close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Layar menampilkan
icon caption
Layar menampilkan "live streaming" Ketua Mahkamah Agung Syarifuddin memberikan pidato saat Sidang Paripurna Khusus Pemilihan Ketua Mahkamah Agung periode 2020-2025 dari Gedung MA di Jakarta, Senin (6/4). Foto Antara/Hafidz Mubarak A/hp.
Nasional
Senin, 06 April 2020 20:06

Catatan untuk ketua MA baru

Lembaga ini berharap ada sinergisitas dan sinkronisasi antara putusan MA dengan penafsiran konstitusional Mahkamah Konstitusi.
swipe

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat memiliki harapan atas terpilihnya Muhammad Syarifuddin sebagai  Ketua Mahkamah Agung periode 2020-2025.

Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif Violla Reininda, memberikan dua catatan kepada Ketua Mahkamah Agung 2020-2025 Muhammad Syarifuddin. Pertama, pengujian perundang-undangan di MA harus mencerminkan asas keterbukaan, dengan kata lain terbuka untuk umum.

Transparansi proses persidangan merupakan instrumen fundamental dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Secara spesifik diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal tersebut menyatakan, semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Dalam hal ini adalah UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tidak menentukan perihal lain proses pemeriksaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

"Pelaksanaan asas ini penting untuk menjamin independensi, akuntabilitas, dan objektivitas hakim dalam proses persidangan, menjamin proses pemeriksaan yang adil dan imparsial, serta menghasilkan putusan yang adil bagi masyarakat," ujar Violla Reininda dalam keterangan tertulis, Senin (6/4).

Catatan kedua, KODE Inisiatif berpendapat perlu adanya sinergisitas dan sinkronisasi antara putusan MA dengan penafsiran konstitusional Mahkamah Konstitusi. Hal itu dibutuhkan untuk memberi kepastian hukum yang adil sebagaimana tertuang dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bagi para pihak.

Menurut Violla, hal itu penting untuk menghindari munculnya dua penafsiran yang berbeda di antara dua kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan yang sama-sama bersumber dari konstitusi. Sebab, dualisme penafsiran tersebut, akan memberikan implikasi buruk di tataran normatif maupun praktek.

"Putusan Mahkamah Agung seyogianya berlandaskan kepada nilai-nilai konstitusional yang telah digariskan dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (interpreter of the constitution)," jelas dia.

Sementara Koalisi Pemantau Peradilan atau KPP menyebut Ketua MA harus berwibawa dan tidak ragu menggunakan kewenangan yang diberikan undang-undang sebagai penyeimbang, sekaligus pelindung hak-hak warga negara, termasuk ketika harus berhadapan dengan lembaga negara lainnya.

"Ketua MA harus berintegritas, yang ditunjukkan dengan gaya hidup dan profil kekayaan yang sesuai dengan sumber penghasilan dan norma-norma jabatan hakim," kata anggota Koalisi Pemantau Peradilan Dio Ashar Wicaksana, dalam keterangannya, Senin (6/4).

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan