Sebanyak tujuh institusi pemerintah bakal digugat oleh sekelompok masyarakat yang menamakan diri Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka menuntut hak mendapatkan udara bersih. Rencananya, gugatan akan dilayangkan selambat-lambatnya akhir Juni 2019.
“Ketujuh institusi tersebut antara lain Presiden, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan,” kata pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Ayu Eza Tiara, di Jakarta pada Selasa (18/6).
Ayu mengungkapkan, persiapan pengajuan gugatan pihaknya sudah mencapai 90% dengan mengumpulkan keterangan para penggugat dari berbagai latar belakang. Ada peneliti, dosen, dan masyarakat umum. Gerakan Ibu Kota, kata Ayu, memberi kesempatan luas kepada publik untuk menjadi saksi terkait pemenuhan hak-hak untuk mendapatkan udara bersih.
Gerakan Ibu Kota dalam paparannya menyebutkan tingkat partikel polusi udara di Jakarta pada H-1 Lebaran atau 4 Juni 2019 mencapai 70,8 ug/m³. Ini melebihi ambang batas baku mutu udara nasional sebesar 65 ug/m³.
"Rata-rata dalam setahun ada 196 hari tidak sehat di Jakarta. Ini menunjukkan polusi udara Jakarta sangat parah. Sumbernya tidak hanya dari kendaraan bermotor, tapi sumber pencemaran di sekeliling Jakarta," kata Bondan Andriyanu, juru kampanye energi Greenpeace Indonesia.
Bondan menyampaikan, gambaran tangkapan dari citra satelit menunjukkan pergerakan pencemaran udara di beberapa lokasi. Itu di antaranya karena PLTU Suralaya, pembakaran sampah di Tangerang Selatan, Banten. Selain itu, ada tujuh PLTU lain dan rencana empat PLTU batubara baru yang berada 100 km dari Jakarta.
“Asap dan partikel dari pembakaran ini dampaknya menyebar ke mana-mana dan mengenai warga Jakarta juga," tutur Bondan.
Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta, Tubagus Ahmad, mengatakan dengan kualitas udara yang demikian menunjukkan negara telah bersikap abai terhadap standar hidup warga negaranya. Karena polusi udara itu, berdampak pada menyempitnya kesempatan warga untuk berkegiatan sosial dan budaya.
Berdasarkan catatan Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta, akibat pencemaran udara menimbulkan berbagai penyakit seperti asma bronchil yang diidap oleh 1,4 juta penduduk Indonesia dan infeksi saluran pernapasan sebanyak 2,4 juta jiwa.
"Pemerintah tak sadar besarnya kerugian dari pencemaran udara di Jakarta. Padahal, negara sebenarnya bisa dan berwenang memberikan jaminan hidup yang lebih baik," ujar Tubagus.
Untuk mengurangi polusi udara, diusulkan perlunya inventarisasi sumber pencemaran. Juga melakukan edukasi kepada masyarakat. Kemenkes sebagai institusi pemerintah bisa menjadi garda terdepan untuk mengampanyekan udara bersih. Mengingat, ada banyak korban yang terpapar penyakit akibat polusi udara tersebut.
Kemenkes bisa berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menangani bahaya pencemaran udara. Juga perlunya edukasi kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan dan turut andil menjaga kualitas udara.
"Kita membutuhkan aksi yang jelas dan cepat, kita enggak punya banyak waktu untuk mengatasi kualitas udara yang buruk ini," ujar Tubagus.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 30% di Ibu Kota sampai 2030 mendatang.
"Saat ini kami sudah mencapai 22%, kami punya target 30% pada 2030. Artinya, masih ada 11 tahun untuk mencapai target tersebut," kata Anies.
Anies berharap, target tersebut dapat tercapai lebih cepat. Karena itu, upaya Pemprov DKI Jakarta salah satunya dengan meningkatkan penggunaan transportasi publik bagi masyarakat. Karena itu, Pemprov DKI akan terus berbenah untuk meningkatkan kualitas yang lebih baik, terintegrasi, dan harga terjangkau.
“Selama transportasi publik tidak tersedia dengan baik, maka kendaraan privat akan selalu menjadi opsi. Saat ini terdapat 17 juta kendaraan bermotor di Jakarta,” kata Anies.