close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Fatia Maulidiyanti Koordinator KontraS 2020-2023. Foto Kontras.org
icon caption
Fatia Maulidiyanti Koordinator KontraS 2020-2023. Foto Kontras.org
Nasional
Senin, 28 November 2022 17:26

Catatan Kontras untuk Panglima TNI baru

KontraS menilai sedikitnya masih ada delapan permasalahan yang belum tuntas atau mendapat perhatian dari institusi TNI.
swipe

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan sejumlah catatan terkait permasalahan di tubuh institusi TNI. Jelang berakhirnya masa jabatan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI, KontraS menilai, sedikitnya masih ada delapan permasalahan yang belum tuntas atau mendapat perhatian dari institusi TNI.

Sementara, proses pergantian pemimpin sudah berjalan. Hal ini ditandai oleh pengumuman nama calon Panglima TNI yang akan disampaikan Ketua DPR RI Puan Maharani, selambatnya pada Senin (28/11).

Berdasarkan informasi yang dihimpun, nama Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono telah diajukan oleh Presiden Joko Widodo melalui Surat Presiden (Surpres) ke DPR-RI.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti mengatakan, catatan evaluatif kepada DPR dan pemerintah juga telah disampaikan sejak menjelang masa pensiun Jenderal Hadi Tjahjanto.

"Sayangnya, ragam permasalahan tersebut bahkan tak mendapatkan perhatian Panglima TNI dalam setahun ke belakang, seperti halnya kembalinya TNI di domain sipil dan reformasi peradilan militer," kata Fatia dalam keterangan resmi, Senin (28/11).

Salah satu permasalahan yang disoroti KontraS yakni soal belum berjalannya reformasi peradilan militer. Selama setahun lebih masa kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, KontraS menilai, perbaikan terhadap sistem penegakan hukum formil dalam tubuh militer tak kunjung ditunaikan.

Padahal, menurut Fatia, proses peradilan militer saat ini terbukti bermasalah dan memiliki urgensi untuk diperbaiki. Dalam agenda reformasi sektor keamanan, harus diupayakan tersedianya mekanisme peradilan yang akuntabel dan transparan jika aparat militer melakukan pelanggaran.

Catatan KontraS menemukan sebanyak 65 peradilan militer dengan menghadirkan 152 terdakwa, telah terselenggara dalam kurun waktu Oktober 2021-September 2022. Namun, hukuman yang dijatuhkan terhadap para terdakwa dinilai tidak sesuai mandat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

"Sayangnya, hukuman dominan yang dijatuhkan terhadap para pelaku sangat ringan, mayoritas hanya penjara dengan hitungan bulan. Hal tersebut menegaskan terdapat ruang keistimewaan bagi prajurit yang melakukan pelanggaran," ujar Fatia.

Kedua, terkait kultur kekerasan yang belum berhasil diminimalisir. KontraS menilai, salah satu penyebab kentalnya kekerasan dalam tubuh institusi militer yakni ketimpangan relasi kuasa antara anggota di lapangan dengan masyarakat sipil.

Selain itu, situasi yang memperparah kondisi ialah TNI yang notabene merupakan alat pertahanan terlalu mudah untuk berelasi dengan masyarakat dan bersikap tidak profesional.

"Hasilnya, anggota TNI yang diberikan kewenangan senjata api tak jarang menyalahgunakan otoritasnya demi kepentingan pribadi seperti halnya bisnis," tutur dia.

Catatan ketiga yakni terkait problematika Perwira tinggi (Pati) dan Perwira Menengah (Pamen) non-job yang jumlahnya membengkak. Terdapat sekitar 500 Kolonel dan 70 Pati yang saat ini berstatus non-job.

Tingginya jumlah non-job pada level perwira ini membebani anggaran TNI, serta mempengaruhi efisiensi kerja institusi. Panglima TNI yang baru perlu merumuskan kebijakan untuk menanggulangi masalah banyaknya jumlah Perwira non-job.

Dalam hal ini, perlu dilakukan penghitungan perekrutan anggota TNI khususnya perwira secara akurat, agar tidak hanya memenuhi kuota pendidikan demi penyerapan anggaran pembinaan sumber daya militer.

"Panglima TNI yang baru perlu merekrut perwira TNI berdasarkan supply and demand, yaitu merekrut calon perwira berdasarkan kebutuhan institusi. Dan jika diperlukan, menetapkan moratorium tambahan pada proses perekrutan perwira," ucap Fatia.

Keempat, lanjut Fatia, yakni nihilnya mekanisme vetting atau uji kompetensi serta pemeriksaan dan pertimbangan latar belakang secara transparan bagi Perwira tinggi yang ditunjuk untuk menduduki jabatan strategis.

KontraS menilai, sejumlah perwira tinggi dengan latar belakang penuh masalah masih dapat menduduki jabatan strategis di masa kepemimpinan Jenderal Andika Perkasa. Penunjukkan Perwira tinggi untuk menduduki jabatan tertentu terkadang juga ditengarai berbasis subyektivitas antarangkatan dan antarsatuan.

