Celah lemah sertifikat vaksinasi Covid-19 untuk perjalanan jarak jauh
Retnaning Dahlia harus tertahan di kampung halamannya, Malang, Jawa Timur, tak bisa kembali pulang ke rumahnya di Tangerang Selatan karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat Jawa-Bali sejak 3 hingga 20 Juli 2021. Untuk menempuh perjalanan jarak jauh, selain harus menyertakan hasil tes PCR atau antigen, warga pun wajib memiliki sertifikat vaksinasi Covid-19.
Sayangnya, sejak awal Juni 2021 bertolak ke Malang, ia belum menerima suntikan vaksin karena tak masuk kategori kelompok yang diprioritaskan. Di tanah kelahirannya, perempuan berusia 55 tahun itu kelimpungan mencari akses vaksinasi.
“Penuh mulu (kuota vaksin) bagi warga luar Kota Malang. Setahu saya untuk warga luar, dibatasin hanya 200 orang per hari,” ujar Dahlia saat dihubungi Alinea.id, Senin (5/7).
Selain kuota vaksin yang terbatas, proses pendaftaran juga dikeluhkan Dahlia. Menggunakan sistem pendaftaran daring, membuat ia kesulitan lantaran rebutan dengan pendaftar lain.
Ia pernah juga mendatangi Rumah Sakit Islam (RSI) Universitas Islam Malang (Unisma) yang menjadi salah satu sentra pelayanan vaksinasi Covid-19 di Malang. Namun, petugas langsung menolaknya.
“Mau bagaimana lagi, pemerintah sudah mengatur. Sebagai warga ya harus patuh. Demi kebaikan juga kan,” tutur Dahlia.
Manfaat atau masalah?
Pengalaman serupa juga dialami warga Malang, Bella Oktaviani. Karena belum memegang sertifikat vaksin, ia tak bisa ke Batam, Kepulauan Riau untuk kembali bekerja sebagai guru. Ia pun mengaku kesulitan mendapat akses vaksinasi.
“Setiap tempat (sentra pelayanan vaksinasi) kuotanya 50 sampai 100 orang. Jadi, aku sering enggak dapat,” ucapnya ketika dihubungi, Senin (5/7).
“Kebanyakan di sini untuk pekerja pelayanan publik, santri, lansia. Untuk warga umum susah.”
Dengan kondisi seperti ini, Bella merasa pemberlakuan sertifikat vaksinasi sebagai syarat perjalanan jarak jauh amat membebaninya. Ia menyarankan, pelayanan vaksinasi diperbanyak agar warga tak sulit mendapatkan sertifikat vaksinasi.
Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, PPKM darurat bertujuan membatasi mobilitas masyarakat di tengah laju penularan virus yang tinggi.
“Penerapan sertifikat vaksin pada PPKM darurat adalah upaya menekan pergerakan masyarakat,” kata Nadia saat dihubungi, Senin (5/7).
Untuk mempercepat terlaksananya program vaksinasi, Nadia mengatakan, Kemenkes sudah memperbanyak sentra pelayanan vaksinasi Covid-19, berkat kerja sama dengan berbagai pihak, seperti TNI, Polri, BUMN, pihak swasta, hingga organisasi kemasyarakatan. Hal tersebut bertujuan mencapai target waktu vaksinasi Covid-19.
“Sesuai peta jalan akhir Desember 2021. Karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak ragu divaksin dan bersabar. Tak perlu berebutan, sesuai jadwal, dan tetap protokol kesehatan sampai kita mencapai 70% penduduk dapat vaksinasi,” tuturnya.
Terkait warga yang ingin menempuh perjalanan jarak jauh, namun tak dapat mengakses pelayanan vaksinasi, Nadia menyarankan agar mereka meminta surat keterangan ke rumah sakit. Hanya saja, ia mengingatkan, cara ini berlaku bagi masyarakat yang tak dapat divaksin karena alasan medis tertentu.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Miftah Fadhli menilai, peraturan sertifikat vaksinasi sebagai syarat perjalanan jarak jauh dalam PPKM darurat bakal menyisakan problem.
“Kalau sertifikat vaksin diberlakukan untuk tujuan yang sifatnya nonmedical purpose (tujuan nonmedis), seperti syarat perjalanan akan punya potensi pengeksklusifan dan diskriminasi karena tak semua orang punya akses yang sama terhadap vaksin,” ujar Miftah saat dihubungi, Minggu (4/7).
Miftah mengatakan, banyak warga yang tidak mendapat vaksin lantaran syarat mengikuti program vaksinasi itu harus menyertakan identitas, berupa KTP. Kelompok warga itu, antara lain transgender, masyarakat adat, disabilitas, dan warga desa yang tidak terjangkau negara. Melihat kenyataan ini, Miftah memandang, aturan itu berpotensi melanggar hak atas kebebasan bergerak warga.
“Pembatasan itu harus diatur oleh undang-undang yang bertujuan untuk melindungi martabat serta hak asasi orang lain, dan memang diperlukan atau tidak ada opsi lain,” ucapnya.
