close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi buruh dan pekerja. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi buruh dan pekerja. Alinea.id/Firgie Saputra
Nasional
Jumat, 26 November 2021 06:26

'Gaji numpang lewat': Cerita buruh yang tak pernah merasakan upah minimum

Ketentuan UMR masih kerap tak dipatuhi perusahaan.
swipe

Nurlela, 48 tahun, "tak tahan" lagi. Agustus lalu, ibu satu anak itu resmi mengundurkan diri sebagai pegawai di PT Lestari Busana Anggun Mahkota. Bekerja selama bertahun-tahun di perusahaan tekstil itu, Nurlela merasa tak pernah dibayar sesuai dengan beban kerja yang ia pikul. 

Di perusahaan yang berlokasi di Tangerang Selatan itu, Nurlela hanya dibayar Rp150 ribu per hari. Setiap hari, ia bekerja selama 9 jam, dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Jika sedang libur, ia tidak dibayar. Jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan pun tak didapat. 

"Manajemen (memberikan beban) kerjanya lebih banyak di perusahaan yang lama. Makanya, saya mengundurkan diri,” tutur Nurlela saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (23/11).

Nurlela memang tak lama menganggur. Kini, ibu satu anak itu sudah kembali bekerja di salah satu pabrik tekstil di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sempat berharap bakal naik gaji, ia hanya diupah sebesar Rp150.000 per hari atau sama dengan sebelumnya.

Meski begitu, Nurlela tak begitu keberatan. Pasalnya, jam kerja dia berkurang. Sehari, ia hanya bekerja selama delapan jam. Dengan estimasi sebulan ia masuk selama 22 hari, Nurlela rata-rata membawa pulang pendapatan sebesar Rp3.300.000.

Upah Nurlela sebenarnya tak sesuai dengan ketentuan upah minimum ibu kota yang termaktub dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 103 tahun 2020 tentang Upah Minimum Tahun 2021. Dalam beleid tersebut, besaran upah terkecil dipatok sebesar Rp4.416.186,548. 

“Jadi, enggak sampai UMR (upah minimum regional). Kalau libur juga enggak dihitung. Sudah itu, enggak ada tunjangan apa pun. Kadang lewat aja itu (gaji). Ya, kalau menurut kebutuhan, minggu ini untuk bayaran sekolah, untuk bayar rumah. Minggu depannya lagi diatur lagi untuk arisan," tutur Nurlela. 

Meski tak sesuai aturan, Nurlela memilih untuk tidak memperjuangkan haknya. Sebagai pegawai baru, ia merasa tak boleh banyak protes. “Nanti dianggap provokator. Jadi, ya, oke (terima gaji sesuai perusahaan) ajalah,” imbuh dia. 

Kendati penghasilannya terbilang kecil, Nurlela tetap bersyukur lantaran masih ada pemasukan setiap bulannya. Apalagi, suami dan anaknya kerap turut membantu mencari duit untuk memenuhi kebutuhan domestik rumah tangganya. 

Jika pesanan yang datang ke pabrik sedang membeludak, Nurlela juga seringkali bekerja lembur supaya dapat tambahan penghasilan. Di lain waktu, Nurlela harus mau menerima dipekerjakan sesuai kebutuhan perusahaan. 

“Saya awal-awal di situ, dua minggu ada terus (lembur). Sekarang sudah enggak ada. Kemarin sama hari ini saja masuk setengah hari. Ya, dibayar setengah, Rp75 ribu. Berkurang, tapi, ya, alhamdulillah ada juga (kerjaan sampingan). Ada yang vermak, ada yang bikin baju," kata dia.

Nasib serupa dialami Siti Amirah--bukan nama sebenarnya. Bekerja lebih dari dua tahun sebagai buruh di salah satu pabrik garmen Kota Cimahi, Jawa Barat, Siti merasa tidak pernah mendapat kenaikan upah. Sejak awal bekerja, upah Siti juga di bawah UMR yang berlaku.

“Harusnya, setiap tahun itu naik. Cuma mungkin karena ada pandemi gitu, ya. Kayaknya datar-datar aja (gaji). Enggak ada bedanya gitu dari awal masuk,” tutur Siti saat dihubungi Alinea.id, Senin (22/11).

Per hari, Siti hanya dibayar sekitar Rp100 ribu. Upah itu hanya diperoleh ketika ia masuk kerja. Bila izin libur atau tanggal merah, ia tidak mendapat bayaran. Dengan hitungan enam hari kerja per minggu, kisaran gaji Siti hanya mencapai Rp2.600.000. 

Padahal, upah minimum Kota Cimahi yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep.774- Yanbangsos/2020 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2021 sebesar Rp3.241.929.

Meski mendapat gaji yang jauh dari UMR resmi yang ditetapkan pemerintah daerah, Siti merasa belum kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasalnya, hingga kini Siti belum berkeluarga. 

“Cukup sih, menurut aku, buat yang masih sendiri juga. Tetapi, kalau bisa, tahun depan dinaikkanlah kalau bisa (upah minimumnya)," ucap perempuan berusia 20 tahun itu.

Sejumlah mahasiswa dan buruh berunjuk rasa tolak Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja di Bundaran DPRD Jember, Jawa Timur, Kamis (19/3/2020). Dalam aksinya mereka menuntut DPRD Jember menyuarakan penolakan RUU tersebut ke Pemerintah Pusat karena merugikan buruh. ANTARA FOTO/Wahyu/sen/wsj.

Kenaikan UMR tak cukup

Sesuai aturan, perusahaan tempat Nurlela dan Siti bekerja seharusnya memberikan gaji sesuai UMR yang ditetapkan pemerintah daerah berbasis keputusan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Teranyar, Kemenaker menetapkan kenaikan rata-rata UMR 2022 sebesar 1,09%. 

Besaran rerata itu dihitung Badan Pusat Statistik (BPS) dengan mengacu pada formula yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. Regulasi itu merupakan aturan turunan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). 

Dalam UU Ciptaker, penghitungan kenaikan upah setiap tahunnya wajib mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional. Adapun variabel dalam menghitung upah, yakni paritas daya beli, penyerapan tenaga kerja, dan median upah. 

Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos berpendapat kenaikan UMR rata-rata sebesar 1,09% itu tak akan dirasakan kaum buruh. Ia menyebut buruh bakal kesulitan merespons
melonjaknya harga beragam kebutuhan pokok pada 2022, mulai dari sandang-pangan hingga tarif listrik. 

"Artinya (upah minimum daerah) yang naik hanya Rp20 ribu-Rp30 ribu enggak ada efeknya. Justru terjadi penurunan. Nah, ini kita melihat sangat menyakitkan bagi rakyat yang dalam situasi seharusnya negara hadir agar pemutusan kerja tidak sewenang-wenang agar hukum positif kita dijalankan,” terang Nining saat dihubungi Alinea.id, Senin (22/11).

Nining berpendapat pemerintah keliru dengan menetapkan kenaikan UMR berbasis pada kondisi ekonomi nasional. Supaya sesuai dengan kondisi riil di lapangan, menurut dia, pemerintah seharusnya mengacu pada standar hidup layak di daerah.

"Kan, sangat tidak fair, sangat tidak berkeadilan. Jadi, ada hal yang sangat tidak berkeadilan di dalamnya, dan negara tidak hadir. Tugas pokok negara dan fungsinya, bagaimana melindungi, bagaimana meningkatkan kesejahteraan,” ujar Nining. 

Rendahnya kenaikan UMR, lanjut Nining, potensial menghadirkan efek bola salju yang justru merugikan negara. Ia menganalogikan rendahnya UMR berdampak pada stagnannya tingkat konsumsi masyarakat dan menurunkan kualitas hidup generasi penerus bangsa. 

“Kalau masyarakat rendah konsumsinya juga akan mempengaruhi ekonomi nasional. Ketika barang-barang tidak mampu dibeli masyarakat, maka yang terjadi krisis. Ketika krisis, gejolak sosial pasti akan banyak, tingkat kekerasan akan banyak,” imbuh Nining.

Nining berharap jeritan kaum buruh soal upah tak layak itu direspons Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu langkah yang disarankan Nining ialah dengan mencabut aturan penghitungan pengupahan yang tertera dalam UU Ciptaker dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.

“Kepala negara tertinggi hari ini kan Presiden. Presiren harus mengambil suatu diskresi tentang pengupahan yang layak. Tidak seperti sekarang yang semakin hancur. Kalau presiden tidak hadir (merespons) apa yang menjadi persoalan masyarakat, maka sudah jelas rezim hari ini telah gagal menyejahterakan rakyatnya,” cetus dia. 

Ilustrasi aktivitas buruh di perusahaan tekstil. /Foto Antara

Sanksi tegas

Di luar besaran kenaikan UMR 2022 yang masih berpolemik, data Kemenaker bahkan menunjukkan tak semua perusahaan mematok besaran upah buruh berbasis UMR. Pada 2020, misalnya, Kemenaker mencatat setidaknya ada 454 kasus perselisihan hak yang dilaporkan dan ditangani pemerintah. Tertinggi di DKI Jakarta dengan 68 kasus. 

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher maraknya kasus-kasus pengabaian ketentuan UMR oleh perusahaan mengindikasikan lemahnya pengawasan oleh pemerintah. Ia meminta pemerintah lebih serius menetapkan sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan.

“Jangan hanya sekadar mengimbau perusahaan agar taat menaikkan upah. Akan tetapi, pemerintah juga harus mengeluarkan tindakan tegas juga bagi perusahaan yang melanggar,” ujar Netty saat dihubungi Alinea.id, Selasa (23/11).

Netty meminta Kemnaker untuk menjamin keamanan para pekerja ketika melaporkan pelanggaran perusahaan terkait UMR. Menurut dia, banyak banyak pekerja yang tidak berani melaporkan pelanggaran perusahaan karena khawatir dipecat. 

Di lain sisi, ia juga meminta agar pemberi kerja mematuhi ketentuan UMR yang berlaku di masing-masing daerah. "Perusahaan dan pekerja sama-sama membutuhkan, sehingga tidak dibenarkan apabila yang satu dirugikan sementara yang lainnya diuntungkan,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemenaker Indah Anggoro Putri berjanji akan memberikan sanksi tegas bagi pelaku usaha yang memberikan upah minimum jauh di bawah yang telah ditetapkan pemerintah.

"Kalau ada pekerja di atas 1 tahun ternyata upahnya di bawah upah minimum, segera dilaporkan ke kami. Dilaporkan ke Kemenaker atau ke disnaker yang ada di kabupaten atau kota wilayah kerja," ucap Indah dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Rabu (24/11).

Pemberian upah minimum yang ditetapkan pemerintah daerah, kata dia, berlaku bagi buruh dengan masa kerja di bawah satu tahun. Perusahaan yang membandel tak memberikan UMR sesuai ketentuan bisa dijerat sanksi pidana berupa kurungan penjara selama 4 tahun, denda minimal Rp100 juta, atau maksimal Rp400 juta. 

Agar aturan ini ditaati, Indah mengatakan, Kemenaker bakal menggandeng Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Ia juga meminta para pekerja dan buruh proaktif melaporkan pelanggaran perusahaan terkait UMR. 

"Terus juga ada serikat pekerja atau serikat buruh di setiap perusahaan dapat melaporkan jika masih terjadi pekerja yang sudah bekerja lebih dari 1 tahun, tetapi ternyata mendapatkan upahnya atau bahkan di bawah upah minimum," kata Indah.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan