close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aktivis dan pendiri Watchdoc Documentary, Dandhy Laksono. Foto Instagram @Dandhy_Laksono
icon caption
Aktivis dan pendiri Watchdoc Documentary, Dandhy Laksono. Foto Instagram @Dandhy_Laksono
Nasional
Jumat, 27 September 2019 15:28

Dandhy Laksono, korban terbaru pasal karet UU ITE  

Sebelum Dandhy, pasal-pasal UU ITE juga pernah menjerat Ariel Noah, Baiq Nuril, dan Prita Mulyasari.
swipe

Direktur Riset Setara Institute Halili angkat bicara soal penangkapan jurnalis sekaligus aktivis dan pendiri Watchdoc Documentary, Dandhy Laksono, Jumat (27/9) dini hari tadi. Menurut Halili, penangkapan Dandhy merupakan bukti berbahayanya pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

"Dandhy bukanlah tumbal satu-satunya dari ITE yang restriktif tersebut. Deret korban UU ITE sudah sangat panjang, mulai dari pasien rumah sakit Prita Mulyasari, penyanyi Nazril Irham (Ariel ‘Noah’), aktivis mahasiswa Anindya Joediono, hingga guru Nuril Baiq Makmun," ujar Halili dalam siaran pers yang diterima Alinea.id. 

Dandhy dijerat Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) UU ITE karena mengunggah gambar dan narasi terkait situasi kerusuhan di Wamena, Papua, di akun Twitter pribadinya @Dandhy_Laksono, beberapa waktu lalu. Saat ini, Dandhy sudah berstatus tersangka. 

Halili mengatakan, Setara Institute meminta agar Dandhy dibebaskan dari segala proses hukum. Menurut dia, pandangan-pandangan yang disampaikan oleh Dandhy merupakan bagian dari hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi, terutama Pasal 28E UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendapat warga negara yang diunggah di media sosial, lanjut Halili, seharusnya dipandang sebagai bentuk dari kontrol publik yang sah dalam demokrasi dan kontrol atas kebijakan pemerintahan negara yang mungkin melenceng. 

"Kami juga mendesak agar pihak kepolisian melakukan moratorium penggunaan pasal-pasal problematik dalam UU ITE, terutama Pasal 27 ayat (1) dan (3) dan Pasal 28 ayat (2) yang dalam praktiknya merupakan pasal karet yang multitafsir dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan pasal keranjang sampah untuk mengakomodasi penghukuman atas aneka tindakan warga," tutur dia.

Selain itu, Setara Institute mendorong pemerintah untuk tidak melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif dalam penanganan isu Papua dan gejolak politik mutakhir yang lahir karena rencana DPR dan pemerintah mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) kontroversial. 

"Termasuk dalam bentuk penangkapan aktivis-aktivis yang melakukan pembelaan atas berbagai persoalan kemanusiaan yang dialami oleh masyarakat Papua dan masyarakat yang menyampaikan aspirasi atas beberapa revisi UU yang dalam penilaian publik bermasalah," ujar dia. 

Lebih jauh, Setara Institute juga mendesak anggota DPR dan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam menyusun naskah RUU. Ia khawatir regulasi bermasalah seperti UU ITE kembali dilahirkan oleh DPR dan pemerintah karena kurangnya pengawasan publik.   

"Belajar dari UU ITE, legislatif dan eksekutif hendaknya tidak melakukan proses legislasi yang terburu-buru, gegabah, dan tidak mendengar aspirasi publik," tegas Halili.

img
Fadli Mubarok
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan