Dag-dig-dug tim penjemput mayat Covid-19: Diburu waktu, digoda hantu
Dengan cekatan, Suwandi (39) dan Diki Abdurahman (22) membopong peti jenazah ke sebuah ambulans yang terparkir di Gate 8, Stadion Chandrabhaga, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (7/2) siang itu. Tanpa isi, peti kayu berwarna putih itu dengan mudah meluncur masuk.
"Ini peti yang kelima," kata Diki kepada Alinea.id sesaat sebelum membuka pintu ambulans.
Saat itu, Wandi, sapaan akrab Suwandi, sudah ada di balik kemudi. Sebelum tancap gas, Wandi mengambil ponsel dan memasang "Kopi Dangdut". Lagu karangan Fahmy Shahab itu menemani mobil ambulans yang mereka kendarai membelah keramaian Jalan Ir. H. Juanda.
Sudah hampir sepuluh bulan, Wandi dan Diki bergabung menjadi anggota Tim Gerak Cepat (TGC). Tugas mereka mengevakuasi jenazah korban Covid-19 di seantero Bekasi. Dalam sehari, keduanya bisa mengevakuasi lima sampai dua belas jenazah.
Kali itu, "target" mereka ada di Rumah Sakit Bhakti Kartini Kota Bekasi. Sudah ada instruksi dari Dinas Kesehatan Bekasi untuk membawa jenazah terinfeksi Covid-19 di rumah sakit itu ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pendurenan.
Ambulans itu tak melaju sendirian. Sebuah sepeda motor mengawal ambulans tersebut. Di atas sepeda motor, ada Adam (16) dan Bagas (18). Tugas keduanya membuka jalan bagi ambulans TGC.
"Biar lancar di jalan sampai tujuan. Oksigen kan terbatas, ya kita kasihan," kata Adam kepada Alinea.id.
Ambulans TGC memang tak selalu digunakan untuk mengevakuasi jenazah. Sesekali, TGC juga mendapat pekerjaan untuk mengevakuasi pasien positif Covid-19 ke rumah sakit.
Sesampainya di RS Bhakti Kartini, Wandi langsung memarkirkan ambulans di depan kamar mayat. Ia kemudian menemui Ismail (39), kakak dari "korban" Covid-19 yang jenazahnya akan dimakamkan.
"Bapak keluarganya? Ada surat kematiannya enggak?" tanya Wandi.
"Dibawa sama keluarga di sana," jawab Ismail. Kepada Alinea.id, Ismail bercerita adiknya sudah sepekan dirawat inap di rumah sakit itu karena terinfeksi Sars-Cov-2, virus penyebab Covid-19.
Sementara itu, Wandi dan Diki mengeluarkan peti dari ambulans. Bersama dua petugas rumah sakit, mereka menggotong peti itu memasuki ruang jenazah. Dalam hitungan menit, peti yang sudah berisi jenazah adik Ismail dibopong lagi keluar.
Sejurus kemudian, pintu ambulans ditutup dan Wandi tancap gas lagi. Sirene kembali dibunyikan.
Siang itu, jalanan relatif lengang. Tak butuh lama bagi Wandi dan Diki mencapai TPU Pendurenan. Tak ada cekcok dengan pengguna jalan yang biasanya mendongkol karena disalip ambulans mereka.
"Kita juga enggak mau ngebut, ya, tapi kan ini bawa jenazah Covid-19,” kata Wandi yang mengaku mobil ambulansnya pernah menyerempet sepeda motor sopir ojek online yang ogah minggir.
Di TPU Pendurenan, liang lahad bagi jenazah adik Ismail sudah digali. Namun, peti jenazah adik Ismail tak dikeluarkan dari ambulans lantaran penggali kubur tengah beristirahat. Sembari menunggu, Wandi dan Diki mengaso di sebuah warung di area pemakaman.
Tak jauh dari warung itu, keluarga almarhum sudah berkumpul. Merasa jenazah kerabatnya diabaikan, salah seorang anggota keluarga bertepuk tangan sekencang-kencangnya. "Kapan mau dikubur?" teriak dia sembari memberi isyarat menunjuk jam tangan.
