Debat sengit Muhammadiyah dengan ilmuwan BRIN soal hisab dan rukyat
Ramadan tinggal menghitung hari. Untuk memastikan awal puasa, pemerintah lewat Kementerian Agama akan menggelar sidang isbat awal Ramadan 1444 Hijriah pada Rabu, 22 Maret 2023. Rangkaian sidang isbat awal Ramadan tahun ini masih digelar secara hibrid atau gabungan antara daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan).
Menurut Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama, Adib, selain melibatkan Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, sidang juga mengundang Komisi VIII DPR RI, pimpinan MUI, duta besar negara sahabat, perwakilan ormas Islam, dan lainnya. Selain data hisab, sidang isbat juga akan merujuk pada hasil rukyatul hilal yang akan dilaksanakan pada 123 lokasi di seluruh Indonesia.
Sekitar satu setengah bulan lalu, Muhammadiyah telah menetapkan awal puasa Ramadan jatuh pada Kamis, 23 Maret 2023. Dengan begitu, salat tarawih pertama dilaksanakan pada Rabu besok.
"PP Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan 1444 Hijriah jatuh pada Kamis Pon, 23 Maret 2023. Kedua, 1 Syawal jatuh pada Jumat Pahing, 21 April 2023," kata Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Sayuti, Senin, 6 Februari 2023.
Penentuan awal puasa dan Lebaran dilakukan berdasarkan hasil hisab oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Muhammadiyah menetapkan awal bulan Qomariah termasuk Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tidak berdasarkan penampakan. Melainkan berdasarkan posisi geometris benda-benda langit, seperti matahari, bumi, dan bulan. "Jadi posisinya, bukan nampaknya," kata Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Syamsul Anwar.
Anwar menjelaskan, syarat pertama penentuan Ramadan adalah sudah terjadi ijtima, yang artinya bulan telah mengelilingi bumi dengan satu putaran sinodis. Satu putaran sinodis untuk Ramadan tercapai pada 22 Maret 2023 pukul 00.25,41 WIB.
"Kedua, ijtima terjadi sebelum matahari tenggelam. Ketiga, pada saat matahari tenggelam, bulan masih di atas ufuk belum tenggelam. Syarat ini terpenuhi pada Rabu, 22 Maret 2023. Oleh karena itu, 1 Ramadan jatuh pada 23 Maret 2023."
Bertahun-tahun Muhammadiyah menggunakan metode hisab (perhitungan) untuk menentukan awal Ramadan. Sebaliknya, pemerintah dan organisasi masyarakat (ormas) Islam lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU), menggunakan metode rukyat (pengamatan). Muhammadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal, sedangkan ormas-ormas Islam lain dan pemerintah menggunakan kriteria Imkan Rukyat (visibilitas hilal).
Wujudul Hilal teori usang
Menurut Profesor Riset Astronomi-Astrofisika di Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, Thomas Djamaluddin, memandang bahwa kriteria Wujudul Hilal yang dipedomani Muhammadiyah sudah ditinggalkan. Ia menyebut teori Wujudul Hilal mirip seperti geosentris yang menganggap bumi sebagai pusat.
Wujudul Hilal, kata dia, tidak mungkin dilihat jika itu dekat ufuk. Ketika matahari mendahului bulan atau terbenam lebih dahulu dibandingkan dengan matahari itu disebut wujudul hilal. "Ini sesungguhnya teori geosentrik, bumi sebagai pusat dan bulan itu mengelilingi bumi. Itu yang kemudian saya sebut teori usang," kata dia.
Lewat tulisan di blog, Thomas menguraikan upaya mencari titik temu masih buntu. Peta besar perbedaan kriteria itu antara kriteria wujudul hilal yang dipedomani Muhammadiyah dengan kriteria imkan rukyat bertumpu pada tinggi bulan 2 derajat yang dipedomani NU dan beberapa ormas Islam.
Kriteria Wujudul Hilal dengan posisi bulan minimal di dekat ufuk tidak mungkin diterima pengamal rukyat. Saat bulan sangat rendah tidak mungkin bisa dirukyat. Sementara pengamal hisab tidak mau kriteria tinggi bulan tertentu. Bagi mereka hisab tidak perlu dikaitkan dengan rukyat. Itu sebabnya, urai dia, ada yang berpendapat rukyat dan hisab tidak bisa dipertemukan. Selamanya akan berbeda.
Menurut Thomas, dengan pertimbangan fikih, pendapat ijtihadiyah ala Muhammadiyah mestinya bisa diubah demi persatuan ummat dan ukhuwah Islamiyah. Kriteria Wujudul Hilal hanya pendapat manusia, tanpa dalil yang kuat.
"Rujukan dalil pada QS 36:40 terlalu dipaksakan untuk pembenaran Wujudul Hilal, karena tidak sesuai dengan tafsir astronomis," jelas Thomas.
Sementara kriteria tinggi bulan 2 derajat pun, jelas dia, terlalu rendah secara astronomi. Bagi dia, tak mungkin hilal yang amat tipis mengalahkan cahaya syafak (senja) yang masih cukup terang dekat ufuk. Titik temunya, masing-masing harus maju menuju kriteria yang lebih tinggi berdasarkan data astronomis jangka panjang.
Kriteria alternatif mengkristal pada tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Ini diinisiasi MUI pada 2015. Kriteria baru ini menjadi salah satu butir Rekomendasi Jakarta 2017, jelas Thomas, yang akhirnya ditetapkan menjadi kriteria baru MABIMS (kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada 2021, walau usulan awalnya sangat beragam.
Menurut Thomas, persoalan menuju titik temu kali ini bukan lagi masalah dalil. Karena tawaran kriteria tidak akan mengubah faham hisab maupun rukyat. Juga bukan terkait nilai kriteria. Thomas lantas memberikan contoh dua ormas Islam sudah bergerak menuju titik temu. Pada 2012, ormas Persis (Persatuan Islam) sudah mengganti kriteria 2 derajat dengan kriteria yang sama dengan kriteria baru MABIMS.
Pada 2022, urai dia, NU juga sudah mengubah kriteria sama dengan kriteria baru MABIMS. NU memang masih menggunakan elongasi geosentrik, bukan toposentrik sesuai kelaziman astronomi untuk rukyat hilal. "Muhammadiyah berbeda. Alih-alih mengubah kriteria Wujudul Hilal menjadi kriteria imkan rukyat MABIMS, malah mewacanakan kriteria imkan rukyat Turki dengan markaz (titik rujukan) di mana saja," urai dia.
Bagi Thomas, sikap Muhammadiyah ini lebih menunjukkan ego organisasi yang cenderung enggan menuju titik temu. Padahal, kata dia, dalam konsep fikih ijtihad mungkin diubah bila ada pertimbangan lain yang lebih bermanfaat bagi ummat. Persatuan ummat dan ukhuwah Islamiyah terkesan dikalahkan oleh ego organisasi.
"Tulisan beberapa tokoh Muhammadiyah makin mengesankan ego organisasi yang kuat. Alih-alih menawarkan kriteria alternatif yang bisa diterima pengamal hisab dan pengamal rukyat, mereka justru beropini yang menyalahkan keputusan pemerintah dalam menetapkan kriteria baru MABIMS. Ibaratnya, mereka mengunci diri di rumah yang dibanggakan, tidak mau bergerak keluar, tetapi berteriak-teriak menyalahkan orang-orang di luar yang sedang berusaha mencari jalan," urai Thomas.
Wujudul Hilal hasil ijtihad
Pakar Falak Muhammadiyah Arwin Julo Rakhmadi Butar-butar menyayangkan pernyataan Thomas. Menurut Arwin, kritik ilmiah kepada anggitan Wujudul Hilal maupun secara langsung ditujukan kepada Muhammadiyah sebagai organisasi merupakan hal alamiah. Dinamika dan dialektika dalam diskusi dan rapat-rapat internal Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menunjukkan tingginya dinamika dialog, debat, dan kritik. Dialektika itu, kata Arwin, tidak banyak diketahui pihak luar.
"Sesuai tabiatnya, Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki karakter progresif dan berkemajuan, yang dalam konteks penentuan awal bulan Muhammadiyah memiliki analisis historis mendalam dan pada saat yang sama memiliki sorotan maslahat jauh kedepan yang ditunjukkan dengan gagasannya tentang Kalender Islam Global," terang Arwin dalam sebuah tulisan, Rabu (15/3).
Arwin membantah tudingan Muhammadiyah telah mengabaikan ukhuwah Islamiyah. Sebab, kata dia, Muhammadiyah telah membuka cakrawala umat tentang arti pentingnya Kalender Islam Global bagi persatuan umat. Berkat usaha dan kerja keras, klaim dia, secara perlahan kini mulai marak pengkajian Kalender Islam Global oleh sejumlah peneliti, terutama di perguruan tinggi. Bahkan saat ini mulai muncul keinginan di tengah masyarakat akan wujudnya Kalender Islam Global sebagai basis persatuan.
"Muhammadiyah sesungguhnya peka terhadap fenomena perbedaan penentuan awal Ramadan di tengah masyarakat. Ini merupakan keprihatinan dan sesuatu yang tak ideal. Namun, dengan pertimbangan historis dan maslahat yang lebih kekal Muhammadiyah masih menggunakan Wujudul Hilal dan bersiap beralih kepada Kalender Islam Global," jelas Arwin.
Metode hisab hakiki wujudul hilal, jelas Arwin, merupakan hasil ijtihad dengan intensitas kajian yang tidak dangkal. Sebuah ijtihad dalam fikih Islam, baik unggul maupun kurangan, harus dihormati. Jika tidak sesuai keinginan suatu pihak, urai Arwin, tidak boleh dinilai tendensius, apalagi distigma negatif.
"Andai sentuhan dan pemahaman rasional-irfani ini dipahami secara baik niscaya tidak muncul diksi dan narasi sinis-provokatif. Sebab dalam syariat cara menempati arti penting, bahkan sebuah adagium menyatakan ‘al-adab fauqa al-‘ilm’ (adab itu di atas ilmu). Artinya secanggih apapun ilmu (epistemologi) tidak boleh mengabaikan aspek nilai (irfani)," urai Arwin.
Arwin menguraikan betapa harmonisnya Muhammadiyah dan NU meskipun berbeda pandangan ihwal metode penentuan awal bulan Ramadan. Dua ormas ini saling menghormati ijtihad masing-masing, meskipun diskursus hisab-rukyat terjadi debat hebat. "NU tidak mengkritisi Muhammadiyah secara tendensius. Sebaliknya Muhammadiyah juga tidak mengkritisi rukyat NU secara sinis. Dua ormas ini sadar bahwa ijtihad harus dihormati, perbedaan adalah niscaya," urai Arwin.
Menurut Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Putusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi, tudingan Thomas Djamaluddin diyakini justru lebih potensial bisa memprovokasi keharmonisan umat Islam, khususnya di Indonesia. Memaksakan kriteria MABIMS sebagai metode penentuan awal bulan, jelas Ruslan, justru akan semakin sulit mewujudkan persatuan Islam.
"Alih-alih ingin merealisasikan ukhuwah Islamiyah, dengan menaikkan kriteria ketinggian hilal 2 derajat menjadi 4 derajat semakin membuka perbedaan yang semakin lebar. Padahal kriteria 2 derajat sudah digunakan bertahun-tahun," kata dia.
Ruslan kembali teringat ketika Kemenag masih menggunakan ketinggian 2 derajat. Saat itu cuaca sangat mendung, yang secara nalar tidak mungkin ada yang bisa melihat hilal dalam ketinggian 2 derajat. "Namun karena berdasarkan hisab ketinggian hilal mencapai 2 derajat, maka seakan dipaksakan harus ada yang melaporkan melihat hilal," terang Ruslan, Sabtu (18/3).