close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) memberi hormat kepada Hakim Agung usai menyampaikan sambutan pada Sidang Pleno MA di Jakarta, Rabu (27/2)./ Antara Foto
icon caption
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) memberi hormat kepada Hakim Agung usai menyampaikan sambutan pada Sidang Pleno MA di Jakarta, Rabu (27/2)./ Antara Foto
Nasional
Rabu, 13 Maret 2019 18:30

Celah hukum yang digunakan narapidana ajukan PK ke MA

Tak adanya batasan waktu pengajuan PK menjadi salah satu alasan banyaknya narapidana mengajukan PK.
swipe

Syarat pengajuan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), dinilai terlalu longgar. Selain itu, ada celah hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang kerap dimanfaatkan narapidana untuk mengajukan PK.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, salah satunya adalah KUHAP tak membatasi waktu pengajuan PK karena alasan kekhilafan hakim. 

"Kalau di KUHAP itu (pengajuan PK) tidak ada batas waktunya. Kasus Sudjiono Timan (kasus BLBI) yang buron delapan tahun, PK itu diajukan karena kekhilafan hakim," kata  di kantor ICW di Jakarta Selatan, Rabu (13/3).

Dia membandingkan hal ini dengan KUH Perdata, yang membatasi pengajuan PK karena kekhilapan hakim. Dalam KUH Perdata, pengajuan tersebut dibatasi dengan waktu yang pasti, yakni enam bulan. 

Hal demikian, membuat narapidana korupsi leluasa mengajukan PK dengan alasan kekhilapan hakim. Fickar berharap persoalan ini masuk dalam pembahasan KUHAP yang tengah digodok.

Celah lain, adalah tidak adanya ukuran atas novum (bukti baru) yang diajukan. Sehingga, kerap terjadi bukti baru yang diajukan tidak signifikan untuk dilakukan pemeriksaan ulang.

"Orang mengajukan novum yang baru tidak ada ukuran yang rigid, itu juga yang membuatnya menjadi longgar," kata Fickar.

Dia menjelaskan, bukti yang pernah diajukan pada sidang di pengadilan tingkat pertama semestinya tidak bisa diajukan kembali sebagai novum baru. Kecuali, ada keadaan baru yang diajukan sehingga hakim agung patut melakukan pemeriksaan ulang.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, juga menyindir tren putusan hakim yang sangat rendah terhadap terpidana korupsi. Di masa hakim agung Artidjo Alkotsar masih menjabat, putusan itu dikoreksi dengan penambahan masa kurungan di tingkat PK.

Menurut Julius, opini yang menyebut hakim Agung Artidjo Alkostar memutuskan lebih dari tuntutan jaksa tidak beralasan. Pasalnya, ketentuan dalam UU Kehakiman bisa menjadi dalil bagi hakim, untuk memberatkan putusan melewati tuntutan jaksa.

"Ada kelemahan pada hakim tingkat pertama dan banding untuk menggali fakta persidangan yang berjalan, dampak kerugian masyarakat dan berat ringannya perbuatan, atau pemberatan terhadap terdakwa," kata Julius.

Menurut dia, UU kehakiman mewajibkan hakim untuk menggali dan mencari informasi yang relevan sebagai pertimbangan untuk memutuskan. Hakim diperbolehkan untuk membuat putusan yang lepas dari tuntutan jaksa, bila ditemukan fakta yang bisa menguatkan putusan.

Namun demikian, hakim-hakim yang memeriksa terkesan malas untuk menggali lebih jauh demi memberikan putusan yang lebih adil. Kelemahan itu, membuat orang berkesimpulan bahwa tindakan Artidjo yang kerap memperberat hukuman dalam kasus korupsi dinilai janggal. Padahal, Artidjo hanya melakukan pemeriksaan lebih komprehensif,  lantaran hakim pengadilan tingkat pertama tidak melakukan penggalian mendalam.

"Timbulnya ultra petita oleh Artidjo Alkostar lantaran putusan di tingkat pengadilan pertama itu tidak kuat. Pertimbangannya juga sangat minim," kata Julius.

img
Armidis
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan