close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Tangkapan layar Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia AIPI Sofian Effendi saat memaparkan meteri di Alinea Forum dengan tema
icon caption
Tangkapan layar Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia AIPI Sofian Effendi saat memaparkan meteri di Alinea Forum dengan tema "Model Integrasi BRIN", Jumat (18/6/2021).
Nasional
Jumat, 18 Juni 2021 16:31

Dampak pembubaran Kemenristek, Iptek Indonesia bakal suram

BRIN tidak dapat menggantikan kedudukan Kemenristek, apalagi anggarannya tergolong kecil.
swipe

Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di sisi lain, semua lembaga riset dan badan penelitian dan pengembangan (balitbang) akan dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Merespons hal itu, Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sofian Effendi menilai, nasib ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta inovasi pascapembubaran Kemenristek sangat suram. Pembubaran Kemenristek dianggap sebagai inkonsistensi kebijakan Iptek dalam implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Iptek.

Ia pun menganggap, Indonesia telah kehilangan nahkoda untuk merumuskan kebijakan di bidang Iptek. “Saya menyimpulkan suram masa depan Indonesia,” ucapnya dalam diskusi virtual Alinea Forum ‘Model Integrasi BRIN’, Jumat (18/6).

BRIN, kata dia, tidak dapat menggantikan kedudukan Kemenristek. Apalagi, anggaran BRIN tergolong kecil. Padahal, infrastruktur Iptek di Indonesia cukup lengkap dan pegawainya yang masih bergairah bekerja. Dari segi budaya birokrasi di Indonesia, pembubaran Kemenristek dinilai sebagai kemunduran. “Kemenristek dibubarkan, ini suatu ironi yang luar biasa. Katanya Indonesia mau menuju industri 4.0,” tutur Sofian.

Kehadiran Kemenristek penting dalam ekosistem iptek dan inovasi. Sebab, jelasnya, Kemenristek mengkoordinasikan program pengkajian, penerapan, dan pengembangan inovasi. Pengembangan Iptek di Indonesia hanya terhambat politik anggaran yang sangat minim. Partisipasi dari swasta pun rendah, karena tidak ada insentif pajak. Imbasnya, kelembagaan Iptek tidak mampu menghasilkan teknologi yang lebih baik.

Ia lantas menceritakan, bagaimana mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (B.J. Habibie) begitu bangga dengan kenangan industri pesawat terbang di Indonesia. Ia pun mengaku mendengar keluhan Habibie ketika mendampinginya dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.

Habibie berkelakar terkait tiga negara yang membubarkan industri pesawat terbang. Pertama, industri pesawat terbang Jerman dibubarkan setelah kalah perang dunia II. Jerman tidak boleh lagi memproduksi pesawat perang. Kedua, industri pesawat terbang dibubarkan Jepang setelah kalah perang dunia II. Jepang tidak boleh lagi memproduksi pesawat perang. Ketiga, Indonesia.

“Indonesia ini industri penerbangannya dibubarkan sendiri oleh pemerintahnya dan pada 2020, pesawat canggihnya itu (pesawat N-250) digantung di museum,” tutur Sofian.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan