Sengsara mereka yang dipaksa berjilbab: Dilabeli kafir, diancam masuk neraka
Meskipun peristiwa itu terjadi 17 tahun silam, Diana (bukan nama sebenarnya) tak pernah sepenuhnya pulih dari trauma perisakan yang dia alami saat duduk di bangku sekolah dasar (SD). Ketika itu, Diana dirundung karena persoalan sepele: ia kedapatan tak memakai jilbab di luar sekolah.
"Semua bermula saat mereka melihat aku enggak pakai kerudung dengan keluarga di luar. Mereka terus ngomongin aku yang enggak pakai kerudung. Aku pun disidang sama temen-temenku sendiri. Kenapa tidak pakai kerudung dan lain sebagainya," ujar Diana saat mengisahkan kembali peristiwa perisakan tersebut kepada Alinea.id, Senin (22/3).
Ketika itu, Diana bersekolah di salah satu SD di Jakarta Timur. Sekolah yang berafiliasi dengan salah satu parpol Islam di Indonesia itu memang mewajibkan semua siswi perempuan untuk berjilbab saat kegiatan belajar-mengajar. Namun, tidak ada kewajiban untuk tetap mengenakan jilbab saat di luar sekolah.
"Memang sekolah aku sekolah Islam. Tapi, ini masalahnya aku di luar enggak pakai jilbabnya. Tetapi, tetap aku disuruh pakai sama guru waktu itu. Saya dirundung, 'Eh, dia masa enggak pakai kerudung di luar tahu'. Terus ditambah lagi guru aku bilang, 'Kalau kamu enggak pakai kerudung, nanti kamu masuk neraka'," ujar Diana.
Perundungan yang dialami Diana tak hanya berlangsung satu episode. Keluarga Diana pun ikut-ikutan jadi bahan gosip guru dan teman-teman satu sekolah. Teman-teman sekolah Diana bahkan sempat melabeli dia kafir.
Diana kecil pun bingung. Pasalnya, ia tak pernah diperlakukan seperti itu saat bersekolah di Arab Saudi sebelumnya. Stres karena terus dipergunjingkan, Diana pun curhat kepada ayahnya perihal perundungan tersebut.
"Keluarga aku mayoritas Muslim. Saat di titik merasa sangat ditekan, aku nanya ke ayahku. Emang bener, ya, kalau enggak berjilbab masuk neraka? Ayahku menjelaskan bukan manusia yang menentukan seseorang masuk neraka, tapi Tuhan," ujar Diana.
Tekanan psikologis yang dialami Diana tak hanya berhenti saat dia berseragam merah putih saja. Ketika masuk jenjang sekolah menengah pertama (SMP), Diana sebenarnya sempat ingin melepas jilbab. Namun, niat itu ia urungkan lantaran banyak teman satu SD-nya yang juga masuk SMP tersebut.
Supaya tak kembali dirisak, ia pun memilih menjaga jarak dengan teman-teman satu SD-nya yang masuk SMP itu. Usaha itu tak berhasil. Diana kembali mengalami perundungan setelah mengunggah foto dirinya saat tak berkerudung di media sosial.
"Pada waktu SMP, aku sempet ikut kegiatan modelling. Terus dikatain (sama teman-teman sekolah) kerudung dusta dan semacamnya. Jadi, aku kena rundung lagi pas SMP," ujar alumni Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung itu.
Trauma akibat perundungan itu masih membekas di benak Diana. Hingga kini, Diana hampir tak pernah ikut acara reuni SD meskipun diundang. "Saya sih sudah memaafkan secara personal, hanya saja memori perundungan sewaktu SD itu masih melekat di aku dan jadi semacam trauma," kata dia.
Peristiwa serupa juga dialami seorang remaja putri saat bersekolah di salah satu SMP negeri di Yogyakarta, tiga tahun lalu. Kepada Alinea.id, Rabu (24/3) lalu, Susi (bukan nama sebenarnya), ibu remaja putri itu, mengisahkan perundungan tersebut.
Menurut Susi, perundungan itu terjadi saat putrinya duduk di bangku kelas 7. Dengan dalih mengikuti aturan resmi sekolah, wali kelas dan guru agama rutin memaksa putrinya memakai jilbab menggunakan berbagai modus.
Dalam salah satu sesi di kelas, misalnya, putri Susi dan rekan-rekannya tiba-tiba diberikan materi soal pentingnya memakai jilbab. Entah dikomando guru atau tidak, teman sekolah putri Susi juga berulang kali mengajak ngobrol hanya untuk sekadar memintanya berkerudung.
"Kalau di masjid sekolah ada tausiyah, kadang disinggung tentang jilbab. Dijelaskan bagaimana jilbab itu untuk menutup aurat anak perempuan. Padahal, itu sekolah negeri yang pasti multikultural dan heterogen," ungkap Susi.
Susi tak tinggal diam. Ia sempat menyambangi ruangan kepala sekolah untuk memprotes perlakuan terhadap anaknya. Meskipun mengakui jilbab tidak wajib dipakai para siswi, sang kepala sekolah menyarankan agar putri Susi berjilbab pada saat mengikuti pelajaran agama.
Susi pun mengalah dan meminta putrinya menjalankan saran kepala sekolah. Namun, sang guru agama ternyata tak puas jika putri Susi hanya berkerudung saat mengikuti pelajaran agama saja. Guru itu terus menekan putri Susi agar berjilbab selama berada di sekolah.
"Semisal hari ini pelajaran agama, pagi pakai jilbab, nanti siang diawasi lagi pakai jilbab atau enggak. Besoknya diawasi lagi dan ditanyakan, 'Lho, kok kamu enggak pakai jilbab?' Terus diingatkan lagi. Jadi, beberapa kali seperti itu dan terus-menerus," ujar Susi.
Perundungan rutin bikin putri Susi tak lagi bersemangat sekolah. Menurut Susi, putrinya jadi pendiam, menjaga jarak, dan enggan bersosialisasi. Di kelas, sang putri tak lagi kritis. "Saya rasa, dia diam lantaran tidak mau menambah masalah," jelas Susi.
Bersama suami, Susi kembali mendatangi sekolah untuk protes. Kali itu, kepala sekolah menyarankan agar Susi berbicara langsung dengan wali kelas dan guru agama sang anak. Susi pun langsung menemui guru agama putrinya. Melihat Susi yang datang ke sekolah tak berkerudung, sang guru agama justru malah kian "menjadi-jadi".
"Wajah dia (guru agama) langsung berubah dan langsung berkata, 'Oh, ternyata ibunya toh yang melarang anaknya pakai jilbab'. Dalam hati, saya berkata, 'Dia memang mengganggap orang yang tidak mengenakan kerudung itu rendah sekali'," kata Susi.
Meski diprotes keras oleh Susi dan suami, sang guru agama bersikeras hanya sekadar mengikuti aturan sekolah. Ia pun memberikan sebuah buku berisi tata tertib berseragam di sekolah itu kepada Susi.
Di rumah, Susi mempelajari buku itu. Dalam buku itu, menurut Susi, ada sejumlah ilustrasi seragam, termasuk di antaranya seragam murid perempuan yang berjilbab. Namun, tidak tertera regulasi yang mewajibkan semua murid perempuan berjilbab.
Tak puas dengan respons sekolah, Susi pun melaporkan perundungan yang dialami anaknya ke Ombudsman Yogyakarta. Pada Juni 2019, Ombudsman Yogyakarta menyatakan guru agama putri Susi terbukti bersalah dan meminta sekolah merevisi peraturan supaya secara tegas menyatakan pemakaian kerudung tidak wajib.
Setelah keputusan Ombudsman keluar, menurut Susi, putrinya tak lagi dipaksa berjilbab. Namun demikian, sang guru agama ternyata belum kapok. Dari laporan seorang ibu murid baru di sekolah itu, Susi mengetahui bekas guru agama putrinya masih memaksa siswi-siswi berjilbab.
"Ternyata guru itu kembali melakukan pemaksaan terhadap murid-murid baru. Bedanya dengan dulu, dia sekarang langsung sodorkan kerudung ke anak-anak (yang tak berjilbab)," ujar Susi.
Langgar hak asasi
Dalam laporan bertajuk "Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia" yang dirilis Kamis (18/3) lalu, Human Rights Watch (HRW) menyebut aturan yang memaksa murid sekolah berjilbab diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. HRW menemukan regulasi diskriminatif tersebut tak hanya menimpa siswi yang beragama Islam, tapi juga menyasar siswi non-Muslim.
Salah satu kasus yang disoroti HRW ialah kasus pemaksaan berjilbab kepada siswi berinisial JCH sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di Padang, Sumatera Barat, Januari 2021. Kasus ini viral setelah Elianu Hia, orang tua JCH, mengunggah video perdebatannya dengan guru di SMK itu.
Dalam video itu, Elianu menolak putrinya dipaksa menggunakan jilbab lantaran JCH tidak beragama Islam. Di sisi lain, guru SMK yang diprotes bersikeras JCH mesti memakai jilbab lantaran sudah menandatangani aturan yang isinya mewajibkan seluruh siswi di sekolah itu berkerudung.
Tak lama setelah kasus itu mencuat, Kemendikbud, Kemendagri, dan Kementerian Agama mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) yang melarang sekolah mengeluarkan aturan berpakaian secara kasar dan diskriminatif bagi siswa dan guru perempuan di sekolah negeri.
Peneliti senior HRW Andreas Harsono mengatakan tren jilbab bullying menyeruak seiring dengan terbitnya beragam kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif dalam mengatur seragam sekolah supaya bernuansa Islami. Regulasi-regulasi itu mulai marak sejak 2001. Pemkab Indramayu salah satu yang pertama mengeluarkan aturan semacam itu.
"Sebagian besar dari hampir 300.000 sekolah negeri di Indonesia, terutama di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim, mewajibkan anak-anak perempuan beragama Islam untuk mengenakan jilbab sejak sekolah dasar," kata Andreas kepada Alinea.id, Selasa (23/3)
Menurut Andreas, perundungan karena tak berjilbab kian mengkhawatirkan setelah Permendikbud No. 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah terbit pada 2014.
Dalam beleid itu, terdapat lima ilustrasi seragam untuk murid laki-laki dan perempuan. Untuk perempuan, ada ilustrasi pilihan seragam khas muslimah, yaitu kombinasi rok panjang, kemeja lengan panjang, dan jilbab.
Aturan itu, kata Andreas, dijadikan dalih untuk mewajibkan jilbab di sekolah. Padahal, Mohammad Nuh, Mendikbud ketika itu, sudah menyatakan bahwa permendikbud itu hanya dimaksudkan untuk memberikan opsi seragam di sekolah. Tidak ada instruksi untuk mewajibkan siswi berjilbab.
"Sebelum dan sejak peraturan tersebut, banyak pemerintah daerah membuat ratusan peraturan bernuansa syariat, termasuk aturan dengan sasaran perempuan dan anak perempuan serta pakaian mereka," terang Andreas.
Dalam laporannya, HRW mewawancarai 142 siswi, orang tua atau wali mereka, pegawai negeri perempuan, guru, dosen, pejabat pemerintah, dan aktivis hak perempuan. Menurut Andreas, mayoritas korban perundungan mengalami trauma dan gangguan psikologis karena bersekolah atau bekerja di instansi yang mewajibkan perempuan berjilbab.
"Anak yang tidak patuh dengan jilbab dipaksa keluar sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan, sementara pegawai negeri perempuan kehilangan pekerjaan mereka atau mengundurkan diri untuk menghindari tuntutan terus-menerus memakai jilbab," ujar Andreas.
Hargai pilihan tak berjilbab
Deputi Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Indra Gunawan mengakui bila persoalan diskriminasi dan tekanan pemakaian jilbab terhadap perempuan masih marak terjadi di berbagai sekolah dan instansi. Namun demikian, Kementerian PPPA tak bisa berbuat banyak.
"Kementerian kita (PPPA) tidak teknis dan bukan eksekutor. Kementerian PPPA lebih ke advokasi sehingga urusan perempuan dan anak menjadi urusan wajib pemerintah daerah," kata Indra saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Rabu (24/3).
Sebagaimana termaktub dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemda berwenang mengatur urusan pendidikan di wilayahnya. Urusan pendidikan usia dini, SD, dan SMP diserahkan ke tangan pemerintah kota atau kabupaten. Adapun urusan pendidikan menengah ada di tangan pemerintah provinsi.
Karena tak bisa mengintervensi kewenangan pemda, Indra mengatakan, Kementerian PPPA hanya bisa membantu advokasi terhadap korban. Dalam kasus pemaksaan berjilbab terhadap putri Elianu, misalnya, Kementerian PPPA menerjunkan perwakilan untuk membantu mediasi.
"Kami turut memfasililtasi dan mediasi antara orang tua korban dengan sekolah. Tentunya sedang disiapkan langkah-langkah lanjutan dengan Dinas PPPA Sumbar untuk memastikan berbagai kebijakan dan pemenuhan hak anak serta kepentingan terbaik bagi anak terpenuhi," kata Indra.
Ditanya soal laporan HRW, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengaku prihatin. Ia berharap diskriminasi karena aturan berseragam tidak lagi terjadi di sekolah-sekolah negeri.
"KPAI mendorong agar dalam mendidik anak-anak agar sesuai norma maupun ajaran agama haruslah dengan cara baik juga, bukan dengan dipaksa atas nama aturan. Mendidik haruslah membangun kesadaran dan butuh proses. Membangun kesadaran itu harus dengan pengetahuan, dialog, dan model atau contoh," ujarnya kepada Alinea.id.
Lebih jauh, Retno meminta agar para pendidik, baik di sekolah negeri maupun swasta, berhenti memaksa siswi mengenakan jilbab dengan dalih aturan atau syariat agama. Menurut dia, keputusan berjilbab bersifat personal dan harus datang dari diri sendiri.
"Agar ketika dia mengenakan, kelak sudah mantap. Keputusan itu lahir dari kesadarannya sehingga dia tidak akan membukanya kembali karena saat menentukan pilihan sudah dibangun dengan kesadaran kuat, logis, dan penuh tanggung jawab. Jadi, pemerintah dan sekolah harus menghargai pilihan pribadi si anak ketika belum siap berjilbab," tutur Retno. (Nur)