Cela Kartu Prakerja di tangan para pemburu insentif
Sulaiman, 25 tahun, gamang. Sudah hampir tiga bulan ia tak bekerja. Isi dompetnya menipis. Sisa gaji terakhir yang ia terima saat berstatus kurir di sebuah perusahaan pengiriman paket di Jakarta Pusat hanya tinggal "receh".
"Sekarang ini, (sisa gaji) yang tertinggal paling hanya satu jutaan. Makanya, saya harus cepat-cepat cari kerja baru," ujar Sulaiman saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, Senin (4/6).
Sulaiman tak menceritakan alasannya diberhentikan. Yang jelas kontrak kerjanya sebagai kurir tak lagi diperpanjang oleh pihak perusahaan. Saat menjadi kurir, Sulaiman mendapatkan upah sebesar Rp3,8 juta per bulan.
Pemuda lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) itu tentu tak hanya berleha-leha saja. Ia kini kerja serabutan. Lamaran pekerjaan juga disebar ke pabrik-pabrik dan sejumlah perusahan rintisan. Belum ada satu pun yang "nyangkut".
"Rata-rata sekarang perusahaan lihat kemampuan dan pengalaman. Saya minta gaji Rp4 juta karena sekarang kan apa-apa mahal. Saya pribadi juga ada rencana mau nikah," ucap Sulaiman.
Untuk mengisi kesibukan, Sulaiman mendaftar menjadi salah satu calon peserta program Kartu Prakerja gelombang ke-35. Ia mengambil program pelatihan digital marketing. Selain keterampilan, Sulaiman butuh insentif duit dari program andalan Jokowi itu.
"Sementara, saya enggak punya keahlian (digital marketing) itu. Mending ikut ketimbang di rumah. Nunggu disuruh orang, tapi enggak dapat duit. Kalau ini, bisa dapat duit," tutur Sulaiman.
Pendaftaran peserta Kartu Prakerja gelombang ke-35 resmi dibuka, Minggu, (3/7) lalu. Masa pendaftaran hanya tiga hari. Lewat akun Instagram @prakerja.go.id, panitia mengumumkan penutupan pendaftaran peserta, Selasa (5/7).
Seperti gelombang-gelombang sebelumnya, program Kartu Prakerja kali ini juga "kaya" insentif. Setiap peserta yang lolos berhak mendapatkan uang saku sebesar Rp600 ribu per bulan. Insentif itu akan diberikan selama 4 bulan dan dicairkan secara berkala.
Berburu insentif memang jadi salah satu motif para peserta program Kartu Prakerja. Itu setidaknya diakui oleh Anwar, bukan nama sebenarnya, salah satu peserta program Kartu Prakerja gelombang kedua.
"Karena waktu itu kerjaan lagi seret juga karena pandemi. Ya, sudah saya ikut karena diajak teman dan ada uangnya," kata Anwar kepada Alinea.id, Selasa (5/7).
Anwar tinggal di Tegal, Jawa Tengah. Sehari-hari, ia bekerja sebagai buruh sebuah pabrik garmen. Belajar via video, ia mengaku tak ada materi pelatihan yang nempel di otaknya.
"Saya benar-benar nontonin doang. Saya waktu itu ambil pelatihan (mengoperasikan) Microsoft Office. Tapi, ya sudah nontonin saja karena yang lebih saya incar uangnya," kata Anwar.
Motif serupa diungkap Irvan Hidayat, alumni program Kartu Prakerja gelombang pertama. Pada mulanya, warga Kosambi Cengkareng, Jakarta Barat, itu hanya mengincar insentif. Ketika itu, Irvan mengambil kelas pelatihan pemasaran digital.
Tak disangka Irvan tertarik dengan materi pelatihan yang diampu Ruangguru itu. Sayangnya, pelatihan via video itu terlampau singkat. Video juga tidak bisa direkam untuk dilihat ulang dan didengarkan kembali.
"Padahal, untuk bisa memahami itu kan enggak cuma sekali atau dua kali. Seharusnya itu dia kasih materi juga bentuk PDF. Jujur, buat saya, model pelatihannya enggak efektif," kata Irvan kepada Alinea.id, Selasa (5/7).
Irvan mengaku tak banyak yang bisa diingat dari pelatihan tersebut. Meski mengantongi sertifikat pelatihan, Irvan belum berani melamar pekerjaan di bidang digital marketing. "Mungkin harus nyari pelatihan lagi," imbuh dia.
Terus dievaluasi
Kartu Prakerja merupakan salah satu janji politik Jokowi saat kampanye Pilpres 2019. Diluncurkan di tengah pandemi pada 2020, tercatat sudah sekitar 115 juta orang yang mendaftar jadi peserta program-program Kartu Prakerja. Namun, hanya sekitar 12,8 juta orang yang lolos jadi peserta.
Dalam pertemuan dengan alumni program Kartu Prakerja di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, pertengahan Juni lalu, Presiden Jokowi mengklaim program itu sukses. Mengutip hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), Jokowi menyebut setidaknya ada 88,9% penerima program yang keterampilannya bertambah setelah ikut pelatihan Kartu Prakerja.
Meski begitu, Jokowi meminta agar program Kartu Prakerja dievaluasi. "Ada koreksi-koreksi. Tetapi, yang jelas, dalam pengembangan SDM negara kita ini, Kartu Prakerja sangat baik untuk up-skilling dan re-skilling," terang Jokowi.
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari mengatakan tak semua peserta program Kartu Prakerja sekadar mengincar insentif. Mengutip temuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Bank Dunia, ia menyebut 50% peserta benar-benar ingin meningkatkan kompetensi mereka.
"Temuan TNP2K-Bank Dunia itu perbandingannya 50-50 antara (peserta) yang ingin meningkatkan keterampilan dan (peserta yang ikut karena ingin mendapat) insentif," kata Denni saat dihubungi Alinea.id, Senin (4/7).
Menurut Denni, program Kartu Prakerja telah banyak dikaji efektivitasnya oleh lembaga riset dan survei. Sejumlah kajian menunjukkan program andalan Jokowi itu efektif. Ia mencontohkan hasil survei Presisi Indonesia yang digelar pada 24 September-1 November 2021.
Dalam survei itu, 2.156 responden dilibatkan. Sebanyak 1.078 penerima manfaat Kartu Prakerja dan sisanya nonpenerima manfaat. Hasil survei menunjukkan kompetensi penerima manfaat naik hingga 74 poin atau 2,2% lebih tinggi ketimbang nonpenerima.
Mayoritas responden penerima manfaat Kartu Prakerja juga mengaku upah mereka naik di kisaran 17-21% setelah ikut pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan pemerintah dalam program tersebut. "Jadi, tidak semua orang mencari insentif," imbuh Denni.
Kepala Komunikasi Pelaksana Program (PMO) Kartu Prakerja William Sudhana mengakui masih ada catatan negatif dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja. Ia menegaskan program tersebut bakal terus dievaluasi secara berkala dan disempurnakan.
"Seperti apa yang disampaikan Pak Menko Perekonomian, Program Kartu Prakerja layaknya seperti balita. Masih belajar merangkak dan akan terus berinovasi untuk memberikan dampak yang lebih luas lagi," kata William kepada Alinea.id, Selasa (5/7).
William mengatakan belum ada inovasi baru yang diterapkan dalam program Kartu Prakerja. Namun, ia memastikan pemerintah akan fokus mendorong supaya Kartu Prakerja dijangkau lebih banyak lapisan masyarakat. "Terutama masyarakat yang ingin menambah keterampilan bekerja dan usaha," kata dia.
Bias kota
Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Krisna Gupta menilai program Kartu Prakerja masih punya banyak kelemahan. Secara khusus, ia menyoroti sedikitnya jumlah calon peserta yang lolos meskipun telah mendaftar dan terverifikasi.
"Bisa jadi ada masalah di akses insentifnya. Cuma sepuluh persenan yang memanfaatkan? Enggak cukup baik. Ini harus digenjot lagi. Bottleneck-nya di mana? Apakah prosedur? Apakah internet?" ujar Krisna kepada Alinea.id, Selasa (5/7).
Persoalan lainnya, lanjut Krisna, soal jangkauan program Kartu Prakerja. Menurut dia, program Kartu Prakerja sangat bias kota. Ia menyebut kebanyakan peserta yang lolos tinggal di kota-kota besar. Warga di daerah-daerah terpencil masih kesulitan mengakses program-program tersebut.
"Apakah bisa Prakerja diluaskan peserta desanya? Atau mau bikin program sendiri untuk yang desa biar lebih tepat sasaran.Yang mana poin berikutnya, berapa banyak resources (anggaran) yang lari ke Prakerja dan insentif ini perlu dibuka seluas-luasnya," kata Krisna.
Supaya tepat sasaran, Krisna menyarankan manajemen pelaksana program Kartu Prakerja rutin melacak perusahaan-perusahaan yang disinyalir melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk mengetahui pergerakan pekerja, data BPJS Ketenagakerjaan juga bisa dipakai.
"Sehingga Kartu Prakerja ini benar-benar dipakai untuk melindungi mereka yang rentan. Meskipun data BPJS Ketenagakerjaan hanya mendata pekerja formal dan mungkin akan kesulitan kalau perusahaan yang memecat pekerja ini (berada di sektor) informal," terang Krisna.
Lebih jauh, Krisna juga mempersoalkan data BPS yang dikutip Jokowi. Menurut dia, capaian keterampilan seseorang sulit untuk bisa dibaca jika hanya berbasis survei kuantitatif. Ia menyarankan agar data survei dibuka. "Pendidikan formal aja susah kan diukurnya? Apalagi, ini yang modelnya pelatihan online dengan durasi singkat," imbuh dia.
Meski rutin menuai kritik, Krisna mengatakan program Kartu Prakerja perlu dilanjutkan. Dengan catatan, pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas program Kartu Prakerja sejauh ini dan terus memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
"Bahkan, ketika tidak nambah keterampilan berarti, dia bisa jadi sarana memformalkan sektor pekerja informal, ngumpulin data untuk studi, dan nyalurin bansos. Tinggal bagaimana biar cost effective dan platformnya bisa diikutin lebih banyak orang, baik itu pekerja, pencari kerja, pemberi kerja, atau pemberi training," ucap Krisna.