Tidak tersedianya data pengadaan barang/jasa di bawah Rp200 juta membuat Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) mengembangkan aplikasi belanja langsung atau Bela. Kepala LKPP Roni Dwi Susanto, mengatakan, data tak ada karena nihil yang melapor meski pihaknya telah mewajibkan.
Menurut Roni, pemantauan pengadaan barang di bawah Rp200 juta perlu dilakukan. Meskipun, nilai per paketnya terkesan kecil, tapi bila diakumulasikan jumlahnya fantastis.
"Ada satu juta paket (pengadaan langsung), nilainya Rp179 triliun. Realisasinya datanya tidak ada karena tidak ada kewajiban mereka melapor walaupun dalam aplikasi kami mewajibkan melapor," ujarnya dalam diskusi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi secara virtual, Jumat (7/5).
Menurutnya, ketiadaan data terjadi juga pada metode pengadaan penunjukkan langsung. Kondisi itu, berbeda dengan mekanisme pengadaan melalui tender, tender cepat, dan seleksi yang datanya tersedia di LKPP.
Roni menambahkan, pengadaan langsung yang datanya tidak tercatat umumnya untuk operasional, seperti alat tulis kantor, transportasi, konsumsi dan cetakan.
"Nilainya kecil-kecil, tapi jumlahnya 1.503.000 paket. Kecil-kecil kalau dikumpulkan di bawah Rp200 juta cukup besar. Sehingga kami melalui sistem, coba kita bikinkan kemudahan untuk belanja melalui sistem," ucap dia.
Melalui aplikasi pengadaan Bela, LKPP berharap data pengadaan baik tingkat pemerintah pusat dan daerah tercatat dengan baik. Di sisi lain, pengadaan secara elektronik membuatnya lebih mudah, efisien, akuntabel dan transparan.
Sementara itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, menyambut baik Bela. "Aplikasi ini akan membantu kita semua untuk terjauh dan terhindar dari paraktik-praktik korupsi karena sistem ini dibangun dengan mengedepankan informasi teknologi," ujarnya.
Firli berharap, para kepala daerah yang hadir dalam diskusi untuk memanfaatkan aplikasi Bela. Di samping itu, dia meminta kepada pejabat pembuat komitmen, pejabat pembuat pengadaan, dan rekanan juga memanfaatkannya.