Cerita para peneliti yang disanksi etik dan dipotong tukin di BRIN
Kegamangan tengah menyelimuti para peneliti Pusat di Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Belum lama ini, ratusan peneliti di pusat riset itu kena sanksi dan dipotong tunjangan kinerjanya. Para peneliti dianggap melanggar etika lantaran menggarap riset secara "berjamaah".
Karya tulis ilmiah (KTI) yang dipersoalkan bertajuk “Review: A Chronicle of Indonesia’s Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare.” Riset itu diterbitkan pada Jurnal LAND pada 16 Juni 2023. LAND merupakan jurnal dengan status terindeks global tinggi (Q1).
Ada lebih dari 100 peneliti yang menggarap riset itu. Nama-nama peneliti yang terlibat, semisal Hunggul Yudono Setio Hadi Nugroho, Yonky Indrajaya, Satria Astana, Murniati, Sri Suharti, Tyas Mutiara Basuki, dan Pamungkas Buana Putra. Mayoritas ialah eks peneliti Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK).
Narasumber Alinea.id di BRIN membenarkan pemberian sanksi etik terhadap ratusan peneliti tersebut. Ia termasuk jadi salah satu peneliti yang kena sanksi pemotongan tukin. Padahal, KTI yang terbit di jurnal LAND itu mulanya tak dimaksudkan para peneliti untuk mengejar angka kredit kinerja di BRIN.
"Tujuan kami untuk kenangan terakhir dengan membuat formulasi pengelolaan hutan yang lestari untuk kesejahteraan masyarakat hutan. Sama sekali bukan untuk BRIN," ucap sang narasumber saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (27/1).
Menurut dia, Dewan Etik BRIN mempersoalkan ramainya peneliti yang terlibat dalam KTI itu. Dugaan ada peneliti yang sekadar numpang nama pun dimunculkan. Dugaan itu, kata narasumber Alinea.id, tak beralasan lantaran sudah ada review mengenai tanggung jawab masing-masing periset dalam KTI itu dari pengelola jurnal LAND.
"Peran masing-masing peneliti diuji. Lagi pula, telah banyak jurnal yang ditulis dengan banyak peneliti. Ada yang sampai lebih dari lima ratus orang dan ada yang seribu orang. Jadi, sebenarnya tidak ada masalah. Pihak redaksi jurnal bereputasi itu menyatakan tidak ada masalah. Tetapi, kenapa BRIN mempermasalahkan?" kata dia.
Sikap manajemen BRIN yang langsung mengeluarkan sanksi etik dan memangkas tukin terkesan arogan. Pasalnya, tidak ada teguran lisan dan tertulis yang dikeluarkan sebelum putusan tersebut. Apalagi, Dewan Etik juga menuntut para peneliti meminta maaf dan mencabut artikel tersebut dari jurnal LAND.
Menurut narasumber Alinea.id, semua periset yang terlibat dalam KTI itu sedang berusaha keras menolak pencabutan artikel yang telah dipublikasikan. Ia menyebut terbitnya KTI di jurnal ternama sebagai "benteng terakhir" integritas para peneliti.
"Saya tidak rela menarik kembali jurnal yang telah dipublikasi hanya karena arogansi dan alasan yang didasari sentimen. Lagi pula bisa bahaya bila jurnal itu ditarik sebab memperburuk reputasi peneliti dan penelitian kami sudah dirujuk orang. Saya tidak akan menuruti itu," ujar sang sumber.
Polemik sanksi etik terhadap para peneliti itu mulanya diungkap Subarudi, seorang peneliti bidang sosiologi kehutanan di BRIN. Menurut dia, beberapa penulis KTI itu mendapat sanksi setelah menghadiri seminar daring (webinar) dengan para pemimpin instansi masing-masing pada 8 Januari 2024.
"Para penulis tersebut dikenakan sanksi penurunan nilai perilaku dalam penilaian sasaran kinerja pegawai (SKP) dengan konsekuensi terkena pemotongan tunjangan kinerja (tukin) antara 10%-20% selama satu tahun," kata Subarudi dalam sebuah tulisan yang tayang di Alinea.id.
Subarudi termasuk salah satu peneliti yang terlibat dalam riset tersebut. Tak hanya dipangkas tukin, menurut Subarudi, para peneliti yang menggarap KTI itu juga diminta Dewan Etik BRIN untuk menulis permintaan maaf secara terbuka dan mencabut artikel yang sudah terbit di jurnal LAND. Subarudi juga menolak permintaan itu.
"Mereka tidak mengerti dan paham betul bahwa menulis KTI dengan jumlah penulis banyak itu, lebih baik mutunya daripada KTI yang ditulis 3-5 penulis. Ini karena KTI ditulis oleh banyak penulis menggunakan pendekatan multidisiplin ilmu," kata dia.
Potensial berbuntut panjang
Periset lainnya yang juga terkena sanksi etik membenarkan “Review: A Chronicle of Indonesia’s Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare" merupakan kajian multidisiplin. Dalam risetnya, para peneliti menggabungkan aspek sejarah pengelolaan, kebijakan, implementasi, dinamika terkait mitigasi-adaptasi dan masalah-masalah perhutanan sosial.
"Kami membayar publikasi bukan dengan anggaran BRIN. Jatuhnya sanksi tentu saja menjadi tidak tepat karena subjek yang dianggap melanggar etik tidak ada. Publikasi itu murni milik kami dan dunia, tanpa mempergunakannya untuk mendongkrak prestasi kerja," ujar pria yang tak mau mengungkap namanya tersebut kepada Alinea.id.
Ia mengaku tak paham kenapa Dewan Etik BRIN dan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menjatuhkan sanksi kepada mereka. Tidak ada penjelasan rinci dari Dewan Etik dan kepala organisasi riset di BRIN. Selain itu, tak semua penulis riset diberikan hak untuk mengklarifikasi dugaan pelanggaran tersebut.
Seperti Subarudi, ia menolak memenuhi tuntutan untuk menarik riset mereka dari jurnal LAND. Ia juga berharap pengelola jurnal LAND tak menuruti permintaan BRIN untuk menarik hasil riset yang kini sudah disitasi puluhan peneliti lain itu.
"Banyak konsekuensi yang harus kami terima jika paper ditarik dari jurnal. Pertanyaan besar akan dilayangkan oleh publisher. Paper lain yang mensitasi pun akan terdampak karena sitasi tidak dapat ditelusuri, dan boleh jadi nama-nama penulis akan di-blacklist dari jurnal," jelas dia.
Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) sekaligus penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (Kika) Herlambang Perdana Wiratraman menilai tak tepat jika sanksi etik dikeluarkan BRIN hanya karena sebuah riset digarap secara kolektif. Menurut dia, sudah lumrah bagi jurnal-jurnal internasional menerbitkan artikel ilmiah yang ditulis oleh banyak periset.
"Yang menjadi masalah bila ada fabrikasi, plagiarisme, joki artikel (ghost author), terbit di jurnal fake, predatory atau discontinued, dan berbayar secara tak wajar," ucap Herlambang kepada Alinea.id, Sabtu (27/1).
Herlambang sendiri sudah beberapa kali menggarap riset kolaboratif dengan sejumlah koleganya. Seperti yang digarap peneliti BRIN yang terkena sanksi etik itu, sejumlah kajian Herlambang juga menggunakan pendekatan multidisiplin.
"Kebetulan saya sedang menulis bersama sebelas akademisi. Sudah accepted, sebentar lagi terbit dan yang nerbitkan tak menyoal jumlah (penulis). Hal biasa kalau memang itu kerja kolektif," ucap Herlambang.