Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menerangkan, untuk mengatasi masalah kurang sehatnya perguruan tinggi swasta (PTS) yang mencapai sekitar 90% dari total 3.128 di Indonesia, pemerintah perlu melakukan penggabungan perguruan tinggi.
Kendati demikian, ia mengungkapkan dalam proses penggabungan itu ditemukan masalah baru, khususnya kesiapan PTS. Permasalahan yang dihadapi PTS yakni pertama, kesenjangan antara PTS dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dikotomi PTS dan PTN yang muncul terlihat dari pola belanja negara khususnya di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
Pembinaan atau bantuan yang diperuntukkan bagi PTS kurang dari enam persen dari anggaran. Sementara PTN menerima kurang lebih 94% dari total anggaran.
"Dikotomi ini seharusnya tidak terjadi mengingat PTN dan PTS memiliki tanggung jawab yang sama dalam meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi," kata Dede, seperti dilansir dari lama resmi DPR, Selasa (20/9).
Diketahui, kondisi kampus-kampus swasta di Indonesia didominasi dalam keadaan tidak sehat dan mengalami kesulitan dalam operasional. Hanya sekitar 10% dari perguruan tinggi swasta yang beroperasional dengan baik. Selebihnya, 90% justru mengalami persoalan yang cukup serius dalam menjalankan kegiatan tri dharma perguruan tinggi. Selain itu, Dede juga menyoroti hal lainnya seperti kualitas pendidikan.
Tantangan yang harus dihadapi PTS adalah proses pendidikan terjamin dengan manajemen mutu yang baik. Terlebih,saat ini PTS mendidik sebanyak 72% mahasiswa, sehingga perhatian pada kualitas perlu ditingkatkan.
"Upaya-upaya PTS untuk meningkatkan sarana dan prasarana, mutu dosen, mutu lulusan harus dapat didukung pemerintah," ungkapnya.
Pasalnya, lanjut politisi Partai Demokrat ini, kondisi dosen yang merupakan tulang punggung pendidikan masih banyak yang memprihatinkan. Sekitar 49% dosen masih berpendidikan Strata 1 dan hampir 50% dosen berstatus tidak tetap atau berinduk lebih dari dua organisasi. Hal itu menyebabkan pekerjaan dosen menjadi tidak optimal, sehingga perlu peningkatan kompetensi dan kesejahteraan.
Adapun terkait masalah relevansi pendidikan, Dede menilai dunia industri kini membutuhkan banyak sarjana berbasis teknik untuk diterjunkan ke industri manufaktur. Namun, perguruan tinggi justru banyak menawarkan pendidikan berbasis sosial.
"Hal ini terjadi di dosen-dosen PTS. Bahkan ada dosen yang hanya dapat honor Rp1,5 juta per bulan. Memprihatinkan sekali," kata legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat II tersebut.
Terakhir, mengenai kompetensi perguruan tinggi, menurut Dede, hal yang paling utama adalah bagaimana mendorong agar PTS dapat mengembangkan diri menjadi universitas riset yang mampu menghasilkan jurnal paten dan hak kekayaan intelektual (HAKI).
"Masalahnya risetnya kemudian dipakai atau tidak oleh dunia usaha dan dunia industri. Atau hanya sekedar istilahnya simbol-simbol," pungkas Dede.