhir.

Isu tersebut kali pertama dilontarkan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Mohamad Guntur Romli, melalui akun Twitter @GunRomli pada 7 November 2021. Dalam cuitannya, dia menampilkan tangkapan layar (screenshot) iklan komentar positif di salah satu kiriman Instagram @aniesbaswedan dengan honor Rp1.000 per komentar yang ada di situs web rajakomen.com serta kiriman Anies tentang peresmian Gedung Gereja Kristen Indonesia (GKI) Puri Indah, Jakarta Barat.

Pihak Anies pun membantah mengerahkan pendengung guna memoles persona. "Ini hoax," demikian kicau anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), Tatak Ujiyati, melalui akun Twitternya.

Dia menegaskan, Anies tidak pernah menggunakan pendengung. Dalihnya, buzzer adalah "hama demokrasi" yang "menumpulkan akal sehat". 

"Situs seperti itu siapa pun bisa buat. Ketahuan dari siapa yang mengunggah. Niatnya bisa diduga untuk menjatuhkan Anies," cuitnya lagi.

Sekalipun Tatak membantah, tetapi Anies menjadi salah satu figur kepala daerah yang intensif diperbincangkan di media sosial (medsos). Melansir data Drone Emprit, sistem yang berfungsi untuk memantau serta menganalisis medsos dan platform daring yang berbasis teknologi mahadata, Anies disebut (mentioned) hingga 1.288.404 kali di media massa daring, Twitter, Instagram, Facebook, dan YouTube pada 1 Januari-31 Mei 2021.

Bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu dibuntuti Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo, sebesar 723.446 kali dan Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ridwan Kamil alias Kang Emil, sebanyak 190.536 kali. Pemantauan tersebut tidak membahas narasi dan aspek lain kecuali siapa pendukung dan bagaimana peta klasternya.

Share of voice Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil di berbagai platform digital rentang 1 Januari-31 Mei 2021. Dokumentasi Drone Emprit

Dalam pemantauan Drone Emprit lainnya yang dipublikasikan pada 13 Juni 2021 menyebutkan, tim medsos Ganjar sudah lebih serius menggarap jagoannya dibandingkan Anies dan Kang Emil dalam menyongsong Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lantaran volume percakapannya lebih aktif. Pemantauan dilakukan selama 5-11 Juni dengan batasan tagar #DeklarasiTemanGanjar serta pertemuan Anies-Kang Emil di Sumedang, Jabar.

Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, menyatakan, tingginya pembicaraan tersebut tidak lepas dari peran pendengung karena banyak akun yang mengamplifikasinya. "Buzzer itu, kan, mengamplifikasi dan Anda enggak harus dibayar karena die hard, misalnya."

"Jadi, jauh lebih banyak buzzer yang tidak dibayar sebetulnya," imbuhnya kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu. "Yang dibayar itu sedikit sekali."

Sekalipun jumlahnya minor, Ismail mengingatkan, pendengung bayaran menentukan strategi serangan, narasi, hingga konten. "Yang lain ikut mengamplifikasi," jelasnya.

Seseorang, terangnya, dikategorikan menjadi pendengung bukan hanya karena mendapatkan bayaran, melainkan suatu kesamaan ideologi. Pendengung ideologis terbentuk lantaran memiliki nilai yang seupa dengan junjungannya. Pendengung ideologis akan lebih loyal dibandingkan yang berbayar.

Karakteristik berikutnya, mereka cenderung bersama-sama dalam satu gerakan untuk mengamplifikasi suatu isu. "Baik itu dibayar atau berdasarkan kesepakatan atau berdasarkan kecocokan ideologi," ucapnya.

Berdasarkan pengamatannya, ungkap Ismail, Anies memiliki pendengung tetapi belum terkoordinasi. Pun umumnya terdiri dari buzzer pendukung ideologis. "Pendukung-pendukung Anies selalu ada," ujarnya.

Sejumlah pendengung Anies yang ideologis sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, yang masuk dari awal maupun putara kedua karena sebelumnya mendukung kontestan lain, hingga kini ada yang telah mendapat posisi strategis. Beberapa di antaranya sebagai pejabat badan usaha milik daerah (BUMD). Ketua lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta), Rico Sinaga, yang kini menjabat Komisaris PT Jakarta International Expo (JIExpo), salah satunya.

