Cerita mereka yang merajut mimpi di sekolah paket
Muhammad Kurniawan dan Rizki Maulana baru saja tuntas menggarap lahan kacang panjang di area Pondok Pesantren Assyariifiyyah di Desa Pingku, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/11) siang itu. Selain menimba ilmu agama, bertani jadi aktivitas sehari-hari kedua pemuda itu sejak tinggal di pesantren.
Tanah yang mereka garap kebanyakan masih kepunyaan kobong, sebutan untuk pondok pesantren dalam kebudayaan Sunda. Namun, ada juga lahan milik warga yang mereka manfaatkan sebagai kebun. Selain kacang panjang, Rizky dan kawan-kawan juga menanam timun, cabai, dan kangkung.
"Meskipun (tanah) punya pribadi (warga), tapi (kita sudah) minta izin (sama yang punya). Daripada liar jadi hutan,” ucap Rizki saat berbincang dengan Alinea.id di area pesantren. Mengenakan kopiah beremblem The Beatles, Wawan, sapaan akrab Kurniawan, duduk di sebelahnya.
Selain untuk kebutuhan sehari-hari, menurut Rizky, hasil bumi biasanya dijual di Pasar Parung Panjang. Mentimun dibanderol Rp7.000-Rp8.000 per kilogram. Harga kacang panjang sempat berada di kisaran Rp10.000 per kilogram.
"Makin ke sini, makin turun harganya (kacang panjang). Setiap kirim (ke pasar, harganya) turun. Sekarang sudah sampai ke Rp5.000 sekilo kacang panjang itu," ucap pemuda berusia 21 tahun itu.
Desa Pingku berada di kawasan perbukitan dan jauh dari jalan utama. Sepanjang perjalanan menuju desa, tak terlihat angkutan umum. Suasananya masih sepi. Hanya suara hewan dari hutan dan deru truk pengangkut tanah merah yang sesekali memecah keheningan.
Kepada Alinea.id, Wawan bercerita ia telah ngobong sejak lulus SD pada 2012. Ketika itu, ia memang sengaja memilih menekuni ilmu agama ketimbang melanjutkan pendidikan formal.
“Pas ditanya Bu Guru (waktu SD), ‘Mau lanjut sekolah apa enggak?’ Kata saya, ‘Enggak, Bu. Mau lanjut ngobong saja, belajar agama’,” ujar pemuda yang bakal segera genap berusia 22 tahun itu.
Berbeda dengan karibnya, Rizki sempat mengenyam pendidikan di SMP sampai kelas 3. Memasuki semester 2, Rizky terpaksa putus sekolah lantaran sepeda motor yang biasa digunakan untuk mengantarnya ke sekolah dijual kakaknya setelah ibunya meninggal.
“Dulu bapak saya juga pernah ngomong waktu (masih) kerja. Katanya, ‘Kalau masih kebiayain, terus saja sekolah. Tapi, kalau bapak sudah berhenti, ya, sudah mau enggak mau (berhenti sekolah).' Waktu itu, saya nyesel juga, tanggung (dikit lagi lulus), kata dia.
Rizki mengatakan, dia berhenti bersekolah sejak 2015. Gurunya sempat meminta dia melanjutkan sekolah tanpa perlu memikirkan biaya dulu. Namun, Rizki kadung malu dengan teman-temannya.
Kini, usia Rizky dan Wawan sudah melampaui batas persyaratan formal untuk masuk ke SMP. Namun, niat melanjutkan sekolah masih disimpan keduanya. Tahun ini, keduanya diterima sebagai sebagai siswa di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Cendikia Cemerlang.
PKBM itu berada di Perumnas 2 DS, Parung Panjang, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Dari kobong Wawan dan Rizki, jaraknya sekitar 3,4 kilometer. Keduanya mengambil paket B atau setara dengan pendidikan SMP.
Wawan bercerita, mulanya keinginan untuk lanjut sekolah disampaikan kepada salah seorang guru di pondok pesantren sekira Januari 2022. Dia ingin ikut paket B dengan harapan bisa menambah ilmu pengetahuan.
“Terus saya kan ngomong sama guru di sini, ‘Pak, kalau ada paket B, saya mau ikut. Buat cari pengalaman saja.’ Kata guru, ‘Memang ada berapa orang? Kalau ada lima orang, oke, kita daftar’,” tutur Wawan.
Selain Rizky, Wawan mengajak sejumlah rekannya untuk kembali meneruskan sekolah. Juli lalu, mereka menyambangi PKBM Cendikia Cemerlang. "Lima orang ke sana buat daftar sekalian pengenalan diri,” ujar Wawan.
Kesempatan sekolah paket B disambut baik oleh keduanya. Terlebih, mereka tak mengeluarkan biaya seperak pun. Saat ini, sepuluh orang yang ada dalam satu gerbong belajar di PKBM Cendikia Cemerlang.
