Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) cacat formil.
"UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil,” ucap hakim MK Suhartoyo, Kamis (25/4).
MK menyatakan demikian karena DPR dan pemerintah tak memberikan ruang partisipasi kepada publik. Sekalipun ada kelompok masyarakat menghadiri pertemuan soal UU Ciptaker, mereka tak mengetahui pasti materi perubahan regulasi apa yang yang digabungkan dalam beleid sapu jagat (omnibus law) juga tanpa menyinggung naskah akademik.
Selain itu, masyarakat tidak bisa mengakses naskah akademik dan Rancangan UU Ciptaker. Ini bertentangan dengan Pasal 96 ayat (4) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang memandatkan adanya kemudahan bagi masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan ataupun tertulis.
MK juga menyebut, pembentukan UU Ciptaker menabrak asas pembentukan regulasi lantaran tak mengikuti tata cara serta metode yang pasti, baku, dan standar. Dicontohkannya dengan adanya perubahan redaksional atas beberapa substansi setelah disetujui DPR dan presiden.
Bagi MK, penyusunan UU Ciptaker tidak dapat melangkahi syarat-syarat pembentukan undang-undang meskipun diklaim guna mengakselerasi investasi dan memperluas lapangan kerja. Parahnya, sudah banyak peraturan pelaksana yang dikeluarkan dan diimplementasikan dalam tataran praktik.
Oleh karena itu, MK menyatakan, UU Ciptaker inkonstitusional secara bersyarat. Alasannya, menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan.
Kemudian, memerintahkan DPR dan pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja agar sesuai tata cara pembentukan undang-undang yang telah ditentukan, salah satunya menyertakan partisipasi publik sesuai UU 12/2011. Diberi waktu hingga dua tahun sejak putusan dibacakan MK, yang merujuk amanat Pasal 22A UUD 1945.
Jika keputusan tersebut tidak dijalankan, UU Ciptaker bakal berstatus inkonstitusional secara permanen.