Berikutnya, politikus Partai Demokrat, Hasreiza (Sekretaris Badan Pengawas Perumda Pembangunan Sarana Jaya); Ketua LSM Forum Bersama Jakarta (FBJ) dan kini menjadi Forum Bersama Indonesia (FBI), Budi Siswanto (Komisaris Utama PT Jakarta Tourisindo/Jaktour); Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Syahrul Hasan (Direksi Pelayanan Umum PDAM Jaya); dan Geisz Chalifa (Komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk).

Mereka getol mengirimkan konten positif tentang Anies melalui akun media sosial masing-masing. Tidak jarang memberikan keterangan tertulis kepada media. Namun, tidak berkenan merespons pertanyaan yang disampaikan Alinea.id.

Berbeda dengan rekan-rekannya yang bungkam, Budi Siswanto secara tegas menolak disebut pendengung. "Enggak," katanya singkat.

Meski demikian, dirinya berpendapat, pendengung tidak selamanya negatif karena dibayar atas jasanya mengaplifikasi suatu isu. Menurutnya, tidak sedikit pendengung menyampaikan pesan positif.

Pendengung yang saat ini meramaikan ekosistem medsos, baginya, merupakan transformasi dari pemasaran daring (online marketing). Namun, segala hal "dimainkan", termasuk pembunuhan karakter, saat masuk dunia politik.

Budi menambahkan, aktivitasnya di medsos tidak terkoordinasi, seperti isu apa yang dimainkan dan strategi yang dijalankan. "Ini, kan, sifatnya perorangan saja." 

Dirinya mengklaim, konten-kontennya tersebut justru buah dari proses perjalanan panjangnya dalam melihat dinamika di Jakarta. Selain itu, berdasarkan pertimbangan kesesuaian ide, rekam jejak, dan karakter Anies. 

Dia pun enggan memusingkan jika dicap sebagai pendengung Anies. Alasannya, publik kian cerdas dalam melihat sesuatu. "Mereka sudah tahu, paham gitu mana yang opini yang dikembangkan itu hoaks atau bukan," jelasnya.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Budi Siswanto (@budisis72)

Pernyataan senada disampaikan Syahrul Hasan, secara lantang menolak disebut sebagai pendengung Anies. Dalihnya, apa yang dilakukannya berbeda dengan buzzer.

"Saya kira, kan, buzzer itu berbeda, ya, dengan orang yang kemudian memberikan respons terhadap kebijakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang pemangku kebijakan," ujarnya kepada Alinea.id.

Syahrul berpendapat, pendengung bisa berperan sebagai pengkritik ataupun pendukung (endorser) kebijakan. Sedangkan dirinya cenderung memberikan masukan kepada Anies secara personal lantaran mudah bertemu langsung.

"Kalaupun ada respons positif, itu adalah apresiasi," kilahnya. "Perbedaannya mungkin di situ. Karena apa? Karena saya berangkat dari pribadi, tidak di-hire, tidak ada yang mengonsolidir saya untuk kemudian mengapresiasi kebijakan-kebijakan yang selama ini dilakukan Mas Anies dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta."

Di sisi lain, Syahrul menilai, Anies berhasil menjadi gubernur. Pendapatnya berdasarkan beberapa kriteria, salah satunya apresiasi. "Dari banyak masyarakat, dari banyak lembaga, bahkan dalam maupun di luar negeri," tandasnya.

Sekalipun mengakui pendengung mengoyak ruang publik digital, diyakini ia akan tetap ada hingga beberapa tahun ke depan. Pangkalnya, ungkap Fahmi, buzzer dinilai efektif dalam membangun persepsi publik baik memoles citra junjungannya maupun menyerang lawan politiknya.

"Saya enggak tahu ke depannya. Paling tidak dalam Pilpres [2024] masih enggak akan mati karena kebutuhan itu masih ada. Dan terbukti berhasil, kan? Berhasil dalam pilpres-pilpres sebelumnya," urainya.

Meskipun demikian, Fahmi menyarankan masyarakat terus bersuara tentang dampak buruk atas kehadiran pendengung sehingga membuat mereka risih. "Kalau bisa publik terus-menerus menyuarakan itu," usulnya. "Masyarakat bisa kontribusi di situ."

Ketika wacana tersebut menguat, diyakininya takkan ada lagi yang menggunakan jasa pendengung berbayar. Namun, tidak demikian dengan pendengung ideologis. "Karena dia akan selalu mendukung," tutupnya.

img
Michael Jason Saputra
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan