Cerita mereka yang direpresi di BRIN: Dari teguran hingga pemotongan tukin
Keputusan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Nomor 76/HK/2022 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan BRIN kian terasa represif. Sumber Alinea.id di lingkungan BRIN mengungkap banyak peneliti kritis yang "tiarap" lantaran peraturan tersebut mulai aktif diberlakukan.
"Sebab, keputusan itu sekarang sudah menjadi alat atau cara pejabat BRIN untuk membungkam periset agar tidak membicarakan masalah internal ke luar. Padahal, peneliti kan harusnya kritis," kata salah sumber Alinea.id saat dihubungi, Senin (13/3).
Awal Maret lalu, sejumlah peneliti muda BRIN dipanggil dan dimintai keterangan oleh para pejabat BRIN. Mereka dianggap melanggar kode etik karena unggahan mereka di media sosial. Kasus itu heboh lantaran surat pemanggilan yang ditandatangani salah satu pejabat sumber daya manusia BRIN beredar di internal peneliti.
"Kami diberi tahu jangan sampai memberitakan masalah internal. Dampaknya memang sudah ada yang dapat teguran karena menyampaikan sesuatu yang mungkin dianggap hoaks. Tapi, ukuran hoaks itu sangat subjektif sekali," ucap sumber Alinea.id.
Sumber Alinea.id bercerita ia pun pernah mendapat teguran lisan dari orang yang dekat dengan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko (LTH). Teguran itu datang tak lama setelah ia menulis opini di sebuah media massa mengkritisi tata kelola BRIN di bawah LTH.
"Tapi, karena saya memang aktif di beberapa asosiasi ilmuwan dan terlihat sering berdebat dengan Pak Handoko, mereka enggak berani lebih jauh dan hanya menegur lisan," kata sang sumber.
Menurut sumber Alinea.id, ia tak disanksi tegas lantaran tergolong peneliti senior di BRIN. Padahal, opini yang ia tulis tergolong cukup keras. "Kalau saya enggak banyak yang kenal, bisa dipersulit juga dan disanksi kedisiplinan," ucapnya.
Lebih jauh, ia berpendapat Keputusan Kepala BRIN No.76/HK/2022 tak tepat diberlakukan bagi para periset BRIN. Menurut dia, keputusan itu hanya cocok diterapkan kepada para pegawai BRIN yang berstatus sebagai PNS nonpeneliti.
"Padahal, semuanya sudah punya etika. Mungkin kalau yang PNS itu etika-etika umum. Ya, istilahnya kaitannya tidak kritis dan sebagainya. Itu mungkin nonpeneliti. Kalau peneliti, kan memang harus bebas dan akademis," kata lulusan salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur tersebut.
Sumber Alinea.id bercerita banyak rekannya yang memendam amarah kepada Kepala BRIN. Meskipun tak setuju dengan situasi di BRIN, mereka tak bisa bicara lantaran terganjal aturan. Apalagi, pelanggaran terhadap kode etik berdampak pada tunjangan mereka sebagai peneliti BRIN.
"Selama kepemimpinan LTH ini, saya lihat, antara yang pro dan kontra, ini lebih banyak yang kontra. Semua keluhan dan semua kaitannya dengan hal yang dirasakan sebagai beban oleh peneliti itu, bukan bagaimana dicarikan solusi, tapi langsung dibungkam dengan sanksi dan segala macam," ujar dia.
Seorang peneliti BRIN lainnya--juga merahasiakan identitasnya--bercerita represi terhadap kalangan peneliti juga dirasakan lewat pemotongan tunjangan kinerja (tukin). Ia mengungkap ada sejumlah peneliti yang telah dipotong tukinnya lantaran dianggap tak memenuhi target kerja minimum.
"Sejak awal, tidak ada rencana dan acuan kerja yang jelas. Tapi, tiba-tiba di akhir tahun, periset itu dianggap tidak memenuhi keluaran kerja minimal. Padahal, atasannya tidak memberikan agenda kerja sama timnya. Tapi, akhirnya periset ini menerima pemotongan tukin," ucap sumber Alinea.id, Selasa (14/3).
Menurut sumber Alinea.id, penyusunan agenda kerja di pusat-pusat riset (PR) BRIN tergolong berantakan. Pada sejumlah PR, agenda riset bahkan disusun pada pertengahan atau menjelang akhir tahun. Situasi itu membuat para peneliti kelabakan mengejar target kinerja.
"Imbasnya, tukinnya (peneliti) ada yang dipotong sesuai subjektivitas penilaian atasannya. Misalnya, atasannya memberikan nilai 60. Terus, ada yang dipotong 10% dengan dalih kiprahnya di medsos," ucap sumber Alinea.id.
Situasinya tak seragam di semua PR BRIN. Karena tanpa acuan yang jelas, ada juga kepala PR yang memberikan nilai yang tinggi untuk kinerja para peneliti. PR-PR semacam itu, sebut sang sumber, biasanya memiliki hubungan kerja antara atasan dan bawahan yang cukup baik.
"Begitu juga sebaliknya. Jadi, mungkin ada kepala unit yang mempunyai sentimen terhadap golongan tertentu sehingga bisa memberikan nilai yang tidak baik," ucap sumber Alinea.id.
Tak sembarangan
Selain merinci pedoman berperilaku bagi ASN di BRIN, Keputusan Kepala BRIN No.67/HK/2022 juga memandatkan pembentukan Majelis Etik dan Perilaku Pegawai ASN. Berada di bawah komando Kepala BRIN, majelis itu dibentuk dengan tugas memanggil, memeriksa, dan menyidangkan kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan pegawai BRIN.
Dadan Nurjaman, anggota Majelis Kode Etik dan Perilaku Pegawai ASN BRIN membenarkan ada sejumlah periset muda BRIN yang diperiksa karena diduga melanggar Keputusan Kepala BRIN No.76/HK/2022.
"Saya baru menyidangkan sidang pendahuluan. Pada sidang pendahuluan, saya keberatan. Artinya, (menurut saya), belum waktunya (para peneliti muda itu) mendapatkan sanksi disiplin," ujar Dadan kepada Alinea.id, belum lama ini.
Menurut Dadan, para peneliti itu baru sebatas dimintai keterangan. Mereka diperiksa karena unggahan-unggahan kritis di media sosial yang dianggap "merugikan" BRIN. Hingga kini, tidak ada sanksi yang diberikan kepada mereka.
"Apalagi yang melakukannya adalah milenial. Milenial itu terbiasa dengan media sosial. Jadi, ini proses pembinaan biasa. Cukup ditegur saja sama kepala unitnya sebagai proses pembinaan. Enggak perlu sampai pemotongan tukin segala macam," kata Dadan.
Dadan mengaku tak sependapat bila para periset yang terlilit masalah disiplin mesti diseret ke hadapan Majelis Etik BRIN dan dijatuhi sanksi, baik teguran maupun pemotongan tunjangan. Menurut dia, seharusnya persoalan terkait etika diselesaikan di tingkat pusat riset terlebih dahulu sebelum dibawa ke Majelis Etik.
Selain itu, ia merasa Keputusan Kepala BRIN Nomor 76 Tahun 2022 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil belum disosialisasikan ke semua peneliti. Dengan begitu, tidak elok bila peneliti diganjar hukuman pemotongan tukin hanya karena kritis di media sosial.
Perbedaan pendapat itu, kata Dadan, telah ia sampaikan dalam rapat bersama seluruh anggota Majelis Etik dan pimpinan BRIN sekitar tiga pekan lalu. Ia berharap Majelis Etik tidak serampangan memberi sanksi kepada periset.
"Pertama adalah bahwa kami lihat dulu proses sosialisasi dari peraturan itu. Peraturan itu telah sampai kepada pegawai apa belum? Sebuah kebijakan harus memenuhi tiga prinsip. Pertama, partisipatif. Kedua, transparan. Terakhir, akuntabel," ucap Dadan.
Lebih jauh, Dadan meminta para kepala pusat riset aktif membina para pegawai BRIN. Ia berharap pelanggaran-pelanggaran kode etik yang dianggap dilakukan para periset bisa dirampungkan di tataran pusat riset.
"Teguran satu sampai tiga kali. Kalau masih melakukan, baru sanksi disiplin. Itu namanya proses pembinaan. Jadi, memang enggak mudah memberi sanksi. Faktanya harus digali dulu. Jangan ujug-ujug dipanggil terus sidang kode etik terus dipotong tukin. Enggak seperti itu harusnya," kata Dadan.
Menurut Dadan, masing-masing pusat riset dan organisasi riset di BRIN memiliki Majelis Etik yang berbeda. Setiap anggota Majelis Etik juga memiliki prinsip-prinsi berbeda mengenai pelanggaran disiplin yang dilakukan pegawai. Namun, ia menegaskan belum pernah memberikan sanksi apapun kepada peneliti.
"Karena semestinya seperti itu mekanisme pembinaan. Enggak mudah untuk memberikan sanksi itu sebetulnya. Soal hukuman itu harus beres di pusat riset. Ditanya dulu kepala pusatnya apakah sudah melakukan pembinaan atau belum? Kalau kepala pusatnya sebagai penanggung jawab belum melakukan apa-apa, masa diangkat ke majelis etik?" ucap Dadan.
Wujud sikap otoriter?
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS Mulyanto mengecam keras keberadaan Keputusan Kepala BRIN No. 76/HK/2022. Menurut dia, peraturan itu wujud nyata dari sikap otoritarian Kepala BRIN yang justru bisa memperburuk hubungan kerja antara pimpinan BRIN dengan para ilmuwan dan peneliti.
"Apalagi, (aturan itu diberlakukan) di era media sosial seperti sekarang ini. Ujung-ujungnya kegiatan riset dan inovasi nasional bisa terganggu dan ini merugikan masyarakat," kata Mulyanto saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Minggu (19/3).
Mulyanto berpandangan regulasi terkait etika itu sangat bertentangan dengan prinsip dasar dan karakter para peneliti yang kritis. Ketimbang membungkam para peneliti, menurut dia, BRIN semestinya menyediakan saluran aspirasi yang memadai bagi para peneliti.
"Lagi pula aturan ini juga tidak efektif di era medsos yang banyak beredar akun anonim. Sikap kritis para ilmuwan dan peneliti adalah hal yang lumrah. Sejak dulu, para peneliti politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) itu kritis di media terkait perpolitikan tanah air," terang politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Lebih jauh, Mulyanto berpendapat maraknya kritik dari para pegawai BRIN mengindikasikan ada yang tak beres dalam tata kelola kelembagaan BRIN. Alih-alih tutup telinga, ia meminta LTH terbuka mendengarkan saran dan kritik dari para peneliti.
"Daripada melarang para peneliti berpendapat di beberapa media, lebih baik Kepala BRIN membuka ruang dialog kepada seluruh jajaran. Dengar dan simak apa yang menjadi keluhan peneliti selama ini. Bisa jadi apa yang disampaikan terdapat kebaikan yang dapat ditindaklanjuti," ucap Mulyanto.
Mulyanto menilai para peneliti di BRIN kini sedang dalam kondisi serba salah. Di satu sisi, kinerja mereka tidak bisa maksimal lantaran rencana penelitian kerap dibatalkan karena anggaran yang terbatas. Di lain sisi, mereka juga tak bisa sembarangan menyuarakan kegelisahan karena khawatir kena sanksi.
"Hingga sekarang, proses restrukturisasi BRIN juga belum tuntas. Akibatnya, kegiatan penelitian terhambat. Bahkan, ada yang dibatalkan. Secara umum, peneliti lebih silent (diam) ketimbang para guru yang ekspresif. Jadi, kondisi hari ini mencerminkan suasana kebatinan para peneliti yang galau,” ujar Mulyanto.
Alinea.id sudah berupaya mengonfirmasi protes dari kalangan peneliti terhadap Keputusan Kepala BRIN No. 76/HK/2022 kepada Kepala BRIN. Namun, LTH belum merespon permintaan wawancara Alinea.id.