Menurut Rizki dan Wawan, banyak anak-anak yang putus sekolah di desa itu. “Kebanyakan sih SD. SD lulus, cuma enggak sekolah lagi,” kata Rizki.
Kegiatan belajar-mengajar digelar di kobong. Guru agama di pesantren kini bertindak sebagai guru PKBM. Menurut Wawan, peserta didik mendapatkan ilmu-ilmu umum, seperti bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Wawan dan Rizki merasa bahagia dengan metode belajar di sekolah paket. Pasalnya, sinau paket B tidak digelar saban Senin sampai Jumat. Mereka masih bisa punya waktu untuk belajar agama dan bertani. "Sebulan, hanya dua kali belajarnya," ujar Wawan.
Setelah lulus paket B nanti, Rizki dan Wawan masih menyimpan keinginan untuk lanjut paket C atau setara SMA. Jika ada kesempatan, keduanya ingin kuliah.
“Kalau bisa (kuliah) mah, boleh. Ngapain enggak? Namanya juga kesempatan, ngapain juga ditolak,” ucap Rizki. Wawan tersenyum sambil menganggukkan kepala mendegar ucapan sobatnya itu.
Kesulitan ekonomi
Putus sekolah lantaran perkara kesulitan ekonomi juga dialami Adi Gufron. Remaja berusia 16 tahun itu sebelumnya pernah belajar di salah satu SMP swasta di Jakarta. Namun, pendidikannya di sekolah tersebut mesti terhenti karena kesulitan membayar iuran bulanan.
Akan tetapi, Adi tak patah arang. Dia kembali melanjutkan pendidikannya di PKBM Edukasi Jakarta di Peninggaran Timur II, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Adi termotivasi untuk lanjut sekolah karena pesan abangnya.
“Katanya, harus jadi orang sukses biar bisa banggain orang tua,” ujar Adi saat berbincang dengan Alinea.id di PKBM Edukasi Jakarta, Sabtu (5/11).
Di PKBM itu, Adi mengambil paket B. Meskipun belajar di sekolah kesetaraan, Adi mengaku tak mengalami kendala yang berarti. Diskriminasi karena sekolah di tempat “tak biasa” pun tidak pernah dia alami.
Selain secara daring, proses belajar dilakukan saban Sabtu dan Minggu. Selain sibuk sekolah lagi, Adi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Setelah lulus paket B, Adi berencana melanjutkan pendidikan ke SMA.
“Kalau kuliah mau lihat duitnya dulu. Kalau ada biayanya, baru kuliah,” ucap warga Cipulir, Jakarta Selatan, yang punya cita-cita jadi pengusaha itu.
Persoalan kesulitan ekonomi juga jadi alasan Dhisry Machreza Rangkuti memilih sekolah paket. Reza, sapaan akrab Machreza, ialah satu teman sekolah Adi di PKBM Edukasi. Bedanya, Reza kini tengah mengambil paket C.
Reza mengenyam pendidikan formal dari SD sampai SMP. Akan tetapi, ia tidak diterima di sekolah negeri saat mau masuk SMA. Melanjutkan pendidikan ke sekolah swasta tak memungkinkan lantaran keluarganya tergolong tak mampu.
“Kebanyakan orang bilang paket C itu kurang. Menurut saya, biasa saja seperti sekolah formal, cuma hari (belajarnya saja yang) beda,” kata remaja berusia 16 tahun itu kepada Alinea.id.
Ada alasan lain kenapa Reza memilih meneruskan sekolah dengan mengambil paket C. Salah satunya ialah jam belajar di sekolah paket yang jauh lebih singkat. Metode belajarnya juga dianggap lebih fleksibel ketimbang di sekolah formal.
Selain belajar di akhir pekan, Reza menghabiskan hari-harinya untuk membantu orang tuanya berjualan makanan. Setelah lulus paket C, Reza ingin terus berdagang untuk membiayai kuliah. "Nantinya ingin ambil jurusan ekonomi," kata dia.
Alasan serupa diungkap Ezzy Geta Abie Senjaya, siswa PKBM Edukasi lainnya. Ezzy memilih sekolah paket lantaran tak punya waktu untuk sekolah formal. Sehari-hari, Ezzy mengamen, menjadi juru parkir, dan membantu kakaknya berjualan.
“Biasanya, ngamen di Blok M dan Barito. Dulu lihat orang ngamen enak. Nyanyi-nyanyi. Memang saya suka nyanyi juga, hobi,” ucap Ezzy kepada Alinea.id.
Sebagai juru parkir, Ezzy punya jatah jaga di salah satu waralaba di Cipulir saban Jumat, dua pekan sekali. Di depan minimarket itu, kakak perempuannya berjualan.
“Jadi (markir) mulai jam 7 atau jam 8 pagi sampai jam 11 malam. Sehari bisa dapat Rp700-Rp800 ribu. Kan ramai terus di situ," kata Ezzy.
Ezzy mengaku telah lama mengenal PKBM Edukasi. Saat kelas lima SD, ia sempat mengambil paket A di PKBM itu. Sebelumnya, ia sekolah di pesantren. Setelah lulus Paket A, dia diterima di SMP Negeri 271 Jakarta.
Sekolah paket, kata Ezzy, memudahkannya untuk tetap mencari duit. Penghasilan sehari-hari Ezzy biasa dipakai untuk membantu perekonomian keluarga dan biaya sekolah. Sisanya ditabung. “Niatan sih ada (kuliah). Mudah-mudahan rezekinya ada,” ucap dia.
Tak cocok di sekolah formal
Alasan berbeda diungkap Bunga Usri Hasanah, peserta paket B di PKBM Edukasi Jakarta. Dara berumur 15 tahun itu bercerita memilih sekolah paket lantaran tak betah sekolah di pesantren.
“Diminta masuk pesantren oleh orang tua. Akhirnya terpaksa. Ya, sudah aku masuk pesantren. Terus pas masuk ke sana kaget, waktu SD kan negeri. Lingkungannya beda,” kata dia kepada Alinea.id.
Bunga mengaku budaya pesantren tak sesuai dengan karakter pribadinya. Selama bersekolah di pesantren, ia juga kerap diejek oleh sesama santri karena kala itu hafalan Alquran-nya dianggap masih dangkal.
“Terus saya lawan. Akhirnya, semuanya pada takut sama saya. Terus, habis itu saya buat masalah biar dikeluarkan dari sekolah. Soalnya, saya enggak betah,” ujar dia.
Bunga merasa kerasan belajar di PKBM. Jika tak ada hambatan, tahun depan Bunga bakal menyelesaikan paket B di PKBM Edukasi. Dia berencana melanjutkan pendidikan di sekolah formal. “Di sini enak. Pelajarannya juga enak," kata dia.
Sama seperti Bunga, Hania Rahmani Mahmuda juga mengambil paket B di PKBM Edukasi Jakarta. Perempuan 14 tahun itu mengatakan mengambil paket B karena dua alasan. Pertama, pekerjaan orang tua yang membuatnya harus terus-terusan pindah rumah.
“Kan pas lulus SD, aku lulusnya kayak telat registrasi ke SMP. Jadi, enggak bisa masuk. Jadi, mungkin, ya, terpaksa (sekolah paket),” tuturnya saat berbincang dengan Alinea.id.
Alasan lainnya, lanjut Hania, ialah proses belajar-mengajar di PKBM yang tergolong mudah. Selain tatap muka setiap akhir pekan, aktivitas belajar dilakukan secara daring. Metode belajar seperti itu sesuai dengan kondisi keluarga dia yang harus pindah-pindah.
Hania juga mengaku lebih suka belajar di PKBM lantaran peserta didiknya lebih sedikit, tak seperti di sekolah formal yang satu kelas bisa dihuni puluhan siswa. “Jadi, bisa lebih fokus (belajar di PKBM),” kata Hania.
Kisah lain disampaikan Muhammad Rafli Fauzan yang juga terdaftar sebagai murid paket B PKBM Edukasi Jakarta. Fauzan mengaku gagal masuk sekolah formal karena umurnya yang sudah 15 tahun.
“(Saya) mau jadi orang sukses. Kalau kita enggak sekolah kan, kita enggak bakal punya banyak pengalaman belajar. Jadi, daripada tidak sekolah, saya mending teruskan sekolah paket,” ujar Fauzan.
Fauzan sudah ambil ancang-ancang untuk masa depannya. Setelah lulus paket B nanti, dia bertekad melanjutkan pendidikan di sekolah teknik menengah (STM). Dia memilih itu karena memang gemar mesin dan bercita-cita mengendalikan si ular baja.
“Biar nanti bisa lanjut juga buat (jadi) masinis (kereta api),” katanya.
Ahmad Mush’ab Faqih punya alasan lain mengapa memilih paket C. Remaja berusia 16 tahun itu mengaku merasakan bangku sekolah formal hanya sampai tingkat SD saja. Jenjang SMP dia tempuh dengan mengambil paket B.
Yang memotivasi Faqih memilih sekolah paket adalah frekuensi belajarnya tidak terlalu padat. Di sisi lain, dia pun jadi bisa fokus untuk menghafal Alquran.
“Jadi kalau digabungkan sama semua pelajaran, itu aku terganggu banget (hafalan) Alquran. Jadinya, sekolah paket,” ucapnya kepada Alinea.id.
Belajar tatap muka sekolah paket, kata Faqih, hanya digelar pada akhir pekan saja. Pada hari lainnya, Faqih menghabiskan waktu untuk menghafal Alquran, mengerjakan tugas, dan membantu pekerjaan domestik di rumah.
Seperti murid PKBM lainnya, Faqih juga masih menyimpan mimpi untuk bisa melanjutkan pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. “Kalau rencananya itu mau kuliah sambil kerja," ungkap dia.