close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Iustrasi migrasi penduduk/Foto Antara Didik Suhartono.
icon caption
Iustrasi migrasi penduduk/Foto Antara Didik Suhartono.
Nasional
Selasa, 25 Mei 2021 16:34

Covid-19 ubah kompleksitas perkotaan, kepala daerah dituntut fleksibel

Pandemi Covid-19 dinilai berdampak lebih parah di perkotaan daripada pedesaan.
swipe

Pandemi Covid-19 dinilai berdampak lebih parah di perkotaan daripada pedesaan. Bahkan, banyak isu-isu strategis perkotaan bermunculan akibat pandemi Covid-19, dari isu kontraksi ekonomi, ruralisasi (migrasi dari kota ke desa), lonjakan pengangguran, keparahan kemiskinan, hingga kemunduran sektor ekonomi unggulan di perkotaan.

Ketua Forum Rektor Indonesia Arif Satria menilai, pandemi Covid-19 mempercepat perubahan cara hidup masyarakat perkotaan. Bahkan, mengubah kompleksitas perkotaan secara lebih mendasar.

“Cara hidup mulai berubah. Barangkali ini sebuah suatu titik masuk peradaban baru pascaCovid-19 ini,” ucapnya dalam diskusi 'Pentahelix dan Percepatan Pemulihan Ekonomi Kota di Indonesia', Selasa (25/5).

Berbagai persoalan kompleks dalam perkotaan semakin ke arah ketidakpastian. Menurutnya, para kepala daerah harus menghadapi persoalan perkotaan yang semakin kompleks melalui kolaborasi dengan berbagai pihak.

Para kepala daerah, sambungnya, juga dituntut memiliki pola pikir berorientasi masa depan. Juga harus fleksibel dalam penanganan berbagai isu strategis dampak Covid-19.

Arif melanjutkan, perencanaan kebijakan penanganan isu-isu strategis harus berbasis data dan adaptif. Namun, tetap sesuai koridor tujuan penyelesaiannya.

“Kompleks problem solving harus main. Kemampuan kita menyelesaikan dengan multi variable. Jadi, situasi ini memang benar-benar berbeda, dengan situasi di masa sebelumnya, 10 atau 15 tahun lalu,” tutur Arif.

Berkaca dari pengalaman kemitraan Institut Pertanian Bogor (IPB), banyak ditemukan kesenjangan cara berpikir antara kepala daerah dan anak buahnya. Terkait penanganan isu-isu strategis.

Terkadang, jelasnya, cara berpikir kepala daerahnya sudah bagus. Namun, pelaksanaanya justru banyak terkendala masalah kesulitan membangun frekuensi yang sama dengan anak buahnya.

Selain itu, kesenjangan pola pikir antara eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD) dapat menjadi penghalang terhadap percepatan proses transformasi kota tersebut.

“Jadi, ini tidak bisa hanya dipahami oleh pemkot, tetapi juga DPRD. Maka, tidak bisa Pemkot (pemerintah kota) memiliki visi yang dahsyhat, kemampuan kuat, tetapi politisi di DPRD tidak mampu mengimbangi dan tidak memahami situasi yang ada,” ujar Arif.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan