close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kejaksaan Agung. Dok. Kejaksaan Agung.
icon caption
Kejaksaan Agung. Dok. Kejaksaan Agung.
Nasional
Selasa, 27 Desember 2022 16:00

Coreng kasus Paniai di wajah Kejaksaan

Berbagai kasus mega korupsi berhasil diungkap Kejaksaan, namun kegagalan terjadi saat pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat.
swipe

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JA Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil menuntaskan sejumlah kasus mega korupsi. Sebut saja korupsi Asabri, Jiwasraya, Garuda Indonesia, hingga kasus Pembelian gas bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan (Sumsel) periode 2010-2019.

Pada kasus Asabri, vonis 12 tahun penjara dijatuhkan terhadap Presiden Direktur PT Rimo International Lestari Teddy Tjokrosapoetro, Mayjen TNI (Purn) Adam Rahmat Damiri dijatuhkan 15 tahun penjara, Hari Setianto yang menjabat Direktur Investasi dan Keuangan Asabri 2014-2019 divonis 12 tahun penjara, dan Sonny Widjaja dijatuhkan 18 tahun. Sementara, Benny Tjokrosaputro tidak dijatuhkan vonis seperti yang lainnya, karena sudah divonis pada kasus Jiwasraya.

Dalam vonis Jiwasraya Benny dijatuhkan pidana seumur hidup dan membuat hakim pada kasus Asabri tidak menjatuhkan vonis lagi. Vonis serupa juga diberikan kepada terdakwa Jiwasraya lainnya seperti Joko Hartono Tirto, Hary Prasetyo, Syahwirman dan Heru Hidayat.

Sementara, pada terdakwa lainnya juga telah dijatuhkan vonis seperti tuntutan dari JPU, yakni Hendrisman Rahim dengan 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu, pada kasus Garuda Indonesia para terdakwa juga telah menerima vonis pidana selama empat tahun. Ketiga terdakwa, yaitu VP Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2005-2012 Albert Burhan, VP Strategic Management Office Garuda Indonesia 2011-2012 Setijo Awibowo, dan Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014 Agus Wahjudo.

Atas putusan Majelis Hakim tersebut, masing-masing terdakwa dan JPU menyatakan pikir-pikir. Tercatat, putusan hakim ternyata lebih rendah ketimbang tuntutan JPU, yaitu 5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Pada kasus PDPDE Sumsel, Alex Noerdin dan Muddai Madang divonis 12 tahun penjara, terdakwa Caca Isa Saleh Sadikin dan A Yaniarsyah Hasan yang divonis 11 tahun penjara. Atas hal ini, JPU Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan mengajukan banding atas vonis tersebut.

Atas banding itu, Pengadilan Tinggi Palembang memotong hukuman pidana penjara mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin menjadi sembilan tahun. Selain Alex, pihak PN Palembang pun menerima salinan putusan banding tiga terdakwa dalam kasus yang sama yakni Muddai Madang, A Yaniarsyah, dan Caca Isa Saleh yang merupakan para petinggi PDPDE.

Serupa Alex, banding Muddai Madang pun diterima. Mantan Wakil Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (KOI) mendapat korting hukuman dari 12 menjadi 11 tahun pidana penjara.

Sementara terdakwa Caca Isa Saleh dan A Yaniarsah Hasan, mendapatkan putusan banding dari Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Palembang dengan menjatuhkan pidana kepada masing-masing terdakwa selama 11 tahun penjara.

Kasus-kasus itu menunjukan betapa penyidik Gedung Bundar Kejagung sangat berprestasi mengungkap korupsi yang merugikan negara dan perekonomian negara. Namun, semua itu tak sebanding dengan proses penuntasan kasus pelanggaran HAM berat atas peristiwa Paniai.

Kejagung masih memiliki nilai merah dalam rapornya tahun ini. Pengungkapan pelanggaran HAM berat pada peristiwa Paniai menjadi yang paling mencoreng di ujung tahun ini. 

Kilas balik kasus peristiwa Paniai

Kasus pelanggaran HAM di Paniai pada 8 Desember 2014 menewaskan empat orang dan 10 lainnya mengalami luka. Mayor Inf (Purn) Isak Sattu menjadi satu-satunya orang yang harus mempertanggungjawabkan peristiwa itu di hadapan hukum.

