KontraS menerbitkan lagi catatan terhadap kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk periode Juli 2021-Juni 2021. Catatan ini khusus merujuk di sektor Hak Asasi Manusia (HAM) dalam rangka memperingati Hari Bhayangkara yang ke-76.
"Kami menilai semboyan Presisi yang diusung oleh Kapolri sayangnya masih menjadi jargon yang sloganistik tanpa diikuti perbaikan riil di lapangan. Kepolisian nampak belum serius menghilangkan potret buram dan kultur buruk yang menyasar pada tatanan struktural kepolisian," demikian bunyi catatan itu dalam keterangan yang diterima, Kamis (30/6).
Sejalan dengan hal tersebut, KontraS mengangkat tema “Perbaikan Palsu Institusi Polri” yang dianalisis ke dalam instrumen hak asasi manusia internasional. Argumentasi perbaikan palsu institusi Polri disusun atas dasar fakta dan kenyataan di lapangan.
Fakta itu masih menunjukkan upaya perbaikan hanya fokus pada citra, bukan kinerja. Kritik masyarakat yang sangat masif terjadi di satu tahun belakangan hanya disikapi dengan ucapan belaka.
Berbagai temuan KontraS menunjukkan bahwa praktik kekerasan, kesewenang-wenangan, arogansi, tindakan berlebihan hingga tak manusiawi masih dilakukan oleh Kepolisian. Sayangnya kepolisian kerap berlindung di balik terminologi ‘oknum’ ketika ada kasus pelanggaran.
"Hal ini jelas kontraproduktif dengan fungsi kepolisian yakni, untuk pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat," kata KontraS.
KontraS menjabarkan laporannya ke dalam tujuh bagian. Pertama, menjelaskan temuan KontraS mengenai gambaran khusus permasalahan kepolisian dalam setahun kebelakang. Seperti praktik penggunaan senjata api yang tidak terukur, aktor dominan penyiksaan dan represif menangani ekspresi.
Selain itu, kepolisian tampak tidak memiliki ketegasan dalam mengambil langkah perlindungan dan penegakan HAM. Ketegasan itu tercermin dalam tak berdaya lindungi minoritas dan kriminalisasi terhadap pembela HAM.
Kedua, kepolisian yang membangun romantisme dengan investor. Ketiga, KontraS menyampaikan perubahan pendekatan palsu di Papua yang dilakukan oleh kepolisian.
Keempat, KontraS menunggu tangani kasus yang menunggu viral. Kelima, darurat perspektif gender di kepolisian.
Keenam, institusi kepolisian yang memperpanjang rantai impunitas; dan terakhir berisi kesimpulan dan rekomendasi.