close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi coretan dinding. Alinea.id/Firgie Saputra.
icon caption
Ilustrasi coretan dinding. Alinea.id/Firgie Saputra.
Nasional
Selasa, 31 Agustus 2021 07:02

Coretan di dinding buat resah rezim

Di zaman Orde Baru, geng remaja gemar mencoret tembok-tembok kota.
swipe

Di dalam album Belum Ada Judul yang dirilis pada 1992, salah satu lagu yang dibawakan musikus Iwan Fals bertajuk “Coretan Dinding”. Lagu itu berkisah keresahan pembuat coretan dinding dan pembacanya. Tampaknya, lagu itu menjadi relevan jika melihat penghapusan grafiti dan mural yang bernada sindiran penanganan pandemi di ruang publik beberapa waktu belakangan.

Syahdan, zaman revolusi mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), di samping mural dan poster, grafiti—coretan di ruang publik dalam berbagai bentuk dan warna—menjadi salah satu kampanye menggelorakan semangat kemerdekaan serta menentang kedatangan Belanda dan Sekutu.

Para pemuda menulis di tembok-tembok, trem, dan kereta api dengan coretan pembakar semangat. “Dengan sekejap mata, Kota Jakarta telah berubah rona, dari sebuah kota yang mati menjadi kota yang bernapaskan revolusi,” tulis buku Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950 (1983).

Contoh tulisan-tulisan itu, di antaranya “Indonesia Never again the Life Blood of any Nation”, “Merdeka ataoe Mati”, “Sekali Merdeka tetap Merdeka”, “Freedom is the Glory of any Nation, Indonesia for Indonesians”, “Teroes Berdjoeang”, dan sebagainya. Lambat laun, ketika masa pemerintahan Sukarno, grafiti bertransformasi menjadi kritik terhadap pemerintah.

Kenakalan geng remaja

Saat kekuasaannya mulai rapuh buntut peristiwa berdarah 1965, Sukarno pun pernah kena sindir coretan di dinding. Ia mengungkapkan hal itu kala berpidato dalam perayaan kemerdekaan Indonesia ke-21 pada 17 Agustus 1966.

“Saudara-saudara, saya pernah dihadiahi dengan coretan tembok yang berbunyi, ‘Mercusuar politik no, mercusuar ekonomi yes’,” kata Sukarno. Geram dengan tulisan itu, Sukarno pun menjawab kritik tersebut.

“Wah, wah, wah, hebat bener nih! Tapi saya tanya, siapa bisa dalam abad 20 ini memisahkan ekonomi dari politik, memisahkan politik dan ekonomi, baik nasional maupun internasional?” ujarnya, dikutip dari buku kumpulan pidato Sukarno, Revolusi Belum Selesai (2014) yang disunting Budi Setiyono dan Bonnie Triyana.

Coretan dinding pada masa revolusi fisik./Foto repro buku Album Perjuangan Kemerdekaan 1945 1950 (1983).

Ketika angin kekuasaan berembus ke Soeharto, coretan-coretan bernada dukungan muncul kepada The Smiling General di Ibu Kota. Menurut Kompas edisi 9 April 1966 berjudul “Tjoret-Moret Muntjul Lagi”, umumnya tulisan di tembok-tembok itu berbunyi, “Pak Harto, Rakjat Tetap di Belakangmu” atau “Laksanakan dengan Konsekuen UUD 45”.

“Di Pasar Baru terdapat coretan yang berbunyi ‘Hitam Pak Harto, Hitam Rakjat’,” tulis Kompas.

Tulisan itu terinspirasi pernyataan resmi Korps Komando (KKO) sebelumnya, yakni “KKO putih komando, putih tindakan KKO. Hitam komando, hitam tindakan KKO.”

Lantas, pada 1970-an, coretan dinding berubah menjadi aksi vandal dari sekelompok pemuda yang tergabung dalam sebuah geng. Saat itu, geng remaja bertumbuh di kota-kota besar di Indonesia. Selain ugal-ugalan di jalanan, berkelahi, dan memakai ganja, mereka juga kerap mencoret tembok, yang biasanya menuliskan nama geng masing-masing.

Perilaku yang dianggap menyimpang dari cita-cita pembangunan ini membuat Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin geram. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), sebuah lembaga keamanan internal Orde Baru yang dibentuk Soeharto pada 10 Oktober 1965 pun turun tangan.

Menurut majalah Ekspres edisi 10 Maret 1972 berjudul “Bila Tiada Gang”, pada 1972 Kopkamtib mengeluarkan Instruksi Nomor 001 Tahun 1972 untuk membubarkan geng-geng remaja itu. Tindakan pun diambil cepat.

“Pada 22 Februari 1972, Gubernur Ali Sadikin dan Polda Metro Jaya mengumpulkan 126 pimpinan geng yang tertangkap di depan Wisma Bhayangkara, Jakarta,” tulis Ekspres.

Meski begitu, coretan-coretan di ruang publik tetap saja muncul di tahun-tahun berikutnya. Seorang pengendara bus Jakarta-Bandung bernama Roesli Lahani Yunus mengungkapkan keresahannya saat melihat coretan di ruang publik, sepanjang ia melaju bersama bus antarkota itu.

“Rambu-rambu lalu lintas jalan raya sudah banyak yang dirusak oleh tangan-tangan jahil. Dicoret-moret dengan cat,” tulis Roesli dalam artikel pendeknya “Dari Bandung ke Jakarta: Tangan-tangan Jahil Bermodalkan Cat” di Kompas edisi 26 Oktober 1978.

Ia menuturkan, bukan cuma rambu-rambu lalu lintas. Coretan itu juga terdapat di tembok kilometer, papan-papan reklame, dan batu-batu besar di pinggiran jalan. “Bukan dengan cat satu warna, tetapi beraneka warna,” tulisnya.

Menurutnya, akibat ulah si pencoret, pemerintah yang memasang rambu-rambu lalu lintas dan pemilik perusahaan yang memasang papan reklame menjadi rugi. Ia mengaku tak tahu motif tukang coret-coret itu.

“Yang jelas adalah suatu kesenangan yang iseng, tanpa mengingat dan tanpa terpikir oleh otaknya bahwa itu adalah merusak dan merugikan kepentingan umum,” kata Roesli.

Meski tak menyinggung apa kalimat yang ditulis, Roesli mengatakan, tak ada yang peduli dengan aneka coretan di ruang publik tersebut. Bahkan, tak ada aparat yang menghapusnya.

Dianggap vandal

Beberapa anak muda pada 1970-an mencoret tembok./Foto Ekspres, 25 Januari 1971.

Walau geng anak muda sudah mulai “dihabisi” pada awal 1970-an, nyatanya mereka tetap eksis pada 1980-an. Lagi-lagi, grafiti yang mereka buat di ruang publik jadi masalah. Aparat pun turun tangan.

Pada 4 November 1985, polisi menangkap basah dua remaja yang kedapatan tengah menulis nama geng mereka di dinding sebuah sekolah di Tebet, Jakarta Selatan. Polisi lalu memanggil rekan-rekan mereka.

Menurut laporan Kompas edisi 8 November 1985, berkepala “Remaja Tebet Pelopori Ikrar Tidak akan Mencorat-coret Lagi”, sebanyak 107 remaja berusia belasan tahun di Tebet pada Kamis (7/11/1985) berhasil dikumpulkan aparat di Polsek Tebet.

Di hadapan unsur Tri Pimpinan Daerah (Tripida) dan orang tua, mereka dipaksa berikrar tidak melakukan lagi aktivitas mencoret-coret. Beberapa hari sebelumnya, para remaja itu mengaku sebagai pelaku yang mencoret dinding, papan nama, pagar, dan rambu lalu lintas di sekitar Tebet. Mereka menuliskan nama kelompok atau kata-kata tertentu, seperti TBC, GPC, BBG, dan sebagainya.

Selain ikrar berhenti melakukan coret-coret, pimpinan geng juga secara simbolis membubarkan kelompok mereka. Para remaja itu pun dihukum polisi dengan mewajibkan menghapus hasil karya mereka di sekitar Jalan Tebet Barat Raya.

“Polisi memperingatkan akan mengajukan para remaja itu ke pengadilan bila mereka melakukan corat-coret lagi,” tulis Kompas.

Menurut Rias Fitriana Indriyati dalam buku Politik dan Grafiti, grafiti di masa rezim Orde Baru diduga muncul usai peristiwa penembakan misterius alias petrus yang marak terjadi pada awal 1980-an. Petrus atau Operasi Clurit bertujuan menangani tingkat kejahatan yang tinggi saat itu.

Secara umum, operasi ini berupa penangkapan dan pembunuhan terhada orang-orang yang dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan warga, terutama di Jakarta dan Jawa Tengah.

Namun, Rias tak menjelaskan korelasi antara petrus dan kemunculan grafiti. Ia hanya menulis, lama kelamaan pemerintah Orde Baru menilai grafiti semakin “nakal”, sehingga perlu mengambil tindakan.

“Dengan cara mendoktrin masyarakat akan karya seni versus vandalisme,” tulis Rias.

Infografik Alinea.id/Firgie saputra.

Grafiti lantas diidentikan sebagai kegiatan yang merusak, mengotori, dan mencoret tanpa tujuan yang jelas. Pembandingnya, tulis Rias, adalah konsep karya seni yang estetis, dengan seniman sebagai aktornya dan galeri sebagai media pajangnya.

Menurut Rias, cara itu efektif karena menggiring warga untuk juga ambil peran mengawasi dan menekan perkembangan grafiti. “Orde baru melakukan depolitisasi dalam seni,” kata Rias.

Lebih lanjut, Rias menuturkan, sejumlah pasal tentang ketertiban, tata ruang, atau perusakan fasilitas umum bisa diterapkan. “Tidak jarang penjara jadi muara,” tutur Rias. Segala pelabelan tadi lantaran grafiti vokal menyindir pemerintah.

Di dalam buku Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik (2007) yang disunting Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RM Lauder disebutkan, ada kalanya memang grafiti tak mengandung nilai seni, tetapi ekspresi rasa kecewa, marah, frustasi, dan benci. Pengungkapan perasaan tersebut memberikan kesan vulgar, sehingga dianggap sebagai vandalisme.

Akan tetapi, grafiti tetap eksis walau dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Grafiti yang berisi pengharapan, pengobar semangat, atau kritik sosial membuktikan ia menjadi media komunikasi.

“Ada pesan yang ingin disampaikan dan dikomunikasikan melalui media tembok-tembok jalanan yang menjadi kanvas untuk berkarya,” tulis Rias.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan