Dari LIPI ke BRIN: Cerita dan kendala di balik integrasi lembaga riset
Berstatus sebagai panelis dalam sebuah forum internasional, beberapa tahun lalu, mantan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lukman Hakim tercengang saat mendengar laporan mengenai jumlah periset di Indonesia. Di forum itu, disebutkan angka periset sudah mencapai 1.020 orang per satu juta penduduk.
Lukman tak terima dengan angka itu. Sebagaimana hitung-hitungan LIPI, menurut dia, jumlah periset di Indonesia baru berada pada kisaran 90 orang per sejuta penduduk. Artinya, ada perbedaan sekitar 930 peneliti per sejuta penduduk.
"Yang dimaksud Indonesia itu adalah seluruh mahasiswa S-2 dan S-3 itu dimasukkan dalam jajaran peneliti...Kita masuk nomor 6 negara dengan jumlah peneliti terbanyak. Jadi, permainan angka itu. Disulap-sulap semacam itu," kata Lukman dalam bincang-bincang virtual bertajuk “Recollections and Foresight Alumni dan Sivitas Peneliti LIPI" yang diselenggarakan Jumat (10/9).
Acara itu digelar sebagai semacam ajang refleksi bagi segenap pegawai LIPI. Sekira dua pekan sebelumnya, LIPI resmi bubar dan dipecah menjadi sejumlah organisasi riset (OR). OR-OR itu kini bergabung dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Di ruang virtual, terlihat ada sekitar 100 peserta hadir dalam acara diskusi itu. Selain Lukman, sejumlah profesor riset dan senior LIPI turut didapuk sebagai pembicara, di antaranya ekonom sekaligus pakar lingkungan hidup Emil Salim, mantan Kepala LIPI yang juga sejarawan Taufik Abdullah, dan eks Deputi Bidang Politik Wakil Presiden Jusuf Kalla, Dewi Fortuna Anwar.
Lukman menjelaskan angka jumlah peneliti yang dirilis pemerintah itu keliru. Menurut dia, definisi peneliti seharusnya ialah mereka yang bekerja secara penuh di lembaga riset. “Ini suatu manipulasi besar-besaran," kata Lukman.
Selain soal jumlah peneliti yang masih kecil, menurut Lukman, perkembangan dunia riset dan inovasi juga terkendala anggaran. Soal itu, Lukman merujuk pada pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2018. Ketika itu, Jokowi menyebut anggaran sebanyak Rp37 trilliun yang dikucurkan negara itu tak sebanding dengan hasilnya.
Menurut Lukman, kritik itu ditujukan pada LIPI dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dua lembaga riset nonkementerian (LPNK) itu diperkirakan mendapatkan dana riset hingga sekitar Rp7 triliun.
Lukman menuturkan, jumlah anggaran itu sebenarnya tergolong kecil. Pasalnya, sebagian besar anggaran habis untuk belanja operasional dan gaji. "Tetapi, sisa Rp30 trilliun itu di mana-mana. Ini, yang saya pikir, dari data, kita sudah terbolak-balik secara tidak betul dan kita yang membuat itu,” imbuhnya.
Persoalan-persoalan itu, kata Lukman, yang mendasari munculnya gagasan mengenai perlunya sebuah lembaga besar untuk mengatur tata kelola ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Menurut dia, ia dan rekan peneliti sempat mengusulkan dua opsi lembaga ke pemerintah.
Pertama, pemerintah membentuk Dewan Kebijakan IPTEK dan Inovasi Nasional yang akan dipimpin langsung oleh Presiden dan dikoordinasi oleh Kepala LIPI. Opsi kedua, pembentukan BRIN yang berada di bawah naungan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
Pada 2019, pemerintah merealisasikan opsi kedua itu. Namun, BRIN ternyata diubah menjadi lembaga otonom pada 2021 dan didesain membawahi semua lembaga riset dan libtang kementerian dan lembaga. Padahal, menurut Lukman, para penggagas tidak pernah menyarankan adanya pembubaran LPNK.