Tak tahan mendengar ocehan, Wandi menghampiri keluarga korban Covid-19 itu. "Udah kayak orang utan, teriak-teriak. Sini samperin dong," gerutu koordinator TGC itu.
Keduanya adu mulut. Wandi menunjuk ke arah liang lahad. Ia menjelaskan prosesi permakaman tertunda karena pengantar jenazah dan penggali kubur sedang beristirahat. Kerabat almarhum bersikeras minta jenazah keluarganya lekas dikubur.
Diki mengatakan, adu mulut semacam itu masih terbilang wajar. Tak terhitung berapa kali Diki, Wandi, dan para personel TGC lainnya harus adu ngotot dengan pihak keluarga karena persoalan-persoalan sepele. "Sering. Ini mending enggak pakai golok-golokkan," kata dia.
Ambulans memang tak bisa mendekat ke liang lahad. Pasalnya, jalan akses masuk ke area permakaman sedang becek dan berlumpur karena hujan. Tugas mengangkut jenazah di TPU itu biasanya dibebankan pada sebuah sepeda motor roda tiga yang kondisinya tak lagi prima.
"Ada banyak keluarga yang bilang kalau minta bantuan ke Dinkes itu lama. Ya, lamanya (karena) kita bukan mengambil almarhum dia doang. Ini karena sekali masuk itu bisa 5 sprint (bolak-balik), 6 sprint," ucap Diki.
Rentetan teror mistis
Tekanan psikis yang dialami para penjemput mayat Covid-19 itu tak hanya datang dari orang hidup saja. Kepada Alinea.id, sejumlah personel TGC menuturkan sering mengalami teror mistis saat bertugas menjemput jenazah.
Salah satunya ialah Wanda Fauzi. Personel TGC berusia 35 tahun itu mengaku pernah "diusik" saat tengah beristirahat di sebuah ruangan di Gate 13 Stadion Chandrabhaga, stadion yang kini beralih fungsi menjadi rumah sakit darurat Covid-19 sekaligus "markas" TGC.
Peristiwa itu terjadi pada awal Juli 2020. Wanda menuturkan, ia terbangun karena mendengar suara barang jatuh. Saat membuka mata, ia melihat kotak besar berisi alat pelindung diri (APD) tergeletak tak jauh dari tempat dia terlelap.
Wanda kaget karena tak ada siapa-siapa di ruangan itu selain dia dan seekor kucing. Perasaannya langsung tak nyaman. "Kalau ada kesenggol kucing itu enggak mungkin jatuh karena berat. Jarak antara kardus (semula) dan letak jatuhnya juga jauh banget," ujar Wanda.
Horor tak berhenti di situ. Sekitar 30 menit sebelum jam kerja Wanda habis, perintah dari Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Rina Oktavia tiba. Bersama Wandi, Wanda ditugasi mengevakuasi jenazah di sebuah perumahan kawasan Kayuringin, Bekasi.
Usai menyiapkan kantong mayat, keduanya berangkat ke Kayuringin. Di rumah yang dituju, mereka mendapati jasad seorang pria yang tergantung di salah satu ruangan. Baunya membusuk pertanda jasadnya sudah lama tergantung. "Udah item (jenazahnya). Fisiknya udah acak-acakan," ungkap Wanda.
Meski Wanda yang terlebih dahulu "dikerjai" hari itu, evakuasi jenazah sang pria gantung diri itu lebih mengagetkan bagi Wandi. Ia menuturkan wajah si pria yang mati itu sudah muncul dalam mimpinya sehari sebelum evakuasi. Usai evakuasi, Wandi juga merasa dikuntit sosok nahas itu.
"Kayak berasa masih diikutin aja. Itu bener-bener saya mandi itu kayak ngerasa ada dia. Pengin tidur, kayak ada dia. Sampai rumah pas abis evakuasi, sempet juga ngalamin tempat air tiba-tiba jatoh sendiri," tutur dia.
Peristiwa mistis lainnya dialami Wanda saat bertugas bareng Diki pada November, tahun lalu. Ketika itu, mereka ditugasi mengevakuasi jenazah di kawasan Pejuang Jaya, Bekasi.
Tiba di lokasi sekitar pukul 20.00 WIB, Wanda mendapati rumah terkunci rapat. Setelah menunggu beberapa lama, Wanda dan Diki kemudian memutuskan untuk mendobrak pintu rumah. Begitu pintu terbuka, bau menyengat langsung tercium.
Mereka kemudian menelusuri setiap ruangan di rumah itu. Di kamar mandi, keduanya menemukan seorang pria terbujur kaku dengan posisi tengkurap. Tubuhnya sudah penuh dengan belatung. Ada bekas darah tercecer berbagai sudut kamar mandi.
Jenazah itu kemudian mereka evakuasi ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasbullah. Sekira tengah malam, rekan Wanda dari puskesmas setempat yang ikut dalam proses evakuasi iseng mengambil foto.
"Dia foto tuh, saya lagi duduk. (Di foto) itu, (ada makhluk gaib) kepalanya botak, ya kayak semacam algojo aja. Itu sih kayaknya penunggu sana," cerita Wanda.
Pengalaman menyeramkan juga dialami Diki pada Juli 2020. Ketika itu, Diki bersama rekannya sedang dalam perjalanan mengantarkan jenazah ke TPU Pendurenan. Diki saat itu bertugas sebagai sopir ambulans.
Di tengah jalan, Diki tiba-tiba mendengar suara ketukan di ruang peti jenazah di ambulans tersebut. "Dor! Dor! Dor!" ujar Diki menirukan bunyi orang mengetuk papan kayu.
Awalnya, Diki dan rekannya tak menggubris. Suara ketukan itu masih "tertimpa" bunyi sirine. Namun, lama-kelamaan suara gedoran itu makin kencang. Diki bahkan merasa mendengar suara embusan nafas di belakang tengkuknya.
Ambulans menepi, volume sirine lantas diperkecil. Suara gedoran malah kian lantang. "Itu peti gedor-gedor. Itu kita mikir, 'Ini jenazah hidup lagi apa bagaimana?' Saya ngomong sama temen, 'Gimana nih? Cek enggak? Bongkar enggak?'" tutur Diki.
Setelah menunggu beberapa saat, suara "gaib" itu hilang. Diki dan rekannya memutuskan melanjutkan perjalanan. Setibanya di TPU Pendurenan, Diki menuturkan hujan deras mendadak turun.
Menurut Diki, ketika itu ia merasa seperti tengah berada di dalam sinetron misteri bertema azab yang kerap tayang di televisi. "Sekarang terang, tapi pas sampai TPU hujan. Hujannya angin," kata dia.
Memakan korban
Teror mistis dalam berbagai bentuk itu, kata Diki, dialami mayoritas personel TGC. Ada yang melihat keranda mayat bergoyang sendiri, sirine ambulans tiba-tiba berbunyi saat mesin masih mati, atau keluarga yang melaporkan mencium bau busuk di rumah mereka.
Menurut Diki, peristiwa-peristiwa janggal itu biasanya jadi pertanda personel TGC bakal kebanjiran "order" keesokan harinya. "Kalau ada sirine dan apa-apa di mobil ambulans, berarti besok banyak (evakuasi)," kata Diki.
Tak semua personel TGC tahan dengan rentetan teror mistis itu. Diki mengungkapkan, satu per satu anggota TGC "pamit" karena tak kuat mental. Pada mula terbentuk, ada 26 anggota TGC. Namun, kini hanya tersisa belasan personel.
"Dari situ (berbagai kegiatan evakuasi jenazah), ada (banyak personel) yang trauma. Jadi, enggak bisa makan, enggak bisa tidur. Akhirnya, dia nge-drop," tutur Diki.
Diki mengatakan, ia dan rekan-rekannya yang masih bertahan di TGC bukannya tak mengenal rasa takut. Namun, mereka memutuskan untuk menyikapi beragam peristiwa menyeramkan saat bertugas itu secara positif.
"Kalau yang datang ke rumah atau mimpi (itu biasanya) mau bilang makasih udah dievakuasi. Jadi, kita biasanya bilang, 'Kalau lagi evakuasi, udah enggak usah bilang makasih, kita udah ikhlas. Tenang aja di kuburan.' Karena kalau enggak digituin, balik lagi," kata Diki.