Cerita kelam dari ‘kampung narkoba’ dan stigma yang melekat
Sekelompok remaja yang mayoritas berkaus hitam asyik nongkrong di rel kereta api yang melintas Kampung Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara, ketika senja mulai menyapa, Selasa (6/12). Tak jauh dari lokasi itu, anak-anak bermain sepak bola di lahan sempit di antara rel kereta. Sejumlah sepeda motor lalu-lalang di perlintasan sebidang. Di pinggir rel kereta, rumah-rumah semipermanen berdiri.
Kampung Bahari, yang merupakan kawasan padat penduduk, letaknya tak jauh dari terminal dan stasiun Tanjung Priok. Kampung itu memiliki lima jalan, yakni Jalan Bahari I hingga V. Jalan-jalan kecil membelah lima jalan tersebut.
Jalan utama hanya bisa dilewati satu mobil. Sedangkan jalan-jalan kecil, cuma dapat dilintasi sepeda motor. Warganya ada yang membuka usaha warung dan beraktivitas di pasar.
Sekilas Kampung Bahari dan Ambon
Kampung Bahari dicap sebagai “kampung narkoba” lantaran sering kali digerebek polisi terkait peredaran narkotika. Beberapa warga yang ditemui, memilih bungkam saat disinggung soal stigma itu.
“Tadi pagi, ada yang ditangkap,” kata seorang pria paruh baya kepada kawannya di pos dekat perlintasan sebidang.
Dari perbincangan kedua orang itu, diketahui senjata tajam diamankan polisi. Tak lama, orang itu pergi meninggalkan kawannya. Seorang kawannya, sebut saja A, mengatakan yang ditangkap polisi adalah salah seorang temannya karena perkara penodongan.
“Tapi, enggak serawan dulu. Pernah ada BD (bandar narkoba) juga,” ucap A kepada reporter Alinea.id, Selasa (6/12).
Menurutnya, bandar-bandar narkoba itu sudah ditangkap polisi. Tercatat, polisi beberapa kali menggerebek permukiman ini terkait peredaran narkoba. Teranyar, petugas Polda Metro Jaya menangkap enam orang yang diduga terlibat narkoba pada 30 November lalu.
Dikutip dari Antara, Kamis (1/12), Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan mengatakan, barang bukti yang disita berupa sabu-sabu 116. 97 gram. Perlawanan dengan melempar batu dan petasan sempat dilakukan warga terhadap polisi.
Sebelumnya, pada Kamis (20/10) Polres Metro Jakarta Utara pun menggerebek kampung itu. Polisi menangkap delapan orang, yang enam orang di antaranya merupakan pengedar narkoba. Barang bukti sabu-sabu 18,48 gram diamankan.
Lalu, pada Maret operasi besar-besaran yang melibatkan petugas gabungan dari kepolisian, TNI, dan Pemerintah Jakarta Utara dilakukan. Ada sekitar 700 personel yang terlibat dalam operasi.
Dilansir dari Antara, Rabu (9/3), ada 26 orang yang diamankan. Barang bukti yang disita pun tak main-main, antara lain 350 gram sabu-sabu, 1.500 pil ekstasi, ganja, tembakau sintetis, serta beberapa alat isap. Polisi pun menyita belasan senjata tajam, petasan, dan peralatan komunikasi elektronik.
Meski dihadapkan pada kerawanan tindak kriminal, terutama peredaran narkoba, A dan keluarga tetap memilih tinggal di Kampung Bahari. “Mau pindah ke mana? Nyari duitnya di sini,” katanya, yang sehari-hari berjualan makanan.
Stigma kampung narkoba pun melekat pada Kompleks Permata, Kedaung Kali Angke, Cengkareng, Jakarta Barat atau yang dikenal sebagai Kampung Ambon. Selasa (6/12) siang, tampak tak banyak aktivitas di kompleks tersebut. Hanya ada satu-dua sepeda motor dan mobil terparkir.
Keadaan lingkungannya layaknya perumahan lain. Tampak bersih. Rumah-rumahnya juga cukup tertata, ada yang satu dan dua lantai.
