close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Warga Kendeng, Jawa Tengah, sudah lama menggugat pembangunan pabrik semen di wilayahnya. /instagram.com/kendengmelawan.
icon caption
Warga Kendeng, Jawa Tengah, sudah lama menggugat pembangunan pabrik semen di wilayahnya. /instagram.com/kendengmelawan.
Nasional
Selasa, 19 Februari 2019 22:49

Catatan merah pembebasan lahan untuk bangun infrastruktur

Pembangunan infrastruktur ada di nomor tiga pemicu konflik agraria di Indonesia.
swipe

“4,5 tahun ini, hampir tidak terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur kita. Karena tidak ada ganti rugi, adanya ganti untung,” kata calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dalam debat kedua Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2).

Pernyataan itu dilontarkan Jokowi, menanggapi calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto terkait infrastruktur yang tidak melibatkan masyarakat. Pertanyaan Jokowi itu pun mendapatkan kritik oleh peneliti lembaga pelestarian sumber daya alam Auriga, Iqbal Damanik.

Dari Kulon Progo hingga Kendeng

Menurut Iqbal, justru infrastruktur yang menjadi salah satu sektor pemicu munculnya konflik agraria. “Infrastruktur itu nomor ketiga latar belakang kasus konflik agraria di Indonesia,” kata Iqbal saat dihubungi, Selasa (19/2).

Dengan mengutip data Catatan Tahunan (Catahu) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2018, Iqbal menguraikan, sepanjang 2017 terjadi 208 konflik agraria di sektor perkebunan. Iqbal mengatakan, properti di posisi kedua, dengan 199 konflik (30%), dan infrastruktur di urutan ketiga dengan 94 konflik (14%).

Lebih lanjut, Iqbal menuturkan, tak sedikit kasus nyata konflik sebagai efek pembangunan infrastruktur. Bahkan, peran aparatur negara pun terlibat memperlebar konflik itu.

“Sepertinya Jokowi terkesan menutupi kenyataan ini,” ujar Iqbal.

Calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dalam debat kedua Pilpres, Minggu (17/2). (Alinea.id/Ahmad Rifwanto).

Contoh nyata, kata Iqbal, pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Jawa Tengah. Warga setempat menolak penggusuran lahan tempat mereka hidup. Dalam pandangan Iqbal, ada bentuk represi cukup kuat ketika ada pembebasan lahan untuk bandara baru itu.

“Kasus di Kulon Progo itu bahkan mengikutsertakan aparat kepolisian. Itu yang kami sayangkan,” kata Iqbal.

Pembangunan NYIA sudah diwacanakan sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011. Pada awal 2017, Presiden Jokowi menyebut, proyek ini mangkrak dan harus dipercepat pembangunannya.

Pemerintah menyiapkan NYIA tak sekadar jadi bandara internasional, namun berdasarkan laporan tahunan Angkasa Pura I pada 2016, yang dilansir dari BBC Indonesia edisi 8 Desember 2017, menyebutkan BUMN ini membahas pembangunan kota bandara. Setidaknya, ada 300 kepala keluarga yang lahannya terdampak penggusuran proyek NYIA.

Maket New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Jawa Tengah. (instagram.com/kenari_official).

Selain itu, pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah juga jadi catatan buruk. Penduduk setempat menolak pembangunan itu, lantaran dapat mengancam kelestarian lingkungan sekitar.

Aksi protes warga Kendeng bahkan sudah merenggut nyawa Patmi, seorang petani Kendeng. Pada Maret 2017 lalu, Patmi ikut sebagai salah satu peserta aksi semen kaki di depan Istana Negara, Jakarta. Patmi meninggal dunia, karena serangan jantung.

Menanggapi hal ini, salah seorang warga Kendeng, Pring Wulung mempertanyakan kejelasan dan ketegasan penegakan hukum. Sebab, kata dia, warga Kendeng sudah memenangkan tuntutan hukum hingga tingkat Mahkamah Agung.

Pada Agustus 2016, perwakilan warga Kendeng pun sudah bertemu Presiden Jokowi. Saat itu, disepakati pembangunan infrastruktur dan operasional pabrik di area Pegunungan Kendeng melanggar peraturan.

Di sisi lain, dikuatkan pula dengan penyampaian hasil kajian lingkungan hidup strategis untuk menghentikan pembangunan dan kegiatan tambang di seluruh Pegunungan Kendeng.

“Masyarakat sudah menang, tetapi faktanya negara membiarkan tambang dan pabrik semen beroperasi. Hukum ini milik siapa?” katanya.

Konflik pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng bermula ketika pabrik semen PT Semen Indonesia mengubah rancangan wilayah pembangunan ke Pegunungan Kendeng pada 2009. Sebelumnya, pabrik semen ini ditolak warga Sukolilo, Pati Utara, Jawa Tengah. Warga Sukolilo pun sudah memenangkan gugatan di Mahkamah Agung.

Pada Oktober 2010, pemerintah daerah memberi izin pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Pada 2014, terjadi bentrok antara pihak pabrik semen dengan warga Kendeng, ketika agenda peletakan batu pertama tambang semen.

Warga kecewa, mereka tak diberi informasi pembangunan pabrik di wilayahnya. Serupa dengan warga Sukolilo, masyarakat Kendeng pun sebenarnya memenangkan gugatan di tingkat Mahkamah Agung pada Oktober 2016.

Dengan kemenangan itu, seharusnya surat keputusan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo terhadap pembangunan pabrik semen dibatalkan. Namun, faktanya, gubernur mengeluarkan izin pembangunan baru dengan mengatakan izin lingkungan dapat dilakukan jika pabrik semen melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi.

Pring menegaskan, bahaya perusakan lingkungan seperti di Kendeng agar bisa menjadi perhatian bersama seluruh rakyat. Dia mengingatkan pemerintah untuk konsisten menjalankan tindakan konkret sesuai kesepakatan yang mendukung pelestarian alam di Kendeng.

“Jangan-jangan Pak Jokowi lupa. Penegak hukum harus tegas. Ini tanggung jawab kita semua. Kami tidak akan lelah memperjuangkan kelestarian Pegunungan Kendeng,” ujarnya.

“4,5 tahun ini, hampir tidak terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur kita. Karena tidak ada ganti rugi, adanya ganti untung,” kata calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dalam debat kedua Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2).

Pernyataan itu dilontarkan Jokowi, menanggapi calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto terkait infrastruktur yang tidak melibatkan masyarakat. Pertanyaan Jokowi itu pun mendapatkan kritik oleh peneliti lembaga pelestarian sumber daya alam Auriga, Iqbal Damanik.

Dari Kulon Progo hingga Kendeng

Menurut Iqbal, justru infrastruktur yang menjadi salah satu sektor pemicu munculnya konflik agraria. “Infrastruktur itu nomor ketiga latar belakang kasus konflik agraria di Indonesia,” kata Iqbal saat dihubungi, Selasa (19/2).

Dengan mengutip data Catatan Tahunan (Catahu) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2018, Iqbal menguraikan, sepanjang 2017 terjadi 208 konflik agraria di sektor perkebunan. Iqbal mengatakan, properti di posisi kedua, dengan 199 konflik (30%), dan infrastruktur di urutan ketiga dengan 94 konflik (14%).

Lebih lanjut, Iqbal menuturkan, tak sedikit kasus nyata konflik sebagai efek pembangunan infrastruktur. Bahkan, peran aparatur negara pun terlibat memperlebar konflik itu.

“Sepertinya Jokowi terkesan menutupi kenyataan ini,” ujar Iqbal.

Calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dalam debat kedua Pilpres, Minggu (17/2). (Alinea.id/Ahmad Rifwanto).

Contoh nyata, kata Iqbal, pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Jawa Tengah. Warga setempat menolak penggusuran lahan tempat mereka hidup. Dalam pandangan Iqbal, ada bentuk represi cukup kuat ketika ada pembebasan lahan untuk bandara baru itu.

“Kasus di Kulon Progo itu bahkan mengikutsertakan aparat kepolisian. Itu yang kami sayangkan,” kata Iqbal.

Pembangunan NYIA sudah diwacanakan sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011. Pada awal 2017, Presiden Jokowi menyebut, proyek ini mangkrak dan harus dipercepat pembangunannya.

Pemerintah menyiapkan NYIA tak sekadar jadi bandara internasional, namun berdasarkan laporan tahunan Angkasa Pura I pada 2016, yang dilansir dari BBC Indonesia edisi 8 Desember 2017, menyebutkan BUMN ini membahas pembangunan kota bandara. Setidaknya, ada 300 kepala keluarga yang lahannya terdampak penggusuran proyek NYIA.

Maket New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Jawa Tengah. (instagram.com/kenari_official).

Selain itu, pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah juga jadi catatan buruk. Penduduk setempat menolak pembangunan itu, lantaran dapat mengancam kelestarian lingkungan sekitar.

Aksi protes warga Kendeng bahkan sudah merenggut nyawa Patmi, seorang petani Kendeng. Pada Maret 2017 lalu, Patmi ikut sebagai salah satu peserta aksi semen kaki di depan Istana Negara, Jakarta. Patmi meninggal dunia, karena serangan jantung.

Menanggapi hal ini, salah seorang warga Kendeng, Pring Wulung mempertanyakan kejelasan dan ketegasan penegakan hukum. Sebab, kata dia, warga Kendeng sudah memenangkan tuntutan hukum hingga tingkat Mahkamah Agung.

Pada Agustus 2016, perwakilan warga Kendeng pun sudah bertemu Presiden Jokowi. Saat itu, disepakati pembangunan infrastruktur dan operasional pabrik di area Pegunungan Kendeng melanggar peraturan.

Di sisi lain, dikuatkan pula dengan penyampaian hasil kajian lingkungan hidup strategis untuk menghentikan pembangunan dan kegiatan tambang di seluruh Pegunungan Kendeng.

“Masyarakat sudah menang, tetapi faktanya negara membiarkan tambang dan pabrik semen beroperasi. Hukum ini milik siapa?” katanya.

Konflik pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng bermula ketika pabrik semen PT Semen Indonesia mengubah rancangan wilayah pembangunan ke Pegunungan Kendeng pada 2009. Sebelumnya, pabrik semen ini ditolak warga Sukolilo, Pati Utara, Jawa Tengah. Warga Sukolilo pun sudah memenangkan gugatan di Mahkamah Agung.

Pada Oktober 2010, pemerintah daerah memberi izin pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Pada 2014, terjadi bentrok antara pihak pabrik semen dengan warga Kendeng, ketika agenda peletakan batu pertama tambang semen.

Warga kecewa, mereka tak diberi informasi pembangunan pabrik di wilayahnya. Serupa dengan warga Sukolilo, masyarakat Kendeng pun sebenarnya memenangkan gugatan di tingkat Mahkamah Agung pada Oktober 2016.

Dengan kemenangan itu, seharusnya surat keputusan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo terhadap pembangunan pabrik semen dibatalkan. Namun, faktanya, gubernur mengeluarkan izin pembangunan baru dengan mengatakan izin lingkungan dapat dilakukan jika pabrik semen melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi.

Pring menegaskan, bahaya perusakan lingkungan seperti di Kendeng agar bisa menjadi perhatian bersama seluruh rakyat. Dia mengingatkan pemerintah untuk konsisten menjalankan tindakan konkret sesuai kesepakatan yang mendukung pelestarian alam di Kendeng.

“Jangan-jangan Pak Jokowi lupa. Penegak hukum harus tegas. Ini tanggung jawab kita semua. Kami tidak akan lelah memperjuangkan kelestarian Pegunungan Kendeng,” ujarnya.

Pendekatan yang buruk

Sementara itu, menurut direktur eksekutif pusat studi dan dokumentasi agraria Indonesia Sajogyo Institute, Amir Mahmud, pernyataan Jokowi dalam debat kedua sangat tidak benar. Amir menuturkan, setiap pembangunan infrastruktur pasti mengorbankan tanah milik rakyat.

Amir mengatakan, proses negosiasi dengan warga lokal kerap kurang manusiawi. Malah mencederai rakyat.

“Dalam pembangunan infrastruktur seolah ada aturan pengadaan tanah yang dibikin gampang, juga kesan ketelanjuran. Karena investasi sudah diberikan sekian miliar dananya, tak mungkin jika tidak dilanjutkan. Kalau tidak berlanjut, akan membuat malu investor,” kata Amir saat dihubungi, Selasa (19/2).

Di sisi lain, dalam catatan Iqbal Damanik, ada juga konflik agraria yang menyeret korban dari warga lokal. Salah satunya tindakan kriminalisasi terhadap warga dalam pembangunan perangkat sistem geotermal di Solok Selatan, Sumatra Barat.

“Pendekatan ke warga setempat buruk. Ada beberapa masyarakat yang sudah dipenjara, dikriminalisasi,” ujar Iqbal.

Kehadiran personel TNI yang menduduki area di sana, membuat aksi penolakan warga terbungkam. Begitu juga pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Bengkulu, yang selain menggusur lahan pertanian warga, juga dibangun dalam zona rawan tsunami. Warga juga sama sekali tak mendapatkan uang ganti rugi, apalagi ganti untung.

“Tanah di sana (area PLTU Bengkulu) sudah sejak lama, sekitar 1980 jadi tempat tinggal warga. Tapi dianggap tanah milik negara,” kata Iqbal.

Pembangunan infrastruktur termasuk tiga besar penyebab konflik agraria di Indonesia.

Amir Mahmud mengusulkan agar ada penguatan lembaga pemerintah untuk menegaskan kesepakatan yang dibentuk antara pemerintah dan warga, terkait rencana pembangunan infrastruktur. Perhitungan untuk memperhatikan daya dukung lingkungan juga patut dilakukan dengan cermat.

“Memang infrastruktur penting, tetapi harus dilihat soal daya dukung lingkungan. Apakah area itu cocok, dibutuhkan kajian mendalam lintas disiplin ilmu,” kata dia.

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan