Cemas peneliti ihwal koleksi mikroba di bawah BRIN
Sejak rusak pada Maret 2021, sebuah mesin pembeku (freezer) milik Indonesia Culture Collection (InaCC)—lembaga pusat penyimpanan koleksi miroorganisme—telantar. Alat penting yang berfungsi mengawetkan mikroba itu layaknya pajangan di Cibinong Science Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
“Kami kan simpan (koleksi) itu di dalam alat (freezer) dengan suhu -80 derajat celsius. Nah, alat itu rusak,” ucap seorang sumber Alinea.id yang tak mau disebutkan identitasnya saat dihubungi, Selasa (22/2).
Sebagai seorang peneliti, ia khawatir koleksi mikroba yang ada di InaCC akan rusak, jika tak ada perawatan dan perbaikan terhadap alat penunjang pemeliharaan koleksi. Apalagi, katanya, koleksi tersebut penting dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia.
“Kalau (kerusakan koleksi mikroba) itu terjadi, enggak terhingga nilainya,” katanya. “Sangat mengkhawatirkan, kita tidak akan bisa menghitung kerugian itu.”
Kekhawatiran peneliti
InaCC diresmikan pada 11 September 2013. Ketika itu, InaCC dikelola Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sejak LIPI diintegrasikan ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), InaCC berada dalam Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah, Kedeputian Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi.
Dari catatan BRIN, InaCC menyimpan kurang lebih 5.900 koleksi mikroorganisme, yang berasal dari tujuh taksa, yaitu arkea, bakterifaga, bakteri, aktinomisetes, mikroalga, khamir, dan kapang.
Mesin pembeku yang rusak di InaCC, tak kunjung diperbaiki lantaran ada reorganisasi satuan kerja riset LIPI ke BRIN. Akibatnya, satuan kerja tak punya otoritas untuk mengambil tindakan memperbaiki mesin pembeku tersebut.
“Kalau dulu, kami (peneliti) bisa (minta disposisi) ke kepala pusat penelitian, sekarang enggak,” tutur mantan periset mikroorganisme LIPI itu.
“Menurut kami, (birokrasi di BRIN) itu lebih panjang jalurnya, kalau ada kejadian untuk perbaikan (koleksi), itu lebih panjang.”
Sumber Alinea.id itu hanya bisa berharap agar proses penataan satuan kerja riset BRIN berjalan mulus dan jalur birokrasi dibuat sesingkat mungkin. “Kami khawatir, kalau transisinya enggak mulus akan menghancurkan koleksi mikroba,” ujarnya.
Meski begitu, ia tak kaget dengan konsep BRIN yang sentralistis. Menurutnya, hal itu pernah ia alami kala LIPI dipimpin Laksana Tri Handoko—yang kini menjabat Kepala BRIN. Dahulu, Handoko mengubah tata kelola organisasi di LIPI, misalnya peneliti tak mengurusi koleksi. Tugas mengurus koleksi diberikan satuan kerja Pusat Pengembangan Inovasi dan Iptek (PPII).
“Mohon maaf, mungkin karena beliau bukan orang natural biology sains, jadi tidak memahami bahwa koleksi itu adalah bagian dari penelitian kami,” kata dia.
Profesor riset dan mantan peneliti ahli utama bidang kajian mikrobiologi dan biodiversitas Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Endang Sukara, berharap integrasi LIPI ke BRIN tak mengganggu pengelolaan koleksi di InaCC, Museum Zoologicum Bogorienses (MZB), Herbarium Bogorienses (HB), dan Kebun Raya Bogor.
Menurut Endang, BRIN dan pemerintah perlu memandang koleksi ilmiah sebagai sebuah warisan bangsa. Ia meyakini, koleksi ilmiah menyimpan informasi berharga.
“Saya yakin ada solusi banyak sekali masalah yang dihadapi Indonesia dan dunia (dari koleksi ilmiah), termasuk bagaimana kita adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, secure di bidang pangan, energi, dan kesehatan,” ucapnya, Selasa (22/2).
Endang merupakan salah seorang inisiator terbentuknya InaCC. Saat menggagas lembaga itu, Endang menemukan potensi mikroba yang melimpah di Indonesia. Atas dasar itu, Japan International Cooperation Agency (JICA) memberikan bantuan dalam bentuk anggaran untuk membangun fasilitas penyimpanan koleksi mikroba.
Di sisi lain, Plt. Direktur Pengelolaan Koleksi Ilmiah BRIN, Hendro Wicaksono berdalih, pengelolaan koleksi mikroba di InaCC berjalan dengan baik. Koleksi itu, kata Hendro, dirawat tujuh petugas, dibantu 20 pakar taksonomi mikroorganisme.
Pelayanan koleksi untuk kepentingan penelitian, baik internal maupun eksternal BRIN, menurut Hendro juga masih berjalan di tengah masa transisi. Hendro mengatakan, pihaknya sedang melayani 500 permintaan isolate untuk kepentingan riset. Selain itu, ada permintaan deposit isolate dari swasta.
“Intinya, semoga ke depan akan terus lebih mapan dan terjaga ekosistem yang kondusif untuk melayani penelitian,” ujar Hendro, Selasa (22/2).
Lebih lanjut, Hendro pun menuturkan, BRIN tengah membangun fasilitas cadangan koleksi mikroba. “Sebagai antisipasi apabila terjadi sesuatu dengan fasilitas penyimpanan yang ada saat ini,” tuturnya.
Fasilitas dan tenaga ahli
Sementara itu, peneliti di MZB, Pusat Riset Biologi BRIN, Ibnu Maryanto mengatakan, dirinya sudah mengusulkan pembangunan fasilitas cadangan untuk mikroorganisme sebelum LIPI diintegrasi ke BRIN.
“Tetapi pada kenyataannya, back up itu sampai sekarang sudah terlupakan,” kata mantan peneliti di Pusat Penelitian Zoologi LIPI itu, Jumat (4/2).
Jika tiada BRIN, ia yakin Pusat Penelitian Biologi LIPI yang menaungi InaCC sudah membangun fasilitas cadangan tersebut. Sebab, status satuan kerja masih memiliki kewenangan untuk mengatur anggaran dan mengambil keputusan strategis saat menghadapi kejadian kritis.
“Dengan pengelolaan semrawut ini, saya khawatir sekali jika ada kejadian kritis itu tidak bisa diatasi,” tuturnya.
“Karena untuk mengajukan bahan-bahan, posisi kepala pusat itu tidak memegang anggaran.”
Di BRIN, kata dia, anggaran dipegang kedeputian lain, sehingga butuh waktu untuk mencairkannya. Kekhawatiran semacam itu, menurut Ibnu, tak hanya terjadi di InaCC, tetapi juga di MZB.
“Ini menjadi hal yang krusial sekali dan kritis terkait dengan koleksi,” katanya.
Ibnu menjelaskan, koleksi yang ada di InaCC merupakan mikroba hidup, yang akan sulit ditemukan lagi bila sudah rusak. Kecemasan Ibnu semakin menjadi karena InaCC tak diberi kewenangan mengelola dan merawat koleksi mikroba, seperti tercantum dalam Perpres Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Mikroorganisme.
“Saya khawatir, apa bisa menjamin keselamatan koleksi dari teman-teman kita sebagai peneliti Indonesia atau dari luar negeri, yang melakukan penelitian mikrobilogi,” katanya.
Mantan Direktur MZB LIPI, Rosichon Ubaidillah juga merasa waswas, gedung baru yang akan dijadikan tempat relokasi koleksi ilmiah tak memenuhi standar internasional, baik dari sisi keselamatan, keamanan, dan kemudahan akses koleksi.
Menurut Rosichon, museum koleksi ilmiah di Inggris, Jerman, dan Australia sangat amat memperhatikan segi keselamatan, keamanan, dan kemudahan akses. Di Indonesia sendiri, katanya, Gedung MZB juga telah memenuhi standar internasional karena dirancang dan diawasi ahli pengelolaan koleksi dari seluruh dunia yang ditunjuk Global Environment Facility (GEF) dan JICA.
“Mereka mempertimbangkan antigempa, antikebakaran, dan kelembapan ruangan,” ujar peneliti Pusat Riset Biologi BRIN itu, Selasa (22/2).
“Nah, gedung baru BRIN apakah dirancang seperti Gedung MZB?”
Tak hanya masalah gedung, Rosichon pun khawatir pengelolaan koleksi tak dilakukan kurator profesional. Kekhawatiran tersebut berangkat dari informasi yang diterimanya, kalau para pelamar kurator tak punya latar belakang keahlian dalam ilmu taksonomi.
“Saya perhatikan, yang mendaftar menjadi kurator koleksi di MZB itu bukan peneliti,” ujarnya.
“Kalau ada bekas peneliti adalah peneliti yang tidak bisa melanjutkan fungsional penelitiannya.”
Kondisi tersebut, menurutnya, berbeda dengan spesifikasi kurator di luar negeri, semisal Natural History Museum di Inggris. Dari pengalamannya belajar tiga tahun di sana, ia mengatakan, para kurator punya latar belakang ilmu taksonomi. Kualifikasi itu dibutuhkan karena kurator bertanggung jawab mengelola dan merawat koleksi ilmiah keanekaragaman hayati.
“Dan umumnya seorang kurator di luar negeri itu masih aktif meneliti,” tutur dia.
“Nah di BRIN nanti, peneliti taksonomi itu bukan menjadi kurator karena ada jabatan fungsional kurator tersendiri.”