Cerita dari ranjang para pekerja seks di era corona
Jalan di pinggiran Kali Sekretaris, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, tampak sepi, Kamis (27/8) malam itu. Hanya terlihat sejumlah perempuan muda bercengkerama di bawah temaram lampu jalan. Sesekali, mereka melambaikan tangan kepada pengendara motor yang melintas.
Berdiri tak jauh dari kerumunan kecil itu, Desy mencopot masker dan memperbaiki riasan di wajahnya. Gerak-gerik perempuan asal sebuah desa di Jawa Barat itu terlihat kikuk.
"Saya orang baru di sini. Tadinya (saya bekerja) di (kawasan) Mangga Besar," kata perempuan berusia 20 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id.
Sebelum mulai mangkal di lokasi itu, Desy sempat bekerja sebagai ladies companion (LC) di sebuah tempat hiburan malam di Mangga Besar. Selama pandemi, tempat kerjanya dilarang beroperasi. Desy pun ikut tersingkir.
Saat dipecat Maret lalu, Desy belum genap satu tahun berada di Jakarta. Bingung karena tiba-tiba kehilangan pekerjaan, Desy lantas diajak seorang temannya untuk ikut mangkal di lokasi itu.
"Tak ada pemasukan. Tabungan sudah menipis. Saya butuh biaya untuk sewa kos dan biaya hidup lainnya," ujar perempuan yang hanya tamatan sekolah dasar ini.
Untuk sekali kencan, Desy mematok harga Rp600 ribu. Harga itu terbilang lebih mahal untuk PSK yang biasa mangkal di pinggir jalan. Namun, Desy pede dengan harga itu. "Mentoknya Rp500 ribu. Ini lebih murah kalau saya terima tamu langsung di hotel," tuturnya.
Diakui Desy harus kontak fisik dengan orang tak dikenal pada masa pandemi bikin parno. Demi keamanan, ia pun menyiapkan sejumlah protokol untuk para tamu. Salah satunya ialah mandi sebelum naik ranjang.
"Saya masih takut-takut sih. Cuma keadaan ini sudah mendesak. Saya yakin tamu yang datang juga bersih. Mereka tak mau ambil risiko juga kan," katanya.
Walaupun kemungkinan harus berurusan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) karena mangkal terang-terangan, Desy mengaku tak terlalu khawatir. Ia lebih takut tak punya penghasilan selama pandemi.
Apalagi, para pelanggannya sedang tak berani keluar rumah lantaran takut tertular virus Covid-19. "Sekarang aja belum ada tamu sama sekali. Masih sepi dari tadi," ujarnya.
Membatasi jumlah pelanggan
Jika Desy masih memakai cara konvensional untuk menggaet pelanggan, lain halnya dengan Yeyen. Perempuan berusia 29 tahun itu biasanya mendapatkan konsumen via Tantan, sebuah aplikasi mencari jodoh yang lagi ngetren.
Malam itu, Alinea.id bertemu dengan Yeyen di sebuah minimarket di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. "Ayo ke kamarku saja," ajak Yeyen setelah berbasa-basi sejenak.
Yeyen tinggal di sebuah wisma yang tak jauh dari minimarket itu. Kamarnya berukuran besar dan wangi. Televisi dan kulkas menghiasi kamar yang lampunya dibiarkan temaram itu. "Semenjak Covid-19 aku mulai bawa tamu ke sini," kata dia.
Sebelumnya, Yeyen bekerja di sebuah panti pijat di kawasan Kedoya. Sempat kucing-kucingan dengan petugas, tempat kerja Yeyen akhirnya tutup pada April lalu.
"Di panti, hanya layani pijat. Kalau ada tamu yang pengin lebih, saya tolak. Kalaupun ada tamu, kita harus bagi hasil dengan teman-teman. Belum sewa kamarnya," kata ibu tunggal dengan tiga anak itu.
Sebelum pandemi, Yeyen biasanya hanya menerima tamu di luar jam kerja. Profesi sambilan itu ia lakoni sejak suaminya sakit-sakitan dan akhirnya meninggal delapan tahun lalu.
"Aku hanya pikir gimana caranya dapat uang untuk ketiga anakku. Anakku enggak punya ayah kan. Aku enggak mau mereka tambah susah lagi," tutur Yeyen.
Sekali kencan, ia mematok harga Rp400 ribu. Itu pun hanya untuk dua tamu yang beruntung saja dalam satu malam. Angka itu jauh lebih besar ketimbang pendapatannya sebagai terapis karena ia terima utuh dari konsumen.
Kebanyakan tamu, kata Yeyen, adalah orang-orang yang baru ia kenal dari media sosial. "Kalau yang langganan, biasanya itu bapak-bapak yang udah kenal aku di tempat pijat," ujar perempuan asal Jakarta Utara itu.
Diakui Yeyen, kini ia lebih leluasa membagi waktu kerja. Yeyen juga bisa meraup penghasilan tambahan hanya dengan menjadi teman "ngobrol" para pria kesepian via aplikasi kencan online.
"Mereka (teman kencan Yeyen) itu orang-orang kesepian yang selalu betah di rumah dan butuh hiburan. Istilahnya itu, kita tidur bareng-bareng," kata Yeyen.
Cegah lewat razia intensif
Tak hanya terlarang, praktik prostitusi pada masa pandemi juga berbahaya. Namun demikian, profesi itu tetap menggeliat di tengah merebaknya wabah virus Covid-19. Urusan perut menjadi alasan utama para pekerja seks tetap membuka layanan.
"Jasa mereka ini justru berbahaya dalam konteks pencegahan penyebaran Covid-19. Mereka tidak bisa dilarang karena dari awal memang sudah merupakan aktivitas ekonomi terlarang," ujar sosiolog Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Handy Lubis kepada Alinea.id, Sabtu (29/8).
Untuk mencegah penularan, Rissalwan menyarankan agar penegak hukum gencar menggelar razia ke tempat-tempat karaoke, pub, dan panti pijat yang ditengarai menjalankan praktik-praktik prostitusi terselubung.
"Ini memang sulit dikendalikan demand-nya. Yang lebih mudah adalah mengendalikan supply dengan razia yang intensif ke tempat-tempat yag diduga sebagai tempat prostitusi terselubung," jelas Rissalwan.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan kesulitan ekonomi selama pandemi potensial menjerumuskan kaum hawa ke dunia prostitusi. Ia mencontohkan kasus penggerebekan Venesia BSD Karaoke Executive di Tangerang, Banten, beberapa pekan lalu.
Pada saat digerebek, ada 47 perempuan yang dipekerjakan sebagai pemuas syahwat lelaki hidung belang di karaoke dan spa Venesia BSD. Mereka rata-rata berasal dari DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
"Ini kan terjadi perekrutan, kemudian ditampung korban-korbannya. Kemudian itu dimanfaatkan kerentanannya, termasuk akibat pandemi Covid-19 untuk tujuan eksploitasi seksual," kata Siti saat dihubungi Alinea.id Selasa (1/9) siang.
Untuk mencegah prostitusi, Siti mengatakan, pemerintah wajib memastikan bantuan sosial tersalurkan ke lapisan masyarakat yang paling rentan, termasuk kaum perempuan yang miskin. Dengan begitu, mereka tidak akan mudah dijadikan komoditas.
"Pencegahan dalam konteks lebih luas itu pendidikan dan ini jangka panjang. Yang tak kalah penting adalah sosialisasi. Misalnya, di desa-desa ada banyak tawaran pekerjaan saat pandemi ini. Tentu menggiurkan tanpa mereka (perempuan) memeriksa kebenaran informasi tersebut," jelas Siti.
Kepala Satpol Praja Jakarta Barat Tamo Sijabat mengatakan, pengawasan tempat hiburan malam tidak pernah kendor selama pandemi. Namun demikian, ia mengakui masih ada tempat hiburan malam--termasuk hotel dan apartemen--yang menjalankan praktik prostitusi terselubung.
Dari razia yang dilakukan, ia menemukan ada pemilik hiburan malam yang membuka layanan bagi tamu yang jadi anggota khusus. "Hanya orang tertentu masuk dan caranya enggak keliatan di luar. Jadi, memang susah dilacak," ujar Tamo.
Tamo membenarkan aktivitas prostitusi selama pandemi juga sulit dihentikan karena penyedia jasa dan para pekerja seks mencari pelanggan melalui aplikasi. "Kalau yang tradisional sih gampang kita lacak," kata dia.