Jika pemerintah berniat hanya untuk mendeteksi penyebaran Covid-19, maka hasil tes PCR maupun antigen, kata Miftah, sudah cukup sebagai syarat warga untuk bepergian.
“Tidak perlu sertifikat vaksin,” katanya.
Belum lagi, menurut Miftah, penerapan sertifikat vaksinasi itu akan membatasi hak warga negara untuk mengakses layanan publik. “Misalnya dia perlu melakukan perjalanan untuk pengobatan, bekerja, atau alasan sosial lainnya,” tutur Miftah.
Lebih lanjut, Miftah menuturkan, pemberlakuan sertifikat vaksinasi di beberapa negara juga menyisakan masalah. Misalnya, di Israel hanya membebaskan warga yang memegang green pass—istilah lain sertifikat vaksinasi Covid-19—untuk beraktivitas sosial, seperti pergi ke taman, kafe, serta menghadiri konser. Hal ini dinilai melanggar hak kebebasan warga lainnya.
Di Amerika Serikat, profesor ilmu sosial-medis dari Columbia University, David Rosner mengkritik kebijakan paspor vaksinasi Covid-19, yang dinilainya bakal berpotensi menciptakan krisis politik.
Perlu dikaji ulang
Atas berbagai problem itu, Miftah meminta pemerintah mengkaji ulang penerapan sertifikat vaksinasi Covid-19 untuk syarat perjalanan jarak jauh. Menurutnya, ada beberapa hal yang harus dijelaskan pemerintah.
“Apakah proporsional dan tujuan yang ingin dicapai relevan atau tidak? Kalau tujuannya mencegah penularan, cukup dengan tes negatif. Karena kepemilikan sertifikat vaksin tak berarti seseorang bebas terpapar,” ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan, pemerintah perlu menjamin ketersediaan akses mudah bagi semua warga dalam menjangkau vaksin. Bila tidak, akan rentan terjadi ketimpangan yang membuat masyarakat dirugikan dalam melakukan mobilitas.
Tak hanya itu. Miftah juga meminta pemerintah menjamin keamanan data pribadi yang tertera dalam sertifikat vaksinasi. Ia menyarankan, pemangku kewenangan dapat memberi kejelasan instansi yang dibebankan tanggung jawab mengelola data tersebut.
Sistem perlindungan dan keamanan data pribadi yang dihimpun dalam sertifikat vaksinasi, menurut Miftah, juga perlu diperkuat guna mencegah pencurian dan penyalahgunaan.
“Pemerintah juga harus mengukur human rights impact assessment, sebelum memberlakukan sertifikat vaksin. Sertifikatnya ya, bukan vaksinasinya,” tutur Miftah.
Sementara itu, epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengatakan, pemberlakuan sertifikat vaksinasi akan menjadi bumerang bagi penanggulangan penyebaran Covid-19. Aturan itu dinilainya bisa membuat warga terlena terhadap protokol kesehatan.
“Kontraproduktif. Bisa membuat orang merasa aman pergi sana-sini, berbahaya,” kata Dicky saat dihubungi, Senin (5/7).
Seharusnya, kata Dicky, pemerintah perlu mengatur tegas larangan mobilitas bagi warga di tengah kondisi krisis seperti saat ini. Apalagi, menurutnya, belum ada kajian ilmiah yang memadai soal proteksi vaksin terhadap varian virus Corona baru, seperti Delta, yang tengah berkembang.
“Sebaiknya sekarang dibatasi banget lah (mobilitas). Jumlah orang divaksin kan juga masih kecil. Potensi paparan sangat tinggi,” ujar Dicky.
Merujuk data Satgas Penanganan Covid-19, per Kamis (8/7) sudah 34.860.686 orang yang telah menerima vaksin dosis pertama. Sedangkan penerima vaksin dosis kedua sebanyak 14.622.502 orang. Sedangkan total target Indonesia sebanyak 181,5 juta orang tervaksin Covid-19.
Dengan kondisi ini, Indonesia menduduki peringkat 19 negara di Asia yang telah memvaksin total targetnya, berdasarkan data situs web ourworldindata.org. Bila dipersentasekan, vaksinasi Indonesia baru menyentuh 11,72% dengan total target 181,5 juta warga.
Dengan situasi ini, Dicky menilai, larangan mobilitas dan menutup akses pintu masuk dalam negeri menjadi solusi terbaik. Ia mengingatkan, risiko terpapar virus saat bepergian tinggi sekali, apalagi bagi warga yang belum divaksin. Bahkan, katanya, warga yang sudah divaksin pun tetap berisiko untuk mengalami sakit berat atau meninggal dunia.
“Agar masyarakat tidak terlena atau merasa aman semu, pemerintah harus perbaiki strategi komunikasi risikonya dan transparansi data,” ujarnya.
“Situasi kita krisis saat ini, dan memang menuntut orang banyak di rumah, tidak bepergian.”