Padahal, menurut Fatia, sebagai institusi yang anggarannya bersumber dari pajak masyarakat, para perwira TNI yang didapuk menduduki jabatan strategis tertentu seharusnya melalui vetting mechanism yang transparan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat.

"Panglima TNI yang baru harus memastikan vetting mechanism bagi perwira yang akan menduduki jabatan strategis berjalan dengan transparan, sebagai bentuk keterbukaan informasi dari institusi TNI yang juga sejalan dengan semangat reformasi TNI," tutur dia.

Catatan berikutnya terkait penunjukkan anggota TNI aktif sebagai penjabat (Pj) kepala daerah. Hingga Oktober 2022, setidaknya terdapat dua kepala daerah dari unsur TNI, yaitu Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Pj Bupati Seram bagian Barat dan Mayjen (Purn) Achmad Marzuki sebagai Pj Gubernur Aceh.

KontraS menilai, penunjukkan Pj kepala daerah dari unsur TNI justru berkebalikan dengan semangat reformasi yang menghendaki adanya penghapusan dwifungsi ABRI. Hal itu juga berpotensi memunculkan permasalahan yang lebih jauh, mengingat TNI belum sepenuhnya berhasil lepas dari kultur kekerasan, pelanggaran HAM, penggunaan kekuatan secara berlebihan, dan penyalahgunaan kekuasaan.

"Secara tidak langsung, persetujuan Panglima TNI dalam membiarkan TNI aktif masuk kedalam ranah sipil merupakan tindakan sewenang-wenang yang seharusnya menjadi perhatian dalam tubuh institusi TNI. Panglima TNI selanjutnya harus memberikan jaminan tidak berulangnya pemilihan anggota TNI aktif sebagai Pj kepala daerah," ujar Fatia.

Kemudian, KontraS mencatat, setiap tahunnya upaya keterlibatan TNI dalam konflik agraria masih terus berlanjut, baik dalam wujud pengerahan kekuatan dan okupasi lahan. Menurut Fatia, keterlibatan militer dalam ranah agraria seharusnya menjadi perhatian bagi Panglima TNI baru.

Sebab, keterlibatan militer pada konflik agraria menunjukkan identiknya institusi TNI dengan kekerasan dan pelanggaran HAM dalam menghadapi sengketa tanah dengan masyarakat.

"Kerentanan TNI dengan menggunakan cara-cara intimidatif dan arogan terhadap warga, merupakan catatan yang harus di evaluasi secara serius oleh Panglima baru," tuturnya.

Berikutnya, KontraS menilai Panglima TNI selanjutnya juga harus memutar otak guna memutus konflik berkepanjangan di Papua usai dilantik secara resmi. Selama ini, rantai kekerasan di Papua terus berlanjut sebagai akibat dari pendekatan militeristik yang sangat kental.

Menurut Fatia, penurunan aparat terus dilakukan oleh negara tanpa didahului keputusan politik negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang TNI. Hal ini, kata dia, dapat diindikasikan bahwa operasi yang dilangsungkan selama ini tidak berbasis hukum (illegal).

"Alih-alih melakukan koreksi serta evaluasi, penurunan aparat terus saja dilakukan dengan motif yang bermacam-macam seperti keperluan pengamanan perbatasan, penempatan di pos keamanan, hingga penumpasan terhadap KKB," ucap Fatia.

Terakhir, KontraS menyoroti soal langgeng dan masifnya praktek bisnis militer. Keterlibatan prajurit militer dalam mendapatkan sumber-sumber pendanaan lain selain dari APBN terus berlanjut di era kepemimpinan Jenderal Andika Perkasa.

Fatia menilai, TNI seharusnya dapat profesional dengan tunduk pada mekanisme ketatanegaraan yang berlaku, bukan menjalin hubungan keperdataan langsung dengan perusahaan dengan bentuk perjanjian atau MoU. Menurut dia, Panglima TNI selanjutnya harus bertindak tegas terhadap aktivitas kelembagaan yang berkelindan erat dengan bisnis, serta berani menertibkan prajurit di lapangan yang melakukan penyelewengan bisnis ilegal.

Oleh sebab itu, KontraS menilai, agenda pembenahan dan pemajuan institusi TNI harus dilakukan secara konkret. Hal ini dilakukan guna mewujudkan TNI yang profesional, transparan, dan akuntabel, sebagai bagian dari upaya perwujudan agenda reformasi sektor keamanan.

"Pemilihan Panglima TNI selanjutnya harus benar-benar menjawab permasalahan struktural dan kultural dalam institusi TNI. Panglima TNI selanjutnya tak boleh hanya bentuk pergantian jabatan yang sifatnya formalitas dan sebagai fasilitasi kepentingan politik belaka," ucap Fatia.

img
Gempita Surya
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan