Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami peran konglomerat Sjamsul Nursalim dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolan aset manajemen investasi di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Pendalaman peran tersangka kasus megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu dilakukan tim penyidik KPK melalui penggalian keterangan dari saksi yang diperiksa hari ini, yakni Taufik Mappenre yang berasal dari unsur swasta.
"Jadi ada proses-proses sebelum proses di internal BPPN yang kami dalami dalam proses penyidikan ini. Karena kita tahu sejak awal pascadilakukan financial due diligence dan legal due diligence, ditemukan ada persoalan baik secara finansial ataupun secara hukum," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (3/7).
Pada pemeriksaan saksi hari ini, kata Febri, setidaknya terdapat dua saksi yang tidak memenuhi panggilan KPK. Mereka antara lain mantan pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional Thomas Maria, dan Wandhy Wira Riyadi dari unsur swasta. Namun demikian, Febri tidak merinci lebih jauh penyebab kedua saksi tersebut tak memenuhi panggilan KPK.
Komisi antirasuah memang sedang gencar menangani perkara megakorupsi dana BLBI. Pekan lalu, KPK sudah memanggil konglomerat suami-istri Sjamsul dan Itjih Nursalim yang kini jadi tersangka terkait perkara ini. Namun, keduanya mangkir dari panggilan KPK tanpa memberikan alasan yang jelas.
Teranyar, KPK telah memanggil eks Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Dorodjatun Kuntjoro-Djakti. Sama seperti Sjamsul dan Itjih, Dorodjatun pun tak hadir memenuhi pemeriksaan KPK. Alasannya, sedang ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan.
Dorodjatun merupakan mantan Ketua KKSK yang mengeluarkan keputusan KKSK pada 13 Februari 2004, dengan menetapkan utang petambak setinggi-tingginya Rp100 juta. Serta porsi unsustainable debt PT Dipasena Citra Darmadja (DCD), dan PT Wachyuni Mandira (WM) yang ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim tidak perlu dibayarkan.
Dalam perkara ini, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim diduga telah melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Saat dilakukan Financial Due Dilligence dan Legal Due Dilligence disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.