close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Suasana Kampung Apung, Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (12/8). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin/Enrico J.P.
icon caption
Suasana Kampung Apung, Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (12/8). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin/Enrico J.P.
Nasional
Minggu, 15 Agustus 2021 17:07

Yang tinggal di kampung tenggelam: Seiring waktu, saya terbiasa hidup sama air

Selama bertahun-tahun, warga di sejumlah daerah di DKI dan Tangerang hidup di bawah kepungan air laut.
swipe

Di teras rumah kayu itu, Maksum, 62 tahun, tengah menyuapi cucunya yang berusia tiga tahun. Si cucu berontak. Kaki-kaki kecilnya ingin merangkak. Meski kewalahan, Maksum tak mau melepaskan cucunya itu dari dekapan. 

Rumah Maksum ada di Kampung Apung, Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Luasnya sekitar setengah lapangan bulutangkis. Di bawah rumah yang ditopang pondasi kayu itu, ada air sedalam tiga meter mengepung dari semua penjuru. 

Maksum pernah trauma melihat genangan air itu. Sepuluh tahun lalu, anak bungsunya pernah jatuh, tenggelam, dan mati. Ketika itu, usia si bungsu baru empat tahun, setahun lebih tua dari cucu yang tengah ia asuh. 

"Kalau dia (anak bungsu Maksum) masih ada, mungkin sekarang dia sudah SMP kelas satu atau kelas dua," tutur Maksum saat berbincang dengan Alinea.id di kediamannya, Kamis (12/8). 

Maksum menetap di Kampung Apung sejak awal dekade 1980-an. Tak lama setelah peristiwa kematian anak bungsunya, Maksum sempat merantau ke Magelang, Jawa Tengah. Di sana, ia sempat menyambung nyawa dengan berjualan kue pukis. "Gara-gara dia enggak ada (meninggal), saya drop kalau lihat ke bawah (air)," imbuh dia. 

Pada mulanya, kampung itu bernama Kampung Teko. Menurut Maksum, kampungnya identik dengan nama Kampung Apung setelah air mulai menggenangi rumah-rumah warga secara permanen sejak pertengahan 1980-an. 

Maksum menyalahkan perkembangan kawasan industri di Kapuk sebagai biang kerok tenggelamnya rumah-rumah warga di Kampung Apung. Menurut dia, ada banyak perusahaan di Kapuk yang membangun pabrik dengan meninggikan permukaan tanah. 

"Karena industri banyak melakukan pembangunan dan pengerukan, jadi airnya lari ke tempat kami. Dulu, daerah sini pemakaman umum, sekarang air semua. Abis industri dan daerah sekitar naikin tanah, airnya jadi ke sini dan enggak terkendali," kata Maksum. 

Alih-alih surut, ketinggian air terus naik seiring waktu. Maksum dan warga kampung pun harus berulangkali merenovasi rumah agar tak terendam air. Rumah dibikin lebih tinggi tiga sampai lima meter dari posisi awal. "Teras sama lantai yang sekarang ini, dulunya itu atap rumah saya," ungkap dia.

Hidup di Kampung Apung, kata Maksum, tak pernah mudah. Setiap kali hujan deras tiba, air hampir pasti menyerbu ke dalam rumah warga. Aliran listrik mati dan warga pun dipastikan bakal kesulitan air bersih. 

Persoalan lainnya, semisal padatnya jumlah warga hingga sanitasi yang buruk. Pada saat-saat tertentu, Kampung Apung pun kerap jadi sarang ular. "Semua udah saya lalui. Sekarang sih sudah biasa," kata pria kelahiran Unggahan, Jawa Tengah itu. 

Setelah puluhan tahun didera beragam kesulitan, Maksum mengaku kini legawa. Ia bahkan merasa bakal menghabiskan sisa hidupnya di rumah itu. "Orang tua yang seusia saya, ya, sudah pada mati. Saya juga bakal di sini," kata Maksum. 

Suasana tambak ikan milik warga di Kampung Apung, Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (11/8). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Katong, 62 tahun, mengamini cerita Maksum. Tinggal tak jauh dari rumah Maksum, Katong menuturkan harus merenovasi rumah secara berkala. Supaya bisa tetap "mengapung", rumah Katong setidaknya dibikin lebih tinggi satu meter per tahun.

"Rumah juga saya bikin bertingkat, kalau enggak gitu bisa tenggelam rumah saya. Ya, entah kayu yang keropos, ninggiin rumah, atau nambel tembok yang bocor," kata Katong kepada Alinea.id

Sengsara warga kampung, kata Katong, berlipat ganda saat musim penghujan tiba. Banjir menenggelamkan rumah warga hingga aktivitas ekonomi terhenti. "Motor enggak bisa lewat karena (tinggi air) bisa sepinggang kalau hujan," kata Katong. 

Katong sebenarnya punya niat untuk hengkang dari Kampung Apung. Ia khawatir rumahnya bakal benar-benar terendam air dalam sepuluh hingga lima belas tahun ke depan. Namun, saat ini ia tak punya duit untuk mengongkosi biaya pindah ke tempat lain. 

"Sekarang saja sudah banyak rumah yang udah enggak bisa diapa-apain. Dari awalnya, rumah-rumah itu emang di tempat rendah. Kalau rumah saya, agak tinggian. Ya, semoga aja anak-anak saya sama saudara-saudara masih bisa tinggal di sini seterusnya," kata dia. 

Ditemui di tepi salah satu tambak warga, Asmat, 60 tahun, mengatakan kebanyakan warga tetap bertahan di Kampung Apung lantaran tak punya pilihan lain. Mayoritas warga kampung tergolong miskin sehingga sulit untuk bermimpi pindah ke luar kampung. 

Lahir dan besar di Kampung Apung, Asmat hingga kini tak punya pekerjaan tetap. Rumahnya berada di tengah-tengah Kampung Apung yang padat penduduk. "Saya tinggal di rumah warisan bapak saya. Sumpek kalau di dalam. Jadi, saya kadang sore sampai Magrib suka ke sini (tambak). Nyantai," kata Asmat. 

Menurut Asmat, kehidupan warga kampung semakin suram sejak awal 1990-an. Selain rumah yang kian keropos, barang-barang berharga pun kerap turut rusak karena diserbu air yang kerap tiba-tiba datang. "Ya, motor. Ya, rumah. Banyak dah," kata dia. 

Seperti kebanyakan warga, Asmat pun mengaku sudah berdamai dengan kehidupan yang serba sulit itu. "Seiring waktu, saya terbiasa hidup sama air. Sampai saat ini, alhamdulillah, masih bisa hidup biarpun kudu ninggiin rumah beberapa kali," kata dia. 
Suasana permukiman warga di Kampung Apung, Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (12/8). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Ditelantarkan pemilik rumah 

Ancaman serupa juga menghantui warga Dadap, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten. Di kawasan pesisir utara Tangerang yang berbatasan dengan Jakarta Barat itu, ada puluhan rumah yang mulai tenggelam karena tergenang air laut. Sebagian rumah bahkan hanya tinggal terdiri dari tembok dan tiang penyangga. 

Saman, warga RT 01/RW 02 Dadap, menuturkan banjir rob semakin rutin menyerbu Dadap sejak 2005. Saat ditemui Alinea.id, Jumat (13/8) petang, Saman sedang mengepel lantai di rumahnya yang berjarak hanya sekitar 400 meter dari bibir pantai. 

"Tiba-tiba semalam air pasang, terus masuk (ke dalam rumah). Jadi, biarpun banjir rob sudah surut, air di sini masih menggenang. Soalnya, ini daerah (permukaan) rendah," tutur pria yang sudah tinggal di Dadap sejak 1995 itu. 

Menurut Saman, sudah banyak tetangganya yang kehilangan tempat tinggal lantaran diterjang banjir rob. Warga yang masih bertahan harus meninggikan dasar rumah supaya rumah mereka tak terendam genanan air sisa rob. 

"Saya saja udah tiga kali nguruk rumah biar air enggak masuk. Awalnya, jarak atap sama lantai itu ada sekitar empat meter. Sekarang, jaraknya paling tinggal dua meter. Kita bahkan harus nunduk kalau masuk," kata pria asal Sukabumi, Jawa Barat, itu. 

Menurut Saman, kedatangan rob belakangan tidak bisa diprediksi. Jika sudah menyerbu masuk, rob bisa menggenangi lingkungan Kampung Dadap hingga sepinggang orang dewasa. Akses masuk kampung pun tertutup. "Kalau pasang, motor enggak bisa lewat. Yang lewat itu sampan," ujar Saman. 

Saman sebenarnya khawatir rumahnya bakal bernasib serupa dengan rumah tetangga-tetangganya. Ia meyakini suatu saat Dadap bakal berada di bawah air laut. Namun, ia tak punya pilihan lain. "Bingung juga mau pindah ke mana. Tanah sekarang kan mahal," kata pria yang sehari-hari berjualan air minum isi ulang itu. 

Rumah warga di Kampung Dadap, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, digenangi air sisa banjir rob, Jumat (13/8). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Selain kerangka rumah, Kampung Dadap saat ini juga dipenuhi dengan rumah bedeng dari bahan triplek. Menurut salah satu warga Kampung Dadap, Sumarno, rumah-rumah "darurat" itu didirikan warga yang rumahnya ambruk diterjang rob atau tenggelam karena genangan air yang tak kunjung surut.