Lukman mengaku semakin kecewa setelah pemerintah juga membentuk Dewan Pengarah di BRIN sebagaimana tertuang pada sejumlah pasal dalam Perpres Nomor 78 Tahun 2021 Tentang BRIN. "Di sini saya khawatir karena memang intinya itu adalah masuknya kekuatan politik untuk mengambil keputusan dalam masalah,” imbuh Lukman.
Kekecewaan mengenai bubarnya LIPI juga diutarakan mantan Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI Jan Sopaheluwakan. Ia mengibaratkan pemerintah sedang membangun istana pasir yang rentan tersapu ombak saat mengintegrasikan lembaga-lembaga riset ke dalam BRIN.
"Entah ini benar atau tidak. Tetapi, secara umum, saya melihat (pembubaran lembaga riset) ini sebagai suatu serangan terhadap rasional kita dan masa depan Indonesia,” terang Jan dalam acara yang sama.
Jan memaparkan sejumlah persoalan yang mungkin terjadi setelah integrasi lembaga riset ke dalam BRIN. Pertama, DNA atau nilai-nilai budaya riset yang sudah tertanam di setiap lembaga tergerus saat peneliti bergabung dengan BRIN. Kedua, proses konsolidasi di BRIN tersendat karena anggaran negara sedang seret.
“Tidak menutup kemungkinan akan juga terjadi brain drain. Apakah itu terang-terangan atau semi brain drain? Badan tetap ada di badan baru, tetapi pikiran dan tenaganya di tempat lain," kata peneliti yang telah berbabung di LIPI sejak 1967 itu.
Merawat DNA
LIPI didirikan pada 1956 dengan terbitnya Undang-Undang Nomor Nomor 6 Tahun 1956. Pada mulanya, LIPI bernama Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI). Dalam perjalanannya, MIPI bergabung dengan Departemen Urusan Riset Nasional (DURENAS) yang dibentuk pada 1962.
Empat tahun berselang, DURENAS berganti nama menjadi Lembaga Riset Nasional (LEMRENAS). Pada 1967, pemerintah kemudian membentuk LIPI dan menampung semua tugas MIPI dan LEMRENAS ke dalam lembaga tersebut dengan terbitnya Keputusan MPRS No. 18/B/1967.
Meskipun kini LIPI telah bubar, ekonom senior Emil Salim berpesan agar periset dan peneliti tetap merawat budaya kerja dan DNA yang tertanam di lembaga tersebut. Menurut dia, BRIN dan LIPI hanya merupakan sebuah wadah untuk berkarya.
"LIPI berubah. Oke. Tetapi, dengan berubahnya LIPI tidak berarti bahwa para anggota LIPI, pendukung LIPI kemudian ikut bubar. Itu tanggung jawabmu sebagai cendekiawan intelektual. Tetap berkembang terus. Tanggung jawab intelektual tidak berhenti dengan berubahnya alat wahana organisasi,” terang Emil.
Kepada para penggawa LIPI, Emil menasihati agar peleburan LIPI ke BRIN tidak diwarnai dengan keluh kesah. Ia mengingatkan agar periset tetap mengutamakan objektivitas dan sains dalam menjalankan peran sebagai periset di BRIN.
"Walaupun LIPI sudah bubar, tetapi tugasmu sebagai peneliti, tugasmu sebagai ilmuwan, tetap harus berkembang. Karena ilmu terus berkembang, kebutuhan bangsa harus terus diberikan,” ujar anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) tersebut.
Mantan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI Dewi Fortuna Anwar berpendapat serupa. Menurut Dewi, integrasi LIPI dengan BRIN tak perlu diratapi. Ia meyakini etos kerja peneliti LIPI tak akan berubah meskipun mereka berganti jubah.
"Budaya yang sudah kita bangun, yang egaliter, kolegial, yang komunikasi terbuka, kalaupun nilai ini tidak eksis di BRIN besar, tetapi unsur LIPI yang masuk ke BRIN tetap membawa budaya itu dan semoga memberi pengaruh kepada organisasi riset lainnya,” kata Dewi.