Tahun lalu, Komisi Nasional (Komnas) HAM telah memberikan banyak nama yang dapat diselidiki bagi para jaksa untuk membongkar kasus ini. Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, saat itu mengaku pihaknya tidak dapat meneruskan ke ranah pidana, karena bukan dalam kapasitas komisinya.

"Yang jelas kami sudah rekomendasikan banyak nama untuk bisa ditanyai lebih lanjut oleh penyidik. Makanya dari awal kami selalu sampaikan, penyidik itu punya kewenangan lebih besar dan lebih kuat untuk menanyai siapa saja. Kalau penyelidik itu kan terbatas," katanya, Kamis (6/12).

Awal tahun ini, penyidikan dimulai dengan serangkaian pemeriksaan saksi terhadap aparat, baik TNI, Polri, maupun Sipil. Erryl sendiri mengaku pemeriksaan dilakukan secara tertutup karena takut ada gangguan, namun JAM Pidsus Kejagung Febrie Adriansyah memastikan pemeriksaan para saksi tidak memiliki hambatan.

Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P Wiratraman sempat mengingatkan penyidik soal tanggung jawab komando. Seakan tidak digubris, jaksa tetap mengajukan nama Isak Sattu sebagai tersangka, kendati Isak hanya perwira penghubung yang memiliki tanggung jawab sebatas pengawasan dan bukan pengambil keputusan dalam satuan yang diawasinya.

Menjelang penetapan tersangka, pihak Kejaksaan juga masih bersikeras untuk meneruskan perkara ini seorang diri. Mereka tidak ingin melibatkan penyidik ad hoc, yang dapat fokus menangani perkara ini.

Hingga kemudian, seorang tersangka lahir, yakni Isak Sattu. Berbagai sangkaan diberikan kepada Isak, namun jaksa tidak ingin menerapkan penahanan badan terhadap Isak, dengan alasan kooperatif.

"Saya rasa belum (perlu melibatkan penyidik ad hoc). Ini kan masih berjalan juga. Sampai saat ini anak-anak (penyidik) juga nggak ada kesulitanlah ya, masih lancarlah. Kan itu nanti juga terbuka," kata Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, Rabu (30/3) malam.

Suara para aktivis 

Suara-suara yang dianggap bising kemudian bermunculan, mulai dari Koordinator Jaringan Damai Papua Adriana Elisabeth memandang, para jaksa masih enggan bertindak banyak karena latar belakang TNI yang ada pada Isak. Meski dianggap kurang optimal, tapi secara tidak langsung, pemerintah telah mengaku, peristiwa pelanggaran HAM berat di Paniai pada 7-8 Desember 2014 memang nyata adanya.

"Ini masih menunjukkan bahwa pemerintah itu terlalu hati-hati. Bagaimana pun itu (tersangka) kan dari institusi negara, karena TNI beda dengan polisi. Jadi ada kesan kehati-hatian yang sangat luar biasa. Ini secara bertahap dulu disampaikan," ujar Adriana saat dihubungi, Sabtu (2/4).

Sementara, Anggota DPR Papua asal Paniai Nason Utty meyakini, tersangka yang harus diproses hukum dalam kasus tersebut bukan hanya Isak melainkan beberapa lagi aktor yang bertanggung jawab langsung dengan kejadian. Nason mengaku sangat paham dan memiliki sumber data yang cukup karena dia terlibat langsung di lokasi dua hari setelah kejadian.

"Bahwa ini adalah langkah baik dari Kejaksaan untuk menetapkan tersangka itu baik saja karena mungkin permulaan. Tetapi saya sangat yakin pelaku Paniai berdarah bukan hanya satu orang tapi banyak dan ini harus dibuka semua," kata Anggota DPR Papua asal Paniai Nason Utty dalam keterangan yang diterima, Minggu (10/4).

Direktur Perkumpulan Advokat Pengacara HAM (Paham) Papua Gustaf Kawer pun turut pesimistis kasus dugaan pelanggaran HAM berat pada Peristiwa Paniai 2014 bisa diusut tuntas. Karena hanya ada satu pelaku yang diseret ke pengadilan, Gustaf memprediksi majelis hakim akan memutus bebas.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid memandang, penanganan perkara ini bukanlah hal serius di mata jaksa. Kasus yang bernilai pidana di atas lima tahun, namun tidak menahan terdakwa dengan anggapan yang bersangkutan telah kooperatif dan tetap dalam pengawasan.

Sejalan, Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 menilai Kejaksaan Agung telah mengaburkan konstruksi hukum kejahatan. Apalagi, dengan hanya menyasar Isak seorang, sebagai pihak yang bertanggung jawab.

Padahal, penyelidikan Komnas HAM sendiri telah membagi para terduga pelaku empat beberapa kategori, yaitu pelaku lapangan, komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, dan pelaku pembiaran. Oleh karena itu, Koalisi menilai seharusnya surat dakwaan tidak hanya menyasar pada Isak saja, tapi juga atasannya yang diduga tidak mencegah atau menghentikan dan menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib.

Kejagung sendiri berupaya untuk memburu tersangka lain yang akan dibawa ke Makassar. Sayangnya, hingga persidangan berakhir, keinginan ini hanya sebatas cita-cita yang tidak terwujudkan.

Sidang yang hanya seperti formalitas

Pertengahan tahun 2022, Mahkamah Agung (MA) membuka seleksi penerimaan tiga hakim ad hoc. Berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari lima orang. Dua di antaranya adalah hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan.

Dalam perkara Paniai, keduanya berasal dari Pengadilan Negeri Makassar. Sementara, tiga lainnya adalah hakim ad hoc. 

Jadwal sidang sempat tertunda karena layangan vokasi ini, apalagi ada 145 pendaftar sebagai calon hakim ad hoc, hingga pada awal bulan Juli diketahui jumlah itu menjadi 188 orang. Meski tidak dijabarkan secara detail, Sobandi menyebut, para peserta berlatar belakang advokat, akademisi, aparatur sipil negara (ASN), TNI, karyawan swasta, pejabat publik, mantan hakim ad hoc tindak pidana korupsi, dan pensiunan ASN.

Atas hal ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan Tindak Kekerasan (Kontras) menilai 33 calon hakim ad hoc yang diseleksi masih jauh dari kompetensi yang wajib dimiliki. Setidaknya, 31 orang diberi nilai merah, sisanya diberikan nilai kuning dan hijau.

"Proses wawancara menunjukkan lemahnya sebagian besar calon hakim dalam memaparkan penggunaan unsur-unsur pelanggaran HAM berat sebagai sarana pembuktian sebagaimana diatur dalam UU tentang Pengadilan HAM," kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Tioria Pretty Stephanie di Jakarta, Kamis (21/7).

Singkat cerita, pengadilan dimulai, pada 21 September 2022, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan dakwaan telah disusun secara rapi, sistematis, dan sesuai. Isak dengan Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan huruf b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dalam hal ini, Isak selaku komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dinilai mengetahui pasukannya melakukan pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran itu berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, melakukan serangan yang meluas atau sistematik. 

Adapun bentuk serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan. Lebih lanjut, JPU menilai, Isak tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut.

Mendengar dakwaannya, Isak enggan mengajukan eksepsi atau nota keberatan yang menyinggung locus dan tempo (lokasi dan waktu). Perwakilan kuasa hukum Isak Sattu, Syahrir Cakkari mengatakan, dakwaan itu tidak memiliki hubungan antara kematian korban dan tindakan kliennya. Baik klien maupun penasehat hukum, meyakini kubunya bebas dari segala tuntutan.

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin menilai Pengadilan HAM berat Paniai yang bergulir di Pengadilan HAM pada PN Makassar kurang greget. Majelis hakim perlu bekerja lebih keras demi menggali kebenaran materiil dari Peristiwa Paniai di Papua yang terjadi pada 2014.

Amiruddin juga menyebut, jaksa telah menghadirkan saksi yang tidak relevan dengan peristiwa. Selain itu, kehadiran alat bukti yang kuat juga diperlukan, sayangnya hal itu tidak dilakukan.

Vonis bebas, kekeliruan atau perlindungan bagi sang dalang?

Hakim ad hoc dalam perkara dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada Peristiwa Paniai, Siti Noor Laila, menyebut sejumlah saksi dari unsur TNI dan Polri menutupi fakta sebenarnya selama persidangan. Majelis hakim menduga hal itu dilakukan untuk menghindari ancaman pidana.

Sementara, Hakim ad hoc Robert Pasaribu menilai, ada pihak lain di luar terdakwa tunggal Mayor Inf (Purn) Isak Sattu yang layak untuk dimintai pertanggungjawaban. Unsur pertanggungjawaban rantai komando yang dibebankan jaksa terhadap Isak seorang dinyatakan tidak terpenuhi.

Dalam pertimbangan hakim terhadap putusan Isak. Menurutnya, jabatan Isak sebagai Perwira Penghubung (Pabung) Kodim 1705/Paniai tidak serta merta secara de facto menggantikan posisi Kapten Junaid selaku Komandan Rayon Militer (Danramil) 1705-02/Enarotali yang pada 8 Desember 2014 tidak berada di lokasi. 

Hal itu bertolak belakang dengan dakwaan yang disusun JPU dengan memposisikan Isak sebagai pihak yang bertanggung jawab mengendalikan anggota di lapangan. Menurut hakim, JPU harusnya dapat membuktikan bahwa Isak memiliki kewenangan de facto selaku komandan militer atau orang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer.

Atas hal itu, pada 8 Desember 2022, Majelis Hakim Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar menjatuhkan vonis bebas terhadap Isak. Sidang dipimpin dua hakim karir, Sutisna Sawati dan Abdul Rahman Karim, serta tiga hakim ad hoc yaitu Siti Noor Laila, Robert Pasaribu dan Sofi Rahma Dewi.

Meski dibebaskan, sempat terjadi perbedaan pendapat (Dissenting opinion) di antara lima majelis hakim. Dua hakim menyebutkan, jika terdakwa yang saat kejadian 8 Desember 2014 berstatus sebagai Perwira Penghubung (Pabung) Kodim 1705/Paniai sesuai dengan dakwaan kesatu, menyebutkan tidak ada pengendalian secara patut dan telah memenuhi salah satu unsur berupa pembunuhan, dan terjadi pola kekerasan yang sama.

Sedangkan, tiga hakim lainnya mengambil pertimbangan pada unsur komando militer. Sebagai komandan militer dalam dakwaan ke satu sebagaimana yang dipertimbangkan di dalam unsur komandan militer, dan dalam dakwaan kedua unsur komandan militer tidak terpenuhi, karena satu hal yang tidak terpenuhi, maka dakwaannya tidak dapat dilanjutkan.

Putusan itu membuktikan, dakwaan jaksa selama ini dianggap omong kosong belaka dan hanya tumpukan makalah kerja kelompok untuk mendapatkan nilai tambahan. Perjalanan pemeriksaan para saksi juga tertutup, tidak terbuka seperti penanganan kasus korupsi yang sama besarnya.

Lega bagi Isak bisa menghirup udara bebas kembali, namun tega di mata para aktivis dan keluarga korban. Terdakwa seperti wayang yang dianggap tidak terbukti melakukan segala tudingan pelanggaran HAM di Paniai sewindu lalu.

Jaksa dituntut harus menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat ini. Penyidik pun meyakini apa yang menjadi bukti hingga penetapan tersangka Isak kuat di mata hukum. 

Direktur Pelanggaran HAM Berat pada JAM Pidsus Kejagung, Erryl Prima Putera Agoes mengatakan, keluarga korban mengaku sudah menerima situasi yang ada dan tidak berniat untuk membalaskan dendam. Berdasarkan informasi yang didapatkan, para keluarga juga telah menerima santunan atas peristiwa duka ini.

Namun, Erryl memastikan bahwa proses hukum harus tetap menjadi bukti kuat yang memberikan keadilan sesungguhnya. Enggan berhenti sampai di sini, para jaksa tetap mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Semuanya disebut sebagai penuntasan perkara ini.

“Kami sudah mengajukan kasasi. Kini kita tunggu jawabannya saja,” kata Erryl saat ditemui Alinea.id di Gedung Jampidsus, beberapa waktu lalu.

Sah-sah saja bagi para jaksa untuk meneruskan upaya ini pada putaran selanjutnya. Namun, bila tidak kunjung mengubah dakwaan yang diberikan, bagaimana mungkin mengharapkan hasil memenangkan persidangan. 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan