Kementerian BUMN menggandeng Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk membongkar praktik korupsi, termasuk penyimpangan dana pensiun (dapen), di beberapa perusahaan pelat merah. Kemitraan tersebut pun diapresiasi Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
"Inisiatif untuk membongkar kasus di internal BUMN merupakan hal yang positif. Apalagi, beberapa kasus memang terjadi cukup lama, dengan tersangka dan saksi sudah bukan lagi direksi atau komisaris aktif di BUMN," ujarnya saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (22/7).
Diketahui, Menteri BUMN, Erick Thohir, berjanji menyerahkan dokumen dapen BUMN bermasalah kepada Kejagung pada akhir Juli 2023. Sebab, hak dan masa depan pekerja harus terjamin saat pensiun.
Di sisi lain, Kejagung telah mengusut sejumlah kasus korupsi yang melibatkan BUMN, termasuk penyelewengan dapen. Misalnya, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), PT ASABRI (Persero), PT Asuransi Jiwa Taspen, dan Dana Pensiun Perusahaan Pelabuhan dan Pengerukan PT Pelabuhan Indonesia (DP4 Pelindo).
Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai puluhan triliun. Perinciannya, kasus Jiwasraya sebesar Rp16,8 triliun, kasus ASABRI 2011-2019 senilai Rp22,7 triliun, kasus DP4 Pelindo 2013-2019 sebesar Rp148 miliar, dan kasus Taspen 2017-2020 senilai Rp133 miliar.
Dalam kacamata Bhima, setidaknya ada 5 faktor yang menyebabkan marak terjadi korupsi di BUMN. Pertama, pengawasan internal yang lemah, termasuk fungsi komisaris dan internal audit.
Kedua, manipulasi keuangan karena kantor akuntan publik yang kurang profesional. Ketiga, konflik kepentingan antara pejabat BUMN dengan vendor di pengadaan barang jasa.
"Keempat, pemilihan direksi dan komisaris tidak semua dilakukan dengan pertimbangan profesional, misalnya ada titipan partai maupun relawan. Kelima, politisasi BUMN di berbagai level, khususnya jelang pemilu, sehingga anggaran operasional BUMN rentan masuk ranah korupsi," paparnya.
Menurut Bhima, ada kompleksitas kasus yang merugikan negara. Hal itu mendasari Kementerian BUMN memberikan data yang dibutuhkan kepada kejaksaan.
Lebih jauh, ia berpendapat, ada beberapa dampak positif yang ditimbulkan dari pengusutan kasus korupsi di perusahaan negara. Misalnya, mencegah terjadinya praktik lancung lantaran menimbulkan efek kejut (shock therapy) kepada para direksi dan komisaris maupun pihak rekanan BUMN yang berniat melakukan rasuah.
"Kedua, meningkatkan potensi pengembalian kerugian negara pada kasus yang telah terjadi sebelumnya. Ketiga, memperbaiki citra BUMN di mata publik, termasuk masyarakat dan investor yang bekerja sama dengan BUMN," tandasnya.