Kendala dana
Sebelumnya, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengaku optimistis peleburan lembaga riset ke dalam BRIN bisa bikin iklim riset dan inovasi lebih kondusif. Menurut dia, perkembangan dunia riset selama ini terhambat karena sumber daya riset yang terpecah di berbagai lembaga.
“Nah, dengan sekarang kita gabung jadi satu, resources-nya sudah terkumpul besar kan? Kita bisa lakukan apa saja. Mau riset apa saja bisa,” tutur Handoko dalam wawancara khusus dengan Alinea.id, Rabu (8/9).
Riset dan penelitian, kata Handoko, membutuhkan biaya yang sangat besar. Tanpa ditunjang fasilitas, infrastuktur, dan anggaran yang memadai, ia pesimistis produk-produk yang dihasilkan para periset di Indonesia bisa berkualitas.
“Ya, perisetnya sampai kapan pun tidak akan bisa ngapa-ngapain. Dan mereka (periset) juga tidak akan menjadi periset bagus karena tidak terlatih, ya,” ujar eks Kepala LIPI itu.
Saat ini pemerintah tengah menghitung anggaran riset pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) Kepala BRIN bersama Komisi VII DPR RI pada 24 Agustus 2021, nilai anggaran yang muncul mencapai Rp6,09 triliun.
Angka itu merupakan akumulasi dari total pagu empat LPNK riset yang dilebur serta anggaran Kemenristek-BRIN sebelum BRIN berubah jadi lembaga otonom. Rinciannya, empat LPNK punya total anggaran sebesar Rp5,7 triliun dan BRIN sekitar Rp1,02 triliun.
Kepada Alinea.id, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan proyeksi anggaran sebesar itu menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah untuk membangun dunia riset dan inovasi. Ia membandingkan dengan anggaran riset yang dikucurkan negara pada 2018, yakni sebesar Rp35 triliun.
“Dari total itu, sekitar 50% untuk riset. Selebihnya untuk dukungan manajemen. Semakin besar anggaran riset suatu negara, mengindikasikan perhatian dan komitmen negara tersebut pada pembangunan riset dan inovasi,” ujar Mulyanto saat dihubungi, Senin (13/9).
Mulyanto mengingatkan agar pemerintah mengikuti standar anggaran riset yang dirilis United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yakni sebesar 1% dari pendapatan domestik bruto (PDB).
Menurut dia, tanpa anggaran riset yang cukup, Indonesia sulit berkembang menjadi negara maju. “Anggaran riset kita masih sekitar 0,2% dari PDB. Masih kalah dengan Malaysia atau Thailand yang sudah di atas 0,5%,” terang politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Senada, mantan Ketua Dewan Riset Nasional (DRN), Bambang Setiadi berpendapat anggaran riset Indonesia masih tergolong kecil. Apalagi, tak semua dana yang dikucurkan dipakai sepenuhnya untuk melakukan kegiatan riset dan inovasi.
Menurut Bambang, persoalan anggaran yang kecil dapat diatasi bila pihak swasta dapat turut serta melakukan kegiatan riset dan inovasi. “Tetapi (keterlibatan swasta) sampai saat ini belum terjadi. (Dana riset yang terpakai) perkiraannya hanya sekitar 40-50%,” kata Bambang, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (12/9).
Dana riset, lanjut Bambang, harus dipandang sebagai suatu investasi. Ia mencontohkan kemajuan China dan Korea Selatan yang ditopang oleh riset. “Negara yang mengeluarkan dana riset yang besar, maka kemakmurannya lebih baik,” terang Bambang.
Soal eksistensi BRIN setelah integrasi, Bambang menyarankan agar lembaga baru itu fokus mengkomersialisasi produk-produk riset tertentu, semisal di bidang kesehatan, pertahanan, pertanian, material maju, sosial-humaniora, energi, transportasi, dan infrastruktur. "Bukan hanya laporan hasil riset," imbuh dia.