Kebijakan penerapan lockdown dinilai sebagai langkah rasional di tengah pandemi Covid-19. Para kepala daerah disarankan mementingkan keselamatan warga di daerahnya, meski tak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia Agus Pambagio mengatakan, kebijakan ini semakin mendesak menjelang Ramadan dan Idulfitri. Sebab akan terjadi eksodus warga melalui tradisi mudik, yang semakin meningkatkan penyebaran coronavirus. Apalagi saat ini sudah ada ribuan orang yang telah pulang kampung lebih awal.
"Harus dilakukan, karena pemerintah pusat tidak kunjung mengambil keputusan. Eksodus orang yang sakit sudah ke daerah semua kan," kata Agus saat dihubungi reporter Alinea.id di Jakarta, Jumat (27/3).
Dia mengakui langkah tersebut akan melanggar instruksi Presiden Joko Widodo untuk tidak melakukan lockdown. Namun bagi Agus, kebijakan karantina wilayah harus dilakukan demi menyelamatkan nyawa warga dari ancaman mematikan Covid-19. Karena itu, instruksi Presiden dapat dikesampingkan demi kemaslahatan masyarakat.
"Meskipun melanggar administrasi negara karena melanggar perintah Presiden, itu harus dilakukan. Demi kebaikan untuk daerahnya kan," kata Agus.
Terdapat lima wilayah yang menetapkan lockdown dalam ukuran berbeda. Teranyar, Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono mengumumkan mengambil kebijakan ini yang akan berlaku empat bulan pada 30 Maret sampai 30 Juli 2020.
Dalam menerapkan kebijakan ini, Pemkot Tegal akan menutup 50 jalur perbatasan yang menjadi pintu keluar-masuk Kota Bahari. Hanya ada satu jalur untuk aktivitas tersebut, dengan akses yang terbatas.
Dedy menggarisbawahi, kebijakan ini hanya berlaku di wilayah kekuasaannya saja. Pihaknya tak mengusik jalan nasional maupun provinsi yang tak termasuk dalam kewenangannya.
"Kita enggak menutup jalan provinsi dan nasional. Jadi wewenang saya hanya di dalam kota. Jalur provinsi yang kepentingan provinsi tetap buka, jalur nasional yang kewenangan pusat kita tidak menutup," katanya kemarin.
Harus tegas
Saat menggelar rapat terbatas dengan para menteri Kabinet Indonesia Maju dan 34 Gubernur se-Indonesia pada Selasa (24/3), Presiden Joko Widodo mengakui pemerintah tak menyertakan opsi karantina wilayah dalam menangani coronavirus. Presiden meyakini physical distancing sebagai langkah yang lebih sesuai untuk diterapkan di tanah air.
Saat itu, Jokowi mengklaim pemerintah telah mempelajari berbagai kebijakan yang diterapkan negara lain, dan hasilnya dalam menangani pandemi Covid-19. Physical distancing dinilai lebih tepat untuk dijalankan di Indonesia. Namun Jokowi mengakui kebijakan ini harus diikuti dengan disiplin kuat.
Bagi Agus, kebijakan physical distancing yang diambil pemerintah tak efektif dalam menangani penyebaran coronavirus. Hal ini lantaran berbagai lapisan masyarakat tak menyadari dengan baik pentingnya menjaga jarak.
Dengan demikian, jumlah pasien terjangkit Covid-19 diprediksi akan terus mengalami lonjakan. Bahkan, kebijakan ini diramal bakal mematikan perekonomian karena jumlah pasien terinfeksi semakin meroket.
"Kalau dikarantina kan memang berat. Tetapi pemerintah bisa keluarkan uang juga, dan uang itu ada. Asal dihitung dengan baik. Asal tidak ada yang mencuri atau mengambil kesempatan. Kalau ada, tembak mati aja. Jadi pemerintah harus tegas!" ujar dia.
Desakan agar pemerintah menerapkan lockdown juga diserukan anggota dewan. Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto menilai, opsi ini semakin mendesak menjelang aktivitas mudik yang menjadi tradisi tahunan.
Selain meningkatkan jumlah orang yang terinfeksi, dia mengkhawatirkan penanganannya yang akan semakin menyulitkan karena terbatasnya tenaga medis dan peralatan yang tersedia.
“Saya meminta pemerintah untuk segera mempertimbangkan langkah lockdown atau karantina wilayah, mengingat wabah virus corona ini semakin hari semakin meluas dan memakan banyak korban,” kata Rofik.