Covid breaktrough dan ancaman terhadap mimpi herd immunity RI
Ketika pertama kali demam pada awal Agustus lalu, Aditya Putra, 31 tahun, tak pernah menyangka ia bakal terjangkit Covid-19. Rampung mendapatkan vaksin ganda sebulan sebelumnya, ia sempat berpikir bakal kebal dari Covid-19. Saat hasil tes PCR keluar, Aditya kaget.
"Kirain flu biasa aja. Gue pikir gue termasuk yang enggak bakal kena setelah divaksin. Soalnya, badan gue juga tergolong fit banget waktu itu," kata pegawai salah satu bank swasta di Jakarta itu saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, Jumat (6/9).
Setelah demam beberapa hari, menurut Aditya, hampir semua gejala umum Covid-19 muncul, mulai dari diare, batuk, flu, hingga kehilangan kemampuan mencium bau dan merasakan makanan di lidah. Meski begitu, tak ada gejala berat. Saturasi oksigen di dalam darah pun tergolong masih normal.
Karena tak punya penyakit penyerta, Aditya pun memutuskan untuk menjalani isolasi mandiri di kediamannya di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. Kebetulan, ia sedang tinggal sendiri lantaran kedua orang tuanya tengah pulang kampung. "Enggak lama sih. Sekitar seminggu udah negatif," imbuh dia.
Aditya tak tahu di mana ia terpapar Sars-Cov-2. Bagi dia, pertanyaan itu membingungkan. Pasalnya, ada banyak tempat yang ia kunjungi usai divaksin, mulai dari kafe, restoran, mal, hingga rumah pacar. Ia juga rutin nonkrong bersama sejumlah teman dekat saban akhir pekan.
"Yang pasti sih di luar rumah. Daftarnya bisa panjang. Waktu itu, gue akui emang agak lepas kontrol. Ya, karena udah divaksin itu tadi. Jadi, pede ke mana-mana. Sebelumnya sih, sehari-hari tinggal di rumah aja. Makan juga biasanya pesen online. Enggak berani," kata dia.
Lain Aditya, lain pula Auriga Agustina. Ketika hasil tes PCR-nya keluar pada 27 Juli 2021, jurnalis salah satu televisi swasta itu tak lagi kaget. Riga, sapaan akrab Auriga, tahu ada banyak rekannya yang juga terjangkit Covid-19 meskipun sudah divaksin.
"Tapi, aku bersyukur sih. Mungkin karena udah vaksin, gejalaku enggak begitu berat. Aku tuh biasanya kalau sakit bisa yang sampe lebay banget gitu. Kalau belum divaksin, aku enggak tahu deh kayak gimana," kata Riga kepada Alinea.id, Kamis (5/9).
Riga mendapatkan dosis terakhir vaksin Sinovac pada 17 Maret. Sekira empat bulan setelah tuntas divaksin, gejala sakit Covid-19 mulai ia rasakan. Meskipun aktif berkeliling Jakarta karena tuntutan pekerjaan, Riga menduga ia terpapar Sars-Cov-2 di kos-kosan.
"Kayanya dari mbak kosan aku. Karena waktu itu dia lagi demam gitu. Nah, semenjak dia demam, aku selalu pake masker kalau harus ke dapur. Tapi, yang aku enggak antisipasi sabun cuci piringku sama ama dia," kata Riga.
Yang pertama berubah ialah pola tidur. Biasa tidur di atas jam 23.00, Riga kerap sudah mengantuk dan terlelap sekitar pukul 20.00. Selain itu, ia juga sering terbangun tengah malam karena tiba-tiba merasa haus meskipun tak demam.
"Badan juga sering pegel-pegel gitu. Terus pernah tiba-tiba aku engap (sesak) kalau nafas. Kirain karena pake masker aja. Tenggorokan gatel, bersin-bersin terus pada saat itu," terang perempuan lulusan jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Dipenogoro itu.
Khawatir gejalanya memburuk, Riga memutuskan dirawat di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat. Masuk tanggal 27 Juli, ia "lulus" pada 9 Agustus lalu. Selama dirawat, Riga mengaku kondisinya relatif stabil.
"Tapi, badanku sempat sakit banget kayak enggak bisa digerakin gitu. Itu kayaknya karena aku stres sih. Selama di Wisma Atlet, aku stres. Banyak suara ambulans, pintu kamar enggak bisa dikunci. Jadi, tidurku enggak tenang," kata Riga.
Berkaca dari Amerika Serikat dan Israel
Baik Aditya maupun Riga terjangkit Covid-19 setelah tuntas divaksin. Secara umum, peristiwa infeksi SARS-Cov-2 terhadap pasien yang telah disuntik vaksin dengan dosis lengkap dinamakan Covid-19 breaktrough. Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat (AS) mengkategorikan seperti itu jika infeksi terjadi dua pekan setelah imunisasi tuntas.
Di AS, tercatat telah ada lebih dari 171 juta penduduk yang mendapat dosis vaksin lengkap per 23 Agustus 2021. Pada hari yang sama, CDC mendapat laporan dari dari 49 negara bagian yang menemukan setidaknya ada 11.050 pasien Covid-19 breakthrough yang dirawat di rumah sakit atau meninggal.
Laporan itu dikompilasi dari Mei 2021. Dalam laporan tersebut, CDC tidak menyertakan kasus Covid-19 breaktrough yang penderitanya tidak dirawat di rumah sakit atau meninggal. Artinya, mereka yang bergejala ringan dan menjalankan isolasi mandiri tidak termasuk dalam statistik tersebut.
Dalam sebuah laporan yang dirilis pada 26 Agustus lalu, New York Times menemukan indikasi kenaikan kasus Covid-19 breaktrough di AS. Itu diketahui setelah mengolah data kasus Covid-19 di tujuh negara bagian, yakni California, Colorado, Massachusetts, Oregon, Utah, Vermont dan Virginia.
Di enam negara bagian yang diteliti, New York Times menemukan kasus Covid-19 breaktrough dialami satu dari lima orang pasien positif Covid-19 baru. Namun, angka itu tidak serta-merta merepresentasikan kondisi di seluruh AS.
"Ingat ketika kajian mengenai vaksin pertama kali keluar? Itu seperti tak ada yang dirawat di rumah sakit dan tak ada yang mati. Ini ternyata tidak benar," kata Robert Wachter, pemimpin departemen obat-obatan di University of California, San Francisco, saat mengomentari data tersebut.
Untuk mengimunisasi ratusan juta penduduknya, AS menggunakan vaksin dengan tingkat efikasi rata-rata di atas 80%, semisal Pfizer-Biontech dan Moderna. Meski begitu, Wachter mengatakan, data teranyar terkait kasus Covid-19 breaktrough mengindikasikan vaksin saja tidak cukup.
"Jika peluang infeksi meningkat signifikan, dan saya pikir bukti-buktinya menunjukkan itu, serta tingkat proteksi vaksin tak sekuat seperti di awal, maka saya kira kita memang perlu tambahan booster (suntikan ketiga)," kata dia.
Tren kenaikan kasus Covid-19 breaktrough juga terjadi di Israel, negara yang sekitar 63% populasinya telah divaksinasi tuntas. Didorong maraknya kasus Covid-19 breaktrough, kasus positif harian di Israel bahkan sempat menyentuh angka 12,113 kasus per hari pada 24 Agustus lalu.
Angka itu melampaui rekor kasus harian yang pernah tercatat pada Januari 2021, yakni sebesar 11,934 kasus per hari. Ketika itu, Israel baru sebulan menjalankan program vaksinasi nasional. Seperti AS, Israel menggunakan Pfizer-Biontech dan Moderna untuk mengimunisasi warga negaranya.
Tak seperti namanya, kasus Covid-19 breaktrough di Israel bahkan tergolong tak langka. Pada 15 Agustus, dari 514 warga Israel yang dirawat di rumah sakit, sekitar 59% di antaranya telah tuntas diimunisasi. Dari total angka kasus Covid-19 breaktrough itu, sebanyak 87% ialah warga berusia di atas 60 tahun.
"Ini merupakan peringatan bagi seluruh dunia. Jika ini (kenaikan kasus Covid-19 breaktrough) bisa terjadi di sini (Israel), maka ini juga bisa terjadi di seluruh dunia," kata Ran Balicer, Chief Innovation Officer di Clalit Health Services (CHS), institusi kesehatan terbesar di Israel, seperti dikutip dari Science.
Ada alasan ilmiah kenapa kasus Covid-19 breaktrough marak di negara tersebut. Data yang dirilis pemerintah Israel pada Juli lalu menunjukkan bahwa Pfizer-Biontech hanya 16% efektif melawan infeksi bergejala bagi mereka yang menerima dua dosis lengkap pada Januari 2021.
Untuk orang-orang yang divaksin lengkap pada April, Pfizer-Biontech efektif hingga sekitar 79% memproteksi warga dari infeksi Covid-19 bergejala. Data itu menunjukkan bahwa imunitas yang dihasilkan vaksin Pfizer-Biontech berkurang seiring waktu.
Untuk meredam kenaikan kasus Covid-19 breaktrough, pemerintah Israel mulai membagikan suntikan ketiga bagi warga sejak akhir Juli 2021. Target utama mereka ialah warga berusia di atas 60 tahun. Pada medio Agustus, sudah ada 1 juta warga yang mendapatkan dosis ketiga.
Dvir Aran, peneliti biomedis di Technion pesimistis booster bakal efektif meredakan gelombang baru Covid-19 di Israel jika protokol kesehatan yang mulai dilupakan sebagian warga Israel, semisal menjaga jarak dan memakai masker, tak lagi ketat diberlakukan.
"Bahkan jika dua per tiga warga yang berusia di atas 60 tahun itu mendapatkan suntikan ketiga, itu hanya mungkin memberi kita tambahan waktu sepekan atau dua pekan sebelum rumah sakit kita dibanjiri pasien," kata Aran.
Memundurkan target herd immunity
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Jika berkaca pada tingkat efikasi vaksin Sinovac yang mayoritas digunakan di Indonesia, menurut epidemolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, potensi naiknya kasus Covid-19 breaktrough di Indonesia tergolong besar.
"Kita tahu (Sinovac) lebih kurang efektif dibanding vaksin mNRA. Artinya, potensinya jauh lebih besar. Tapi, untuk tahu berapa pastinya, tentu perlu ada data. Tapi, enggak susah sebetulnya. Dari data di pekerja kesehatan aja sudah bisa kita lihat. Cukup besar," kata Dicky saat dihubungi Alinea.id, Ahad (5/9).
Vaksin Sinovac diciptakan menggunakan metode mematikan virus (inactivated), sedangkan vaksin model mNRA diciptakan lewat rekayasa komponen materi genetik. Berbasis hasil uji klinis tahap tiga, efikasi Sinovac diklaim mencapai 65,3%.
Dicky menjelaskan apa pun vaksinnya, Covid-19 breaktrough pasti terjadi. Namun, pemerintah harus memastikan angkanya kecil. "Kalau di bawah 5%, saya kira, masih bisa diterima. Bahkan, kalau lebih besar dari itu pun, selama tidak menyebabkan keparahan, apalagi fatalitas, it's okay. Tapi, masalahnya kita perlu cari tahu data itu terkait vaksin Sinovac," kata dia.
Dengan kemunculan kasus-kasus Covid-19 breaktrough, Dicky mengatakan target herd immunity atau kekebalan kelompok bakal kian sulit tercapai. Apalagi, varian Delta yang saat ini dominan terbukti menggerus efikasi vaksin, termasuk vaksin-vaksin dengan tingkat efikasi tinggi yang digunakan negara-negara besar.
"Bukan nol, tapi jadi semakin menjauh target itu. Karena angka reproduksi yang tinggi dari varian Delta ini membuat potensi tercapainya, bahkan bukan cuma herd immunity, tapi threshold (ambang batas) herd immunity itu sendiri semakin menjauh," imbuhnya.
Sebagai solusi sementara, Dicky menyarankan pemerintah menggenjot program vaksinasi. Menurut dia, booster baru ideal diberikan jika mayoritas masyarakat sudah diimunisasi. "Vaksinasi penuh untuk belum. Yang dua suntikan, terutama dikejar untuk kelompok rawan, seperti lansia," jelas dia.
Juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, hingga kini Kemenkes belum memiliki data jumlah pasien yang terkena Covid-19 meskipun telah disuntik vaksin ganda. Data itu, kata dia, masih tersebar di berbagai rumah sakit.
"Ini (data Covid-19 breakthrough) tidak sampai ke pusat dalam data rutin. Sampai saat ini, yang terinfeksi dan yang sakit berat kebanyakan ialah yang belum divaksin atau baru mendapatkan satu dosis," kata Nadia saat dihubungi Alinea.id, Kamis (2/9).
Nadia membenarkan infeksi terhadap warga yang sudah divaksin mungkin terjadi. Pasalnya, vaksin hanya bekerja efektif sekitar 95% untuk memproteksi warga dari kematian dan gejala penyakit berat. Vaksin juga hanya mengurangi risiko penularan pada kisaran 60-90%.
Itu berarti ada potensi sekitar 10-30% warga yang sudah mendapatkan dosis vaksin lengkap bisa tertular Covid-19. "Apalagi, di situasi pandemi seperti saat ini di mana jumlah virus laju penularan sangat tinggi," kata Nadia.
Ditanya soal kemungkinan tambahan proteksi lewat booster seperti di AS dan Israel, Nadia mengungkapkan tambahan dosis saat ini masih diprioritaskan untuk tenaga kesehatan. "Karena kondisinya darurat. Kita juga masih menunggu selesainya monitoring vaksin yang dilakukan para peneliti, kajian klinis, serta rekomendasi WHO, Sage, dan Itagi," jelas dia.