“Ini Kampung Ambon. Di sini rawan narkoba,” ucap seorang pedagang, dengan nada bicara rendah. “Sampai sekarang masih dipantau polisi.”
Namun, ia mengalihkan pembicaraan, setiap ditanya tentang label kampung narkoba. Ekspresi wajahnya pun seakan malas membahasnya lebih jauh.
Kampung Ambon bersebelahan dengan sebuah kali besar, yang dilindungi pepohonan rindang. Seorang pengendara sepeda motor yang tengah asyik menikmati kopi di pinggir kali mengaku pernah tinggal di Kampung Ambon. Awal 2000-an, ia angkat kaki dari sana.
“Mulai terkenal dengan narkobanya sejak saya pindah,” katanya.
Meski begitu, menurutnya, tak semua orang yang tinggal di Kompleks Permata terlibat dalam peredaran narkoba. “Kembali ke masing-masing individu saja,” ujarnya.
Sama seperti Kampung Bahari, polisi juga berulang kali mengadakan operasi pemberantasan narkoba di Kampung Ambon. Terbaru, pada Selasa (22/11) petugas dari Polda Metro Jaya menggerebek tempat ini. Barang bukti berupa 140 gram sabu-sabu diamankan.
Sebelumnya, pada Senin (3/10), polisi menangkap delapan orang yang diduga sebagai pengedar narkoba. Petugas juga mengamankan sabu-sabu seberat 10 gram dan alat timbang.
Lalu, pada Selasa (7/6) Polsek Taman Sari menggerebek Kampung Ambon, dengan sasaran indekos di sana. Dilaporkan Antara, ditemukan beberapa paket sabu dan uang Rp34 juta di sejumlah indekos. Polisi juga menangkap tiga orang yang dicurigai terlibat dalam aktivitas transaksi narkoba.
Label kampung narkoba
Wakil Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Kombes Pol Jayadi mengatakan, sudah puluhan kali aparat kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan penindakan di Kampung Ambon dan Bahari. Akan tetapi, masalah peredaran narkoba di sana tak pernah selesai.
“Pemberantasan narkotika ini kan tidak hanya dibebankan kepada aparatur penegak hukum, baik Polri maupun BNN, tetapi juga (harus ada) kepedulian dari masyarakat sekitar,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (8/12).
Karenanya, Jayadi meminta masyarakat aktif pula dalam upaya pemberantasan narkoba. Ia percaya di Kampung Ambon dan Bahari masih ada warga yang benci terhadap peredaran narkoba.
"Tetapi, sebagian masyarakat menjadikan daerah itu sebagai daerah yang mudah untuk melakukan transaksi," ucapnya.
Jayadi menerangkan, sebagian besar pengedar narkoba di Kampung Ambon dan Bahari adalah pendatang, meski ia tak membantah ada sebagian kecil warga setempat yang terlibat. Pengedar narkoba di dua kampung itu, ujar Jayadi, tak dalam jaringan yang sama.
“Ketika kita lakukan penindakan, jaringan A misalnya sudah kita ungkap. Kemudian, periode berikutnya, tumbuh jaringan B. Kita tindak lagi, lalu muncul jaringan C,” tuturnya.
“Seperti itu pola-pola yang sering kita analisis terkait kampung-kampung narkoba.”
Tindakan preemtif (imbauan), preventif, dan represif digunakan polisi untuk memberantas narkoba di sana. Namun, ia mengakui, jika tindakan itu berakhir dan peredaran narkoba berhenti, dalam kurun waktu yang agak lama muncul lagi kasus serupa.
“Dan itu selalu berulang,” ucapnya.
Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis berpendapat, ada pola yang sama di setiap daerah yang mendapat stigma kampung narkoba, yakni para pengedar kerap sewa rumah kontrakan. Ia menambahkan, walau secara sosial-ekonomi keadaan Kampung Ambon dan Bahari berbeda, tetapi model kontrol sosialnya mirip.
“Saya menduga, dua tempat itu waktu awal pengedar datang, tulisan ‘tamu lapor 2x24 jam’ mungkin tidak ada atau kalau ada praktiknya tidak ada. Artinya mereka (warga setempat) terbuka terhadap siapa pun yang datang,” ujarnya, Rabu (7/12).
Hal itulah yang membuka ruang para pengedar narkoba untuk datang ke lokasi. Sedangkan pola pengedaran narkobanya, menurut Rissalwan berbeda. Di Kampung Bahari, kata dia, para bandar memanfaatkan anak-anak muda sebagai pengedar atau kaki tangan.
“Kalau di perumahan yang lebih menengah, seperti di Kampung Ambon, agak sulit menemukan kaki tangan untuk mempromosikan (narkoba),” tuturnya.
Sementara itu, kriminolog dari UI Adrianus Eliasta Meliala menduga, di Kampung Ambon dan Bahari tak jarang bandar juga melibatkan warga setempat. Selain bantu menjual, warga yang tinggal di sekitar lokasi biasanya dijadikan mata-mata. Lalu, para pengedar yang mulanya pendatang, lama-lama menjadi bagian dari kampung itu.
“Karena mereka tinggal di satu kampung yang sudah mendukung. Mereka juga cari makan di situ dan seterusnya,” ujarnya, Rabu (7/12).
Pelibatan warga yang ada di sekitar lokasi itulah, jelas Adrianus, yang membuat para pengedar kerap lolos dari razia polisi. “Ini berkat pihak-pihak yang menjadi mata-mata mereka,” katanya.
Untuk kasus di Kampung Bahari, lantaran permukiman padat, polisi kerepotan jika melakukan operasi. Di daerah itu, kata Adrianus, biasanya banyak jalan tikus, sehingga upaya yang harus ditempuh adalah operasi kejut dengan penggerebekan.
Di sisi lain, Jayadi belum menerima keluhan warga yang bermukim di lokasi terstigma tinggal di kampung narkoba. "Sebenarnya wajar kalau ada sebagian masyarakat keberatan mendapatkan stigma kampungnya itu menjadi kampung narkoba," katanya.
Menurut Rissalwan, label kampung narkoba bisa dilihat dari dua perspektif, yakni promosi dan stigma. Disebut promosi karena pengedar membutuhkan pembeli. Dengan istilah itu, para pengguna narkoba paham harus ke mana jika ingin menggunakan barang haram itu.
“Dari perspektif pemerintah atau aparat keamanan, akan melihat istilah ini sebagai kode operasi. Jadi akan membantu juga bagi polisi,” Rabu (7/12).
Stigma kampung narkoba, kata Rissalwan, bisa berdampak negatif bagi warga yang tinggal di permukiman tersebut. Terutama untuk mereka yang sama sekali bersih dari narkoba. Akibatnya, kesempatan melakukan interaksi sosial yang lebih luas bisa mati.
“Ini saya kira bahaya karena membuat orang jadi terkucil atau dikucilkan, padahal dia tidak melakukan itu,” ujarnya.
Menurut Rissalwan, dari sisi pemberantasan narkoba, stigma kampung narkoba diberikan oleh aparat keamanan. Tujuannya, melalukan lokalisasi.
“Jadi stigma ini dalam rangka pengendalian atau kontrol sosial dari perspektif keamanan,” katanya.
Ia tak sepakat dengan cara itu. Sebab, melabeli sebuah lokasi malah bisa membuat peredaran narkoba kian marak di daerah tersebut.
Adrianus pun sepakat, stigma kampung narkoba merugikan warga setempat yang sama sekali tak terlibat dengan narkoba. Namun, mereka terbentur persoalan, semisal tak gampang pindah rumah. Menjual aset di lokasi yang mendapat stigma buruk juga tak mudah.
“Sebetulnya mereka menderita tinggal di lokasi itu. Khawatir terkontaminasi, khawatir ikut-ikutan dalam rangka kasus hukum,” katanya.
“Rasanya, ini tidak terlalu gampang bagi orang-orang kecil.”