"Rumah kalau lama-lama kerendam air laut, ya, rusak. Dulu itu bulan Desember sama Januari sering ada rob. Kalau sekarang mah, kapan aja bisa banjir," kata pria berusia 50 tahun itu kepada Alinea.id

Seperti Saman, Sumarno juga tinggal di kawasan yang paling rawan diterjang rob. Ia mengaku sudah lima kali meninggikan pondasi rumah supaya perabotannya tidak terendam saat rob datang. "Lima kali ganti keramik," ucap pengepul rajungan itu. 

Jika laut sedang "mengamuk", menurut Sumarno, Dadap bisa tenggelam hingga setinggi dada orang dewasa. Durasi banjir bahkan bisa sepekan. Selama itu, hanya sampan yang bisa lalu lalang di antara rumah warga. Motor dan mobil tidak bisa melintas. "Jadi, kalau rob, motor kelem (terendam)," kata dia. 

Sumarno menetap di Kampung Dadap sejak 1985. Ia merantau dari Indramayu, Jawa Barat. Meskipun kumuh dan langganan banjir, Dadap merupakan tempat yang spesial baginya dan keluarga. Ia bahkan berniat tetap tinggal di kampung itu hingga benar-benar ditenggelamkan lautan. 

"Ini tempat saya nyari duit. Saya bukannya tidak mampu beli rumah, tapi saya cari makan di sini. Jadi, saya memilih bertahan. Ya, andai nanti daerah ini tenggelam, ya, memang sudah (takdir) dari Yang (Maha) Kuasa," kata Sumarno. 

Kerangka rumah yang ditinggalkan pemiliknya di Kampung Dadap, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (12/8). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Memperlambat Jakarta tenggelam

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi, mengatakan "ramalan" Jakarta bakal tenggelam bukan hanya isapan jempol. Menurut dia, semua fakta ekologi mengarah kepada kesimpulan itu. 

"Fakta-fakta ini sudah ditunjukkan lebih dari satu dekade lalu. Penurunan (amblesnya) permukaan tanah sejak lama menjadi persoalan yang paling disoroti, penyebabnya adalah ekstraksi air tanah secara besar-besaran," kata Bagus kepada Alinea.id, Kamis (12/8).

Menurut analisis Climate Central, lembaga nonprofit yang fokus pada isu perubahan iklim, sebagian wilayah Jakarta diproyeksikan bakal tenggelam pada 2030. Dalam peta yang ditampilkan di laman coastal.climatecentral.org, air laut bahkan diprediksi merangsek hingga ke Bundaran Hotel Indonesia di kawasan Jakarta Pusat.

Supaya prediksi itu "meleset", Bagus menyarankan sejumlah solusi. Pertama, pemerintah membatasi atau melarang pengambilan air tanah, khususnya untuk kepentingan bisnis. Sedangkan untuk menahan laju kenaikan permukaan air laut, Bagus berharap pemerintah serius menurunkan emisi karbon nasional yang berpengaruh terhadap naiknya suhu bumi. 

Adapun terkait pemukiman penduduk yang kadung tenggelam dan terdampak rob, Bagus meminta pemerintah segera mencari solusi dengan melibatkan masyarakat setempat dan para ahli. "Karena ini menyangkut masa depan masyarakat, maka penting bagi pemerintah untuk melibatkan penuh masyarakat di pesisir utara Jakarta," kata Bagus. 

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan daerah di pesisir utara Jakarta sudah tidak layak dijadikan permukiman warga. Menurut dia, kebanyakan daerah permukiman di kawasan itu berada di bawah permukaan laut dan terus turun permukaan tanahnya di kisaran 6-24 centimeter per tahun.

"Dengan penyedotan air tanah, beban infrastruktur jalan atau lalu lintas kendaraan berat dan gedung, serta kenaikan air laut secara perlahan, tapi pasti sekitar dua sampai empat centimeter per tahun, maka kawasan pesisir sudah pasti akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. Bisa sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun," ujar Nirwono kepada Alinea.id, Kamis (12/8). 

Nirwono menyebut ada beberapa cara untuk mengatasi banjir rob di sekitar pesisir Jakarta. Pertama, warga di pesisir direlokasi ke rusun terdekat. Setelah direlokasi, permukiman warga kemudian dihijaukan sebagai hutan mangrove dan terbebas dari bangunan apa pun. 

"Sebagai benteng alami kawasan pesisir pantai, untuk meredam rob, abrasi pantai, tsunami. Idealnya lima ratus meter dari tepi pantai ke daratan dijadikan RTH (ruang terbuka hijau) hutan pantai atau mangrove," ujar Nirwono.

Nirwono melihat cara itu paling realistis dilakukan untuk memperlambat prediksi Jakarta tenggelam sekaligus menyelamatkan warga dari dampak naiknya permukaan air laut. "Itu lebih manusiawi, berpikir jangka panjang, berkelanjutan, dan ramah lingkungan," ucap